"Aku mau mencoba hibur, Kesi." Tasya menggeleng, gadis itu tidak setuju dengan ideku itu.
"Tenang aja." Seulas senyum kutampilkan untuk meyakinkan dirinya. Tasya menghela napas, kemudian mengangguk lemah.
"Jangan terlalu dekat!" peringatnya, aku hanya tersenyum ke arahnya kemudian berjalan menuju Kesi berada.
"Kes."
"Kesi." Berulang kali gadis itu kupanggil, namun ucapanku seakan hanya sebuah angin lewat yang tak penting. Masih tak memperdulikan ucapanku, gadis itu mengeluarkan buku dan pensil dari tasnya. Aku mengernyit ketika tangan gadis itu menorehkan karbon di atas kertas dengan tangan bergetar.
Aku terdiam, hanya memperhatikan gadis itu. Entah apa yang ingin ia gambarkan. Kutajamkan penglihatan, kerutan di dahi semakin menjadi tatkala pensil miliknya telah berhenti menari. Sebuah pohon besar dengan ayunan yang menggantung di dahannya terlihat olehku, di samping pohon tersebut Kesi menggambar sebuah kolam, atau mungkin danau, entahlah. Tapi, apa maksud gambar itu. Baru saja aku ingin bertanya, tiba-tiba Kesi menjerit.
"Da-darah, darah." Semua orang di ruangan itu seketika menoleh. Aku yang berada di dekat Kesi mencoba menenangkan gadis itu. Tapi dia terus saja berteriak layaknya orang kesetanan.
"Darah, darah."
"Tidak! Monic! Monic!" Semua orang bingung harus berbuat apa, Kesi terus saja menjerit. Gadis itu sulit untuk ditenangkan. Hingga beberapa orang berbaju putih datang mencoba melumpuhkannya.
"Tidak, lepaskan!" jeritnya sambil memberontak mencoba melepaskan kedua tangannya yang dipegang erat.
"Aku tidak gila, lepaskan aku! Lepaskan!" Aku hanya diam menyaksikan semua itu, begitu pula dengan semua orang yang ada di ruangan ini.