Motor milikku berhenti tepat di depan sebuah pagar dengan beberapa bangunan yang berdiri di dalamnya. Aku menghela napas sebelum memasuki gerbang dengan gapura bertuliskan 'Rumah Sakit Jiwa Permata'.
Tak sengaja netraku menangkap seorang gadis dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, berjalan tergesa-gesa. Aku menyipitkan mata, benar saja dia Tasya. Tapi untuk apa gadis itu kemari? Kulangkahkan kaki mencoba mengikuti dirinya, sial aku kehilangan jejak. Kemana dia? Kuedarkan pandangan ke segala arah, berharap menemukan apa yang aku cari.
"Aku tidak gila!"
Teriakan itu mampu menyita perhatianku. Seketika keadaan menjadi rusuh, gaduh tak terkendali. Beberapa orang berbaju putih berlari mengejar seorang gadis dengan pakaian pasien yang terus saja berlari ke arah gerbang keluar.
"Kesi, tidak. Aku harus mengejarnya," ucapku ketika menyadari gadis yang tengah berlari keluar itu adalah Kesi.
Lagi-lagi aku kehilangan jejak, saking paniknya aku bahkan lupa jika membawa sepeda motor. Bodoh, seharusnya aku tak perlu berlari jika saja otakku masih berfungsi. Aku menghela napas, kulangkahkan kaki kembali menuju rumah sakit untuk mengambil sepeda motorku.
Otak kupaksa berpikir keras, menerka-nerka di mana aku bisa menemukan Kesi. Tangan merogoh saku setelah motor kuhentikan di sebrang jalan. Kertas lusuh kini menjadi pedoman, kembali kubaca tulisan tangan yang kian memudar.
Mataku terpaku pada kalimat terakhir yang ditulis oleh Monic.
'Aku akan selalu menunggumu, di mana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak.'
Tempat apa yang dia maksud? Seketika pikiranku tertuju pada gambar yang pernah Kesi buat saat itu.
Benar saja, dugaanku tak ada yang meleset. Gadis itu benar ada di sini, dia berdiri di samping danau dengan pohon besar yang terletak tak jauh darinya. Suara kicauan burung yang kian merdu di telinga menggema, membangkitkan gejolak rasa. Suaranya bagaikan melodi, begitu merdu apalagi sura dahan yang tertiup angin mengiringinya. Ya, di sinilah dimana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak.