"Tasya." Mataku membelalak ketika melihat pemandangan yang ada di depanku. Kaki refleks melangkah mundur ketika cairan merah kental yang membanjiri tanah mengalir, hampir menyentuh sepatuku.
"Monic," teriak Kesi yang baru saja datang. Gadis itu bersimpuh, tangannya tak hentinya menggoyangkan tubuh gadis yang tengah tergeletak di tanah dengan kedua pergelangan tangan diikat dengan kawat hingga darah bercucuran dari sana. Matanya membelak, mulutnya terbuka, sebab sebuah tali mengikat kuat lehernya layaknya binatang gembala.
Kepalaku berdenyut, pandangan sekitar seakan kabur. Kugelengkan kepalaku untuk mengusirnya, tak sengaja netraku menangkap sebuah kertas yang diremas tergeletak tak jauh dari tempat Monic melakukan gantung diri.
Tak ada gunanya aku hidup
Orang sepertiku pantas menerima semuanya
Hanya Kesi yang mau menerimaku di dunia ini, dialah sahabatku dan akan selalu seperti itu
Aku akan selalu menunggumu, dimana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak
"Ini ... tulisan tangan ini milik Monic."
Aku terkejut bukan main ketika sebuah tangan menyentuh pundakku. Segera mungkin kusembunyikan kertas itu.
Vina, gadis yang menepuk pundakku menyipitkan matanya, sepertinya dia curiga. Gadis itu mengangkat kepalanya dalam satu kali gerakan, seolah bertanya ada apa. Aku hanya menggeleng sebagai jawabannya.
"Tasya, sudah ketemu?" tanyanya, lagi-lagi aku hanya menggeleng yang membuat Vina mengangguk mengerti. Setelahnya gadis itu berlalu begitu saja.
***
Sudah terhitung dua hari semenjak kematian Monic, Kesi sepertinya begitu terpuruk karenanya. Entahlah, aku merasa semenjak saat itu Kesi menjadi pendiam, bahkan terlihat sorot ketakutan dalam matanya. Seperti saat ini, gadis itu memilih duduk di bangku pojok belakang dengan menatap kosong ke depan. Rasa iba kini menghampiriku. Aku bangkit dari dudukku, hendak menghampiri dirinya.
"Revi, kamu mau kemana?" tanya Tasya yang duduk di sampingku.