Pendidikan telah kita ketahui bersama adalah kebutuhan pokok setelah mendapat memenuhi kebutuhan subsisten. Agar manusia dapat berkembang dalam kehidupan pendidikan adalah jalan kemudian yang sangat diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupan.
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah panjang, sejak era feodalisme samapi ke era modern kapitalisme pendidikan menjadi sebuah ruang yang kerap kali dipergunakan untuk menopang tatanan sosial yang mapan di zamannya. Di lain sisi pendidikan juga menjadi jembatan keledai untuk membangun ide baru yang berkembang di lingkungan sosial.
Kondisi itu bisa kita lihat dalam sejarah umat manusia bagaimana peran pendidikan dalam kehidupan. Kesempatan dalam mendapatkan pendidikan bisa kita lihat juga terklasifikasi kepada kelompok yang juga memiliki kesempatan ekonomi dan politik yang kuat. Kelompok yang akrab dengan kekuasaan yang ada mendapat tempat lebih mudah dalam merasakan pendidikan.
Kemerdekaan indonesia membawa angin segar kepada rakyat indonesia untuk dapat merasakan pendidikan tanpa terkecuali. Namun itu pun tak menjadi kenyataan sampai sekarang, bahkan setelah kementrian pendidikan secara dinamis mengalami perubahan samapai saat ini dibagi menjadi 2 (dua) kementerian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Setali tiga uang, kedua Menteri era kabinet kerja sama-sama memiliki keberpihakan yaitu kesempatan pendidikan harus pula memiliki cadangan uang. Jadi kesimpulan awalnya adalah hak pendidikan itu haruslah membayar alias tidak ada yang gratis.
Setelah Mendikbud Muhadjir Efendi berujar, "jangan percaya jika ada janji sekolah gratis[1]", pun disambut pula oleh Menristekdikti Mohammad Nasir berkata "Saya pada prinsipnya senang sekali kalau ada student loan.[2]" dan juga ditimpali oleh Presiden Jokowi dengan amanatnya mendorong bank yang ada di Indonesia dan lembaga negara untuk menyiapkan Student Loans
"Saya ingin memberi PR kepada bapak ibu sekalian. Dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan ,Kalau di negara kita bisa seperti ini, yang konsumtif akan pindah ke hal-hal yang produktif. Nantinya juga akan memberikan nilai tambah pada intelektualitas, visi ke depan yang sangat basic, yaitu bidang pendidikan[3]".
Pernyataan Jokowi dan Menterinya di beberapa media massa memperlihat bahwa Negara melalui pemerintah sudah mulai tidak ingin menanggung tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan di hari depan.
 Dan terkini khusus di pendidikan tinggi sedang menggalakkan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Pendidikan Tinggi yang sesat fikir itu. Yang telah secara sistematis mulai menghilangkan peran negara atas penyelenggaran pendidikan.
Realita ini kemudian Kita dapat melihat bahwa hari ini negara telah ramai di orang yang terpelajar, malah memperlihatkan keberpihakan  gagasan dan prakteknya sepakat dengan Kapitalisasi Pendidikan.. dalam segi pembiayaan saat ini di pendidikan tinggi mari kita lihat soal sistem pinjaman Pendidikan ini. Seperti apa konsep dan prakteknya di pendidikan tinggi.
Stundet Loans dan Taktiknya.
Student Loans adalah kutipan program pembiayaan pendidikan yang di contek dari praktek kapitalisasi pendidikan di negara Eropa dan amerika. Plagiatisme program pembiayaan pendidikan itu akan memakai sistem pinjaman atau kredit untuk pendidikan. Sederhananya pendidikan dapat di cicil dengan kampus memfasilitasi kredit keuangan dalam mengakses pendidikan.
 Dalam jurnal Matthew B Fuller [4] menuliskan sejarahnya Student Loans mulai di kenal Pada tahun 1838, Harvard mendirikan lembaga pinjaman mahasiswa swasta yang bertanggung jawab untuk membuat pinjaman tanpa bunga kepada siswa yang sebaliknya tidak bisa membiayai pendidikannya .
Program, yang dikenal umumnya sebagai Program Pinjaman Harvard yang pendanaannya diberikan pinjaman oleh oleh alumni dan donatur kaya. Dengan memakai beberapa syarat seperti persetujuan dari presiden kampus dan adanya program yang dikerjakan oleh mahasiswa tersebut dan kemudian di setujui oleh orang tua mahasiswa tersebut.
Konsep ini berkembang ke beberapa negara seperti Di Kanada, Australia, Selandia Baru, Inggris. Di asia Jepang, Korea Selatan, Singapura, india, di afrika seperti di ghana, afrika selatan dan banyak negara lainnya yang sudah mulai mempraktekkan pola pembayaran pendidikan dengan skema kredit tersebut dengan semakin terkonsentrasinya pola ekonomi dalam skema globalisasi.
Cengkraman globalisasi di Indonesia berjalan dengan skema liberalisasi (Prinsip ekonomi Pasar bebas) sudah sejak era Negoisasi GATs tahun 1995 sampai 2005 di tandatangani yang meliberalkan 12 sektor jasa. Negara kemudian dengan gembiranya melaksanakan liberalisasi pendidikan, kemudian pendidikan menjadi sebuah barang (komoditas) yang akan diperjualbelikan.
Ini bisa kita lihat dari mulai adanya perubahan UU pendidikan No.2 tahun 1989 menjadi UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk pendidikan tinggi kemudian disambut dengan pembuatan UU No.9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang memberikan ruang untuk Perguruan tinggi menerima investasi, namun kemudian di cabut akibat serangan aksi massa yang masif.
Namun pemerintah tidak putus akal untuk meliberalisasi pendidikan tinggi, kemudian lahir pula UU No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
Dasar hukum pembiayaan pendidikan yang kemudian mulai melepaskan tanggung jawab negara atas pendidikan dapat kita lihat pada UU Sisdiknas pasal 12 ayat 2 huruf b tentang peserta didik "ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan".
Ini menjadi pasal yang sangat aneh, karena peserta didik yang berusia 7 sampai 25 tahun (SD-SMA/SMK-PT) adalah usia dilarang bekerja sehingga otomatis tidak memiliki penghasilan karena adalah usia anak anak menuju dewasa, tetapi negara yang seharusnya melindungi pendidikan mereka malah memberikan beban untuk ikut mambiayai pendidikan.
kebijakan ini salah satu dasar negara memperbolehkan ditariknya biaya pendidikan dari peserta didik, sungguh kacau bukan.
Pendidikan tinggi juga kemudian ikut latah dengan memberlakukan penarikan biaya pendidikan pada mahasiswa di dasarkan pada UU Dikti Pasal 85 ayat  2 "Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yangmembiayainya".
Ini melegitimasi  proses pembiayaan yang kemudian dengan congkaknya kampus yang mendapat hak otonomi itu membuat kenaikan uang kuliah berdasarkan pasal 88 ayat satu capaian Standar nasional pendidikan tinggi, Jenis Prodi dan indeks kemahalan wilayah.Itu melahirkan pembiayaan dengan Skema BKT di PTN dan Sistem Pembiayaan Paket PTS.
Pembiayaan itu membuat peningkatan biaya pendidikan yang cukup tinggi dan mengalami kenaikan setiap tahun. Untuk dapat merasakan Pendidikan Tinggi hari ini tidak ubahnya barang mewah yang hanya dapat di dapat orang yang memiliki uang saja. Akhirnya pendidikan itu haruslah di dapat dengan logika Pembelian.
Semakin membengkaknya biaya pendidikan tinggi di indonesia, yang di 5 kota besar Indonesia mencapai angka rata-rata Rp.5.000.000 sampai Rp.10.000.000 untuk satu semester. Kondisi semakin mahalnya pendidikan tinggi ini tidak di jawab dengan secara mendasar oleh negara, malah membebankan mahasiswa dengan salah satu konsep Subsidi Silang diantara sesama mahasiswa.Â
Selain konsep itu kemudian pemerintah malah ingin memberikan Konsep Student Loans / Pinjaman Pendidikan Mahasiswa yang nyata-nyata pemerintah semakin lepas tanggung jawab atas akses rakyat terhadap pendidikan tinggi. Dan itu telah di restui oleh UU dikti pasal 76 ayat 2 huruf C "Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan".
Pinjaman ini bukan semata soal pemerintah memberikan kekeringanan membeli pendidikan, tapi pada prinsip pendidikan itu hanya dapat oleh orang yang kaya saja, kemungkinan orang miskin meraskan pendidikan tinggi semakin kecil.
Seperti halnya taktik mencabut subsidi sosial lainnya, taktik yang digunakan untuk mebelokkan kesadaran masyarakat atas hak Pendidikan sebgai warga negara di tunggangi wacana biaya produktif. Lagi-lagi pola yang sama diberlakukan. Mulai uji coba apakah isu ini direspon positif atau malah timbul protes-protes, jika semakin adem ayem maka lancarlah kebijakan itu berjalan.
Sebenarnya secara sosial pola pinjaman pendidikan ini sudah lama berada dimasyarakat, namun yang mampu mengenali dan memakai konsep pembiayaan pendidikan melalui lembaga keuangan adalah mereka yang memiliki uang berlebih. Konsep Debitur pendidikan atau simpanan pendidikan selama ini sudah banyak menjadi produk Lembaga keuangan.
Seperti produk simpanan Junio dari BRI, SIPIJAR nya MAndiri, BNI Tapenas,  Investa Cendikia  oleh BSM, CIMB dengan Tabungan Pendidikan Reguler dan Xtra dan banyak lainnya. Konsep ini adalah modal sosial untuk bangunan menerima pola Kredit Pendidikan, yang semakin tidak asing. Dan rakyat akan dipaksa menerima logika pembelian pendidikan dan menerima soal kredit pendidikan.
Melambungkan wacana Student Loans belum ditanggapi serius oleh masyarakat karena belum memahami konsep utuh student loans itu, yang malah bergairah adalah lembaga keuangan seperti Bank Indonesia yang siap bekerja sama dengan OJK, kemudian BRI yang langsung mengeluarkan Produk Student Loans BRIGUNA Flexi Pendidikan, Bank Mandiri, BCA, yang masih mengkaji pelaksanaan Produk Students Loan.
Ada yang aneh dengan konsep Students Loan ini, yang menyambut adalah mereka dari Lembaga keuangan yang selalu mencari keuntungan dari Bunga pinjaman, semakin jelas Konsep Pendidikan itu Nirlaba adalah mitos di era Kapitalistik.
Taktik berikutnya adalah membawa perbandingan dari praktek negara lain, yang dianggap pendidikannya telah maju, dan ini akan menjadi sebuah wacana yang digunakan untuk meyakinkan masyarakat untuk semakin menerima pendidikan berkualitas itu harus mahal dan jika berat di akses dengan sistem pembayaran saat ini akan disediakan ruang keringanan dengan kredit pendidikan yang dapat di lunasi setelah selesai berkuliah.
Wacana saat ini masih di disampaikan dengan akan dalil laksanakan dengan wacana di uji cobakan pada Jenjang Pendidikan Tinggi Magister (S2) dan Doktoral (S3). Tapi itu akan menjadi bentuk persetujuan jika tidak dikritisi apa pentingnya membuka sistem kredit pinjaman pendidikan itu.
Yang sebenarnya hampir sama dengan pola pembayaran hari ini yang walaupun sudah ada paket pembayaran sampai selesai kuliah tapi dapat dicicil persemester, bedanya adalah cicilan itu akan dikenakan bunga karena sudah menggunakan jasa keuangan seperti kredit bank pada umumnya. Dan pada akhirnya ketika konsep ini sekali lagi kita tidak lawan maka akan di resmikan.
Mengapa kita menolak Student Loans ?
Pertanyaan untuk membangun kewarasan kita dalam menolak Student Loans adalah, apa yang menjadi kebutuhan sehingga penting menyelenggarakan kredit pendidikan ?. Pendidikan indonesia hari ini semakin mahal bukanlah karena kegagalan rakyat dalam memenuhi kewajibannya sebagai warga negara.
Praktek penarikan pajak salama 5 (Lima) tahun belakangan sangat disiplin di bayarkan oleh rakyat. Â Luar biasalah penerimaan pajak tahun 2017 sampai di angka Rp.1.472,7 Â T[5]Â dan setiap tahun mengalami peningkatan . Untuk membiayai pendidikan saja masih diangka Rp.444,1 T dengan alokasi untuk Pendidikan tinggi.
Tapi tidak cukup membiayai pendidikan tinggi yang hanya diberi Rp.41,28 T karena pemerintah juga membajak alokasi pendidikan untuk kementerian dan lembaga negara mereka mereka sendiri. Ditambah pendidikan Indonesia tidak memiliki Orientasi yang jelas atas capaian pendidikan itu sendiri.Â
Praktek Student Loans di Indonesia sudah mulai di lakukan pada orde baru dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang difasilitasi oleh BNI tapi di hentikan kurun waktu 1981-1982 karena tidak berdampak pada akumulasi ekonomis waktu itu.
Abdul azis menyampaikan bahwa Program KMI merupakan bagian dari Program Kredit Investasi Kecil/Kredit Modal Kerja PErmanen itu adalah bantuan dari Bank dunia melalui program Small Enterprises Development Project (SEDP) tahap I pada tahun 1977.[6] Jika kita melihat pada saat itu sedang terjadi krisis keuangan di Asia. Maka kredit itu adalah untuk menjawab persoalan ekonomi di lapangan pendidikan.
Seakan Tak ingin ketinggalan para pemodal dalam negeri juga berupaya mengembangkan pola yang sama. Ada tahun 2010 lembaga keuangan Poetra.Sampoerna Foundation (PSF) juga mengeluarkan sistem kredit pinjaman dengan program dana siswa anak bangsa.
Dengan memberikan Student Financing mahasiswa yang berkuliah di Sampoerna School of Education dan Sampoerna School of bisnis mendapat pinjaman yang kemudian dilunasi setelah lulus kuliah. Bantuan sekitar Rp 45 milliar selain dari uang donasi PSF juga dari pinjaman USAID, UBS AG (UBS), Raiffeisen Bank International AG (RBI).
Kemudian pada tahun 2013 Kampus Fisikawan Yohanes Surya, Surya University juga mempraktekkan Kredit Tanpa Agunan (KTA) lalu mengalami gagal bayar ke Bank Mandiri dengan besaran Rp 16 Milliar[7] dan menyeret orang tua mahasiswa dalam polemik itu. Â Selanjutnya ada pula Student loan Yayasan Sosial Bina Sejahtera.
Pinjaman sebesar Rp11 juta untuk dikembalikan dalam jangka waktu tiga tahun tanpa bunga ke lembaga pendidikan di cilicap itu. Dana ini bisa dibelikan seragam, uang ujian, buku, dan SPP.bersasal dari pinjaman Kiva, sebuah organisasi nirlaba asal San Francisco, Amerika Serikat. Kemudian Ada lagi organisasi bernama DANAdidik yang memberikan pinjaman pendidikan dengan bunga 0,54 persen per bulan atau bunga 12 persen per tahun.
Dana yang bisa dipinjam maksimal Rp10 juta. Dana berasal dari penggalangan atau biasa disebut crowdfunding berbasiskan kampanye yang dilakukan calon debitur[8].
Banyaknya pola Student loan itu juga memiliki pola yang sama yaitu membangun hubungan dengan lembaga keuangan, yang merupakan sebuah upaya untuk menciptakan pendidikan yang mahal pula. Ini kita bisa melihat bagaimana pola pendidikan liberal mulai dipraktekkan di indonesia dan terkesan sangat baik dan memiliki martabat, padahal Tidak !.Â
Di Amerika Serikat  sendiri menurut Feds Antara tahun 2001 dan 2016, jumlah riil utang mahasiswa di AmerikaSerikat meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari sekitar $ 340 miliar menjadi lebih dari $ 1,3 triliun.
Peminjam berkisar 45 juta jiwa dengan 70% berhutang untuk pendidikan tinggi, sampai pada taun 2017 rata-rata peminjam kredit pendidikan setelah lulus memiliki pinjaman rata-rata $ 32,731 dengan kategrori usia terbanyak adalah 18-24 tahun dan sampai angka 10,3% gagal mengembalikan pinjaman[9].
Dengan hutang itu maka sambil bekerja harus melunasi hutang tersebut dan angka 10,3% tersebut sampai 10 tahun mereka bekerja terus memenuhi hutang mereka itu.
Selain Amerika serikat data perusahaan Pembiayaan Social Finance (SOFI) menunjukkan kondisi di Inggris pada penghujung penutupan masa kuliah tahun 2017 naik menjadi US $ 11.400 bahkan di Universitas Manchester dapat menghabiskansekitar US $ 108.000.Peningkatan biaya pendidikan dan kebutuhan hidup menempatkan pinjaman rata-rata untuk lulusan 2016 di sekitar US $ 30.800).
Negara lain seperti Swedia mendapat banyak perhatian karena biaya kuliah gratis. Namun, mahasiswa Swedia masih meminjam uang untuk kuliah sama seringnya dengan orang Amerika, sekitar 70% siswa di kedua negara memiliki pinjaman mahasiswa. Tetapi siswa Swedia lulus dengan sekitar $ 20.000 dalam utang , dibandingkan dengan sekitar $ 30.000 untuk lulusan Amerika.
Dan ada beberapa biaya lain yang harus dihadapi tanpa seperti biaya administrasi kecil yang dapat mencapai sekitar $ 600 per tahun. Di Jerman, orang tua dituntut untuk secara finansial mendukung anak-anak mereka bahkan ketika mereka mengejar pendidikan tinggi. Oleh karena itu, siswa Jerman jauh lebih kecil kemungkinannya daripada siswa AS untuk mengambil pinjaman.
Hingga Juni 2016, hanya 18% siswa Jerman yang berurusan dengan utang pinjaman mahasiswa. Dan mereka yang meminjam memiliki pembayaran berbasis pendapatan, dengan semua utang diampuni setelah 20 tahun.
Kemudian di Kanada pemerintah memiliki Program Pinjaman Mahasiswa Kanada (CSLP), yang memungkinkan siswa untuk meminjam hingga 60% dari biaya kuliah mereka, dan pemberi pinjaman swasta dapat membantu dengan sisanya. Siswa memiliki peminjaman rata - rata ketika  meninggalkan sekolah dengan utang US $ 20.114. [10]Â
Sehingga nyatalah bagaimana pelaksanaan pendidikan di serahkan pada pasar akan menambah barisan kesusahan dan penindasan bagi rakyat. Yang sebenarnya pendidikan itu adalah aspek sosial yang harus dimiliki oleh setiap orang secara cuma-cuma. Persoalan student loans bukan saja akan menambah beban rakyat baik pelajar, dan orang tua, namun juga membawa sebuah alam berfikir yang individualistik.
Karena tingginya biaya untuk dapat mengenyam pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, kesucian pendidikan untuk menjadi Pemecah masalah sosial hilang dari roh pendidikan itu sendiri. Penodaan atas luhurnya arti pendidikan itu, malah akan menambah persoalan sosial seperti maraknya kriminalitas, semakin memburuknya kesehatan dan psikologi sosial lainnya.
Dikarekan pendidikan itulah yang menjadi jaring pengaman kehidupan kita sebagai manusia yang berkodrat makhluk sosial. Pendidikan lah yang akan menjawab setiap kebutuhan sosial rakyat yang hari ini jauh dari kata layak. Maka menolak Student Loans adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam merebut kesejahteraan dan hak asasi kita sebagai warga negara dan manusia.
Karena Negara ada untuk memfasilitasi kehidupan rakyatnya, salah satunya dengan pendidikan. maka pendidikan itu harus memiliki wajah yang Gratis, Ilmiah, Demokratis dan bertujuan untuk memajukan rakyat sebagai solusi dan cita-cita kita bersama.
Maka selama pendidikan masih diserahkan kepada logika pasar, selama itu pula negara akan terjebak pada konsepsi pendidikan yang untuk memperbesar dan memperhebat penindasan bagi rakyatnya. Tidak akan tercapai kehidupan ekonomi, sosial, politik budaya dan lain sebagainya tanpa pendidikan yang merata bagi seluruh rakyatnya.
[2] https://bisnis.tempo.co/read/1070262/cerita-menteri-nasir-saat-gunakan-kredit-pendidikan
[3]https://nasional.kompas.com/read/2018/03/16/09043451/sedang-dirancang-mahasiswa-boleh-bayar-kuliah-setelah-diterima-kerja.
Dapat diakses di http://publications.nasfaa.org/jsfa/vol44/iss1/4Â
[5] http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/publikasi/Buku%20Informasi%20APBN%20TA%202018.pdf
Dapat diakses https://www.bi.go.id/id/publikasi/seri-kebanksentralan/Pages/Peranan-BI-dalam-mendukung-pengembangan-usaha-mikro-kecil-dan-menengah.aspxÂ
[9] Laporan Feds tentang kesejahteraan ekonomi Keluarga
Dapat diakses https://www.federalreserve.gov/publications/2017-economic-well-being-of-us-households-in-2016-education-debt-loans.htmÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H