Ini melegitimasi  proses pembiayaan yang kemudian dengan congkaknya kampus yang mendapat hak otonomi itu membuat kenaikan uang kuliah berdasarkan pasal 88 ayat satu capaian Standar nasional pendidikan tinggi, Jenis Prodi dan indeks kemahalan wilayah.Itu melahirkan pembiayaan dengan Skema BKT di PTN dan Sistem Pembiayaan Paket PTS.
Pembiayaan itu membuat peningkatan biaya pendidikan yang cukup tinggi dan mengalami kenaikan setiap tahun. Untuk dapat merasakan Pendidikan Tinggi hari ini tidak ubahnya barang mewah yang hanya dapat di dapat orang yang memiliki uang saja. Akhirnya pendidikan itu haruslah di dapat dengan logika Pembelian.
Semakin membengkaknya biaya pendidikan tinggi di indonesia, yang di 5 kota besar Indonesia mencapai angka rata-rata Rp.5.000.000 sampai Rp.10.000.000 untuk satu semester. Kondisi semakin mahalnya pendidikan tinggi ini tidak di jawab dengan secara mendasar oleh negara, malah membebankan mahasiswa dengan salah satu konsep Subsidi Silang diantara sesama mahasiswa.Â
Selain konsep itu kemudian pemerintah malah ingin memberikan Konsep Student Loans / Pinjaman Pendidikan Mahasiswa yang nyata-nyata pemerintah semakin lepas tanggung jawab atas akses rakyat terhadap pendidikan tinggi. Dan itu telah di restui oleh UU dikti pasal 76 ayat 2 huruf C "Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan".
Pinjaman ini bukan semata soal pemerintah memberikan kekeringanan membeli pendidikan, tapi pada prinsip pendidikan itu hanya dapat oleh orang yang kaya saja, kemungkinan orang miskin meraskan pendidikan tinggi semakin kecil.
Seperti halnya taktik mencabut subsidi sosial lainnya, taktik yang digunakan untuk mebelokkan kesadaran masyarakat atas hak Pendidikan sebgai warga negara di tunggangi wacana biaya produktif. Lagi-lagi pola yang sama diberlakukan. Mulai uji coba apakah isu ini direspon positif atau malah timbul protes-protes, jika semakin adem ayem maka lancarlah kebijakan itu berjalan.
Sebenarnya secara sosial pola pinjaman pendidikan ini sudah lama berada dimasyarakat, namun yang mampu mengenali dan memakai konsep pembiayaan pendidikan melalui lembaga keuangan adalah mereka yang memiliki uang berlebih. Konsep Debitur pendidikan atau simpanan pendidikan selama ini sudah banyak menjadi produk Lembaga keuangan.
Seperti produk simpanan Junio dari BRI, SIPIJAR nya MAndiri, BNI Tapenas,  Investa Cendikia  oleh BSM, CIMB dengan Tabungan Pendidikan Reguler dan Xtra dan banyak lainnya. Konsep ini adalah modal sosial untuk bangunan menerima pola Kredit Pendidikan, yang semakin tidak asing. Dan rakyat akan dipaksa menerima logika pembelian pendidikan dan menerima soal kredit pendidikan.
Melambungkan wacana Student Loans belum ditanggapi serius oleh masyarakat karena belum memahami konsep utuh student loans itu, yang malah bergairah adalah lembaga keuangan seperti Bank Indonesia yang siap bekerja sama dengan OJK, kemudian BRI yang langsung mengeluarkan Produk Student Loans BRIGUNA Flexi Pendidikan, Bank Mandiri, BCA, yang masih mengkaji pelaksanaan Produk Students Loan.
Ada yang aneh dengan konsep Students Loan ini, yang menyambut adalah mereka dari Lembaga keuangan yang selalu mencari keuntungan dari Bunga pinjaman, semakin jelas Konsep Pendidikan itu Nirlaba adalah mitos di era Kapitalistik.
Taktik berikutnya adalah membawa perbandingan dari praktek negara lain, yang dianggap pendidikannya telah maju, dan ini akan menjadi sebuah wacana yang digunakan untuk meyakinkan masyarakat untuk semakin menerima pendidikan berkualitas itu harus mahal dan jika berat di akses dengan sistem pembayaran saat ini akan disediakan ruang keringanan dengan kredit pendidikan yang dapat di lunasi setelah selesai berkuliah.