Sekonyong-konyong tubuhku membeku hingga minus sekian derajat celcius mendengar suaranya. Aku tak berdaya sedikit pun.
“Kabarmu gimana...? Udah lama kamu nggak keliatan. Kamu menghilang....,” kalimatnya terdengar seperti mengiba.
Kuhela napas pajang. Mulutku terbuka, “Mengejar cita-cita..., Winda,” jawabku terbata.
Ditampilkan kembali senyum simpulnya padaku. Dadaku bergemuruh. Cita-cita ini jelas tak ada artinya di hadapannya. Semua yang kucapai selama ini percuma. Aku tak akan bisa mendapati hati perempuan elok ini. Terlalu tinggi untuk kugapai. Jauh... jauh sekali di atas sana, lebih tinggi berkali-kali lipat dibanding hanya mengejar mimpi untuk sekolah di rantau orang.
Percuma. Semuanya sirna. Satu-satunya yang masih bisa menghiburku barangkali hanya lingkungan baru di Eropa Barat. Sesampainya di sana nanti, aku terpaksa harus mengubur dalam-dalam segala rasa, mimpi, dan memori tentang perempuan yang telah membuatku menanti bertahun lamanya hingga karatan. Berat... berat sekali rasanya.
“Oh, ya? Gimana hasilnya?” suaranya memotong interval waktu sunyi yang berlalu.
Kuserahkan dengan pasrah amplop pengumuman itu padanya.
Dibukanya perlahan, lalu matanya menelusuri selembar kertas berisi pengumuman yang kesemuanya tertulis – tentu saja – dalam bahasa Inggris.
Aku diam membisu. Tertunduk.
Kemudian dimasukkannya kembali surat itu seperti semula.
“Selamat ya. Kamu udah dapatkan apa yang kamu mau, Di. Selamat, Ardi! Aku ikut seneng,” katanya sembari tersenyum.