Bando pink Jessica menyambutku dengan hangat. Jessica kelihatan makin cantik hari ini. Ditampilkannya senyum khas yang makin memperindah parasnya.
“Silakhan ‘duduk, Ardi. I need to ask you how you’ve been doing with your dream,” katanya.
Aku menjawab lewat senyum penuh kemenangan, lalu menunjukkan surat dari sebuah universitas yang menerimaku untuk kuliah di sana. Kuserahkan amplop itu padanya. Matanya spontan terbelalak melihat logo berwarna biru di pojok.
“Gosh! You did it??” serunya histeris.
“Come on. Bukan kamu saja yang kaget, Jessy. Aku juga kaget waktu dapat surat itu! I was totally shocked!,” ucapku enteng sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Great job, lad! You made it!Kamu berhazil!” katanya dengan logat ala bulenya yang khas.
Aku mengangguk-angguk senang. Tentunya, itu pun tak lepas dari jasa-jasa bule Inggris ini. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada Jessica. Ia tampak senang sekali, bahkan lebih bahagia daripada aku kelihatannya. Jerih payahnya selama ini tampaknya berhasil pula melalui kesuksesanku.
“Anyway, I’ve just talked to Winda though. Well, I think you should meet her before leaving for England. Kamu harrusz ketemu dia ssebelum pergi, Ardi!” ucapnya.
“Kamu ngomong apa sama dia, Jess?” tanyaku.
Jessica mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Matanya masih menatap takjub amplop yang dipeganginya.
“Tidak apa-apa. Kamu masih mau dia? Masih love dia?”