“Winda...,” desahku.
Hatiku tak karuan dengan campur aduk perasaan yang bermacam-macam di dalamnya. Gelisah, senang, pilu, semuanya berhamburan jadi satu, membentuk nuansa baru yang belum pernah kurasakan dalam sanubariku.
Gadis itu menunduk. Pun aku.
Hujan yang masih lebat di luar gedung tak kurang meriuhkan suasana meski kami terjebak dalam keheningan masing-masing.
Tanganku yang memegangi amplop berisi surat pengumuman dari universitas impianku serasa gemetar. Apa yang kuraih saat ini seperti tak ada apa-apanya ketika berada di hadapan sosok yang kupuja. Semuanya bak sia-sia. Di satu sisi aku memang senang dan sumringah atas kejayaanku di bidang akademik. Tapi yang tengah kualami saat ini adalah sisi lain dari diriku. Sisi yang teramat paradoksal. Ironis. Ketika menatapnya seperti ini, semua kesuksesan dan pencapaianku hanyalah semu belaka. Aku boleh saja senang, tapi bahagia rasanya tidak. Semua manis yang kureguk tak ada artinya. Nol besar. Nothing.
Bahkan, saat ini, saat di mana seorang pemain bola telah membawa timnya menjuarai Piala Dunia, aku ingin membuang trofi kebanggaan itu dengan mudah hanya karena berhadapan dengan sisi lain itu.
Winda masih belum mau angkat bicara, sedangkan aku tak kuasa untuk itu. Aku masih menatapnya. Seolah ada kekuatan magis yang menggerakkanku, tangan kiriku mengambil alih amplop dari tangan kanan. Emosiku membuncah, mencapai klimaks. Ingin kurobek benda ini di hadapannya.
Tidak! Jangan! Itu mimpi yang telah susah payah kau kejar selama ini! Jangan bodoh! Akalku berusaha meneriakiku.
Winda mendongakkan kepalanya. Aku melihati amplop putih yang tertulis namaku di sana: Mr. Ardi Satria Irawan. Siapakah pemilik nama itu? Siapa? Bukan siapa-siapa. Dia tak lain hanyalah pemimpi kecil yang tak patut mendapatkan bulannya.
Aku terlarut dalam kubangan emosi yang menyesatkan akibat akalku yang mati di hadapannya. Tebersit hasrat gila, melempar amplop itu jauh hingga diterpa angin dan dirajam hujan.
“Ardi...,” ucapnya lirih.