“Ardi, pergilah. Kamu kejar cita-citamu yang telah menantimu di sana. Jadilah orang sukses di sana, Sayang. Raih ilmu sebanyak-banyaknya dan jadilah sosok manusia yang berguna. Semoga Tuhan selalu menyertaimu dan membimbingmu kapan pun dan di mana pun kamu berada,” tuturnya sambil menatapku. Ia anggukkan kepalanya kemudian.
“Berperanglah, ksatriaku. Hunus pedangmu, ayunkan dengan mantap. Teriaklah yang lantang tanpa gentar. Aku yakin kamu bisa, Ardi. Bertarunglah demi cita-citamu.... Aku...,” kalimatnya terputus.
Kudengarkan tiap kata yang keluar dari bibir manisnya dengan saksama. Semuanya terdengar indah di telingaku. Secercah asa muncul dalam batinku. Entah apa yang tengah terjadi padanya, aku belum begitu paham. Tapi sejenak kemudian aku merasakan kepiluan akibat perpisahan ini.
Lalu dilanjutkannya, “... Aku tunggu kepulanganmu di sini. Temui aku dua tahun lagi, setelah kamu selesai dengan master degree-mu itu. Kita satukan hati kita, Di. Kita mulai kisah kita... di sini, setelah kamu pulang nanti. Aku siap menantimu, Ardi.... Semoga Tuhan merestui kita,” tuturnya teriring derai hujan yang tiada henti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H