Dalam kebisuan kami beberapa detik, tiba-tiba dari arah samping, di luar jendela, seorang perempuan mengetuk-ngetuk kaca sambil tersenyum ke arah Prayaga. Aku terhenyak. Ketika mengetahui bahwa aku melihat keadaan ini, Prayaga seperti salah tingkah.
Perempuan itu masuk. Mereka saling berpelukan dan Prayaga mencium keningnya. Hatiku mendadak surut melihat kehangatan mereka. Prayaga seakan-akan ingin menghantamku dengan mengatakan bahwa perempuan ini istrinya. Oh, astaga ... dia hamil!---mungkinkah ini alasan Prayaga berhenti merokok? Â
"Alena, ini Suzan." Prayaga memperkenalkanku kepadanya.
"Suzan? Bagaimana kabarmu? Aku mendengar banyak tentangmu."
Aku hanya bisa tersenyum begitu Alena menyalamiku. Alena kemudian mengambil posisi duduk di samping Prayaga dan mengatakan bahwa tubuhnya kedinginan.
Sungguh, pemandangan ketika Prayaga membungkuskan jaketnya ke tubuh Alena dengan lembut telah menusuk-nusuk mataku dan meremas-remas jantungku. Aku sudah tidak ingin berada di antara mereka dan sepertinya memang tidak pantas.
"Maaf, aku harus pergi. Senang bertemu denganmu, Alena, dan calon bayimu, semoga selalu sehat."
"Terima kasih, Suzan. Senang bertemu denganmu juga. Mungkin kita bisa bertemu dan bercerita lebih panjang di lain waktu. Mau, kan?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Pandanganku kemudian beralih ke Prayaga, "Terima kasih untuk hari ini."
Gerimis sudah berhenti, tetapi cahaya matahari masih belum menembus bumi. Aku melangkah menuju mobilku. Entah mengapa, hatiku seperti diaduk-aduk.
"Suzan!" Suara prayaga memanggilku lagi.