Prayaga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya, tetapi aku mencoba menariknya perlahan-lahan sehingga membuatnya terlihat tidak enak hati. Sementara untuk mengatasi kecanggunganku sendiri, aku menyeruput kopi hangatku meski itu tidak serta merta menghilangkan penasaranku, mengapa dulu kami bisa sangat egois dengan pekerjaan masing-masing.
"Bagaimana denganmu sendiri, Prayaga?"
Pertanyaanku seketika membuatnya tertawa.
"Kamu tidak akan memercayainya. Aku menyerah pada akhirnya, tetapi ...."
Aku menelisik kata-katanya. "Maksudmu, kamu akhirnya bekerja di percetakan Ayahmu?"
"Ya."
"Oh, memang sulit dipercaya. Aku tahu, dulu kamu selalu mengatakan bahwa bekerja dengan Ayahmu itu sesuatu yang tidak mungkin, lalu apa yang telah terjadi?"
"Ya, sejak kita berpisah, selama setahun aku pergi berkeliling, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau untuk mencari ide tulisanku. Namun, aku belum menghasilkan apa-apa dan ketika kembali pulang, aku tidak punya apa-apa lagi juga. Aku perlu pekerjaan lain karena aku belum bisa hidup dari tulisanku, walaupun sebenarnya tidak seburuk itu."
Aku menertawakannya. Prayaga pernah sangat keras kepala terhadap keinginannya menjadi penulis hebat. Aku kerap menyarankannya agar dia tidak terjebak dalam idealismenya yang menyusahkan itu.Â
Saat itu, kami bertengkar hebat dan dia marah karena menganggap aku tidak pernah bisa mendukung usahanya. Namun, sekarang berbalik, egonya ternyata bisa mengendur juga.
"Bukan itu saja," katanya melanjutkan pernyataannya.