Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dahlia Putih dan Cinta yang (Belum) Usai

1 Maret 2023   19:30 Diperbarui: 13 Maret 2023   21:00 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dahlia dan cinta | by pixabay 

Jika saja pertemuanku dengan Prayaga tidak terjadi, barangkali kesalahan keputusanku dulu tidak akan membayang-bayangi rencana pernikahanku dengan Haris.

Pagi ini aku ingin menghangatkan tubuhku di coffee shop, tempat yang menjadi pilihanku ketika menginginkan segelas kopi nikmat. Mobilku melaju lancar karena tidak banyak kendaraan dan orang-orang yang melintas atau lalu-lalang. Suasana sepi, bisa jadi karena Minggu, ditambah pula turun gerimis---mungkin saja orang-orang lebih memilih memanjangkan waktu tidurnya di bawah selimut tebal.

Nada panggilan muncul di ponselku. Aku menerimanya dengan menggunakan earphone---menelepon seperti ini lebih aman menurutku.

Pihak penyelenggara untuk perhelatan pernikahanku menawarkan nuansa ungu lavender sebagai pilihan pengganti dekorasi. Katanya, lavender ungu juga melambangkan pengabdian, kesucian, dan cinta. 

Namun, meski artinya menyerupai, aku bersikukuh menginginkan tema pernikahan ini sesuai mauku: Putih klasik dahlia karena menurutku bunga ini jauh lebih mengutamakan ketulusan cinta. Walaupun sudah pernah melakukannya, maksudku, ini pernikahanku yang kedua, aku masih menyukai nuansa yang sama.

Ketika sebelumnya kuutarakan hal tersebut kepada Haris, dia tidak keberatan, bahkan membiarkan semua pengaturannya kepadaku. Haris laki-laki yang tidak pernah ambil pusing, sementara aku cenderung detail. 

Meski itu salah satu perbedaan yang mencolok, kami tidak pernah meributkannya. Lebih tepatnya, dia selalu memahamiku. Karena itulah aku menyukainya.

Tidak butuh waktu lama, sekitar tiga puluh menit sejak dari rumah, tibalah aku di area parkir terbuka coffee shop. Kendaraan yang terparkir belum begitu banyak sehingga aku masih leluasa memilih tempat. Mesin mobil kumatikan, aku keluar, dan bergegas menuju pintu masuk dengan berlari kecil. Tas tangan hitam yang kubawa, kutaruh di atas kepalaku untuk menghindari basah gerimis kendati tidak sepenuhnya menolong.

Tanpa memperhatikan beberapa orang yang sudah berada lebih dulu di dalam ruangan, aku langsung ke bagian pemesanan. Pemilihan coffee latte hangat dalam udara dingin kurasa sungguh tepat.  

Sambil menunggu pramusaji menyajikan kopi pesananku, aku mengeluarkan sejumlah uang untuk membayarnya di meja kasir. Setelah itu, aku berdiri diam di sana dan menyibukkan diri dengan menggulirkan layar ponsel sekadar melihat-lihat berita apa saja yang menarik di media online.  

Saat inilah tiba-tiba seseorang menyapaku, "Suzan!"

Begitu menoleh ke arahnya, aku terkejut melihat laki-laki dengan rambut sebahu dan berewok tipis.

"Pra---Prayaga? Hai!"

Kami bersalaman, lalu menyentuhkan kedua pipi masing-masing, seperti yang dilakukan kebanyakan orang ketika bertemu.

"Apa kabarmu, Suzan?"

"Baik. Dan kamu? Kembali ke kota ini lagi?"

"Sepertinya, ya."

"O---"Entahlah, apakah ini sesuatu yang menyenangkanku atau sebaliknya. Sejak dua tahun lalu, aku memang belum pernah melihatnya lagi karena dia memilih tinggal di kota lain.

"Hei, aku dengar, kamu akan menikah?"

"Oh, ya, betul. Sekarang aku sedang sibuk mempersiapkannya."

"Selamat, ya."

Entah mengapa kami kemudian bertatapan untuk beberapa saat seakan-akan menyimpan rasa yang masih belum tuntas. Jika saja seorang pelayan tidak mengantarkan pesananku, mungkin saja kami terus terdiam terpaku.

"Maaf, aku agak terburu-buru," kataku mendadak kikuk.

"Kamu---hmmm, kamu tidak keberatan jika minum kopi bersamaku di sini? Oh, maksudku, beberapa menit saja."

Meski ragu untuk menuruti permintaannya, aku mengangguk pelan.

Kami mencari tempat duduk di samping jendela besar di pinggir ruangan. Dari balik kacanya, gerimis masih enggan berhenti dan seolah-olah situasinya turut menyambut pertemuanku kembali dengan Prayaga. Kami lantas menarik kursi dan duduk berhadapan.

Prayaga memulai obrolan, "Bagaimana pekerjaanmu sekarang?"

"Baik. Aku dipromosikan menjadi kepala bagian departemen keuangan di kantorku."

"Iyakah?"

"Ya."

"Hebat. Kamu memang sangat berambisi dalam karier."

"Ya. Akhirnya. Aku bekerja keras dalam hal ini."

"Aku turut berbahagia untukmu, Suzan. Kamu pantas mendapatkannya."

Prayaga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya, tetapi aku mencoba menariknya perlahan-lahan sehingga membuatnya terlihat tidak enak hati. Sementara untuk mengatasi kecanggunganku sendiri, aku menyeruput kopi hangatku meski itu tidak serta merta menghilangkan penasaranku, mengapa dulu kami bisa sangat egois dengan pekerjaan masing-masing.

"Bagaimana denganmu sendiri, Prayaga?"

Pertanyaanku seketika membuatnya tertawa.

"Kamu tidak akan memercayainya. Aku menyerah pada akhirnya, tetapi ...."

Aku menelisik kata-katanya. "Maksudmu, kamu akhirnya bekerja di percetakan Ayahmu?"

"Ya."

"Oh, memang sulit dipercaya. Aku tahu, dulu kamu selalu mengatakan bahwa bekerja dengan Ayahmu itu sesuatu yang tidak mungkin, lalu apa yang telah terjadi?"

"Ya, sejak kita berpisah, selama setahun aku pergi berkeliling, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau untuk mencari ide tulisanku. Namun, aku belum menghasilkan apa-apa dan ketika kembali pulang, aku tidak punya apa-apa lagi juga. Aku perlu pekerjaan lain karena aku belum bisa hidup dari tulisanku, walaupun sebenarnya tidak seburuk itu."

Aku menertawakannya. Prayaga pernah sangat keras kepala terhadap keinginannya menjadi penulis hebat. Aku kerap menyarankannya agar dia tidak terjebak dalam idealismenya yang menyusahkan itu. 

Saat itu, kami bertengkar hebat dan dia marah karena menganggap aku tidak pernah bisa mendukung usahanya. Namun, sekarang berbalik, egonya ternyata bisa mengendur juga.

"Bukan itu saja," katanya melanjutkan pernyataannya.

"Ada lagi?"

"Aku berhenti merokok."

"O,ya? Benarkah? Ini bahkan lebih sulit dipercaya. Sejak kapan?"

"Tujuh bulan lalu."

"Wow. Alasannya?"

"Aku tidak ingin itu berisiko ke depan."

 Segampang itukah kesadarannya? Aku tahu betul bagaimana dia selalu menghabiskan berbatang-batang rokok dalam sehari dan bagaimana aku harus mengomelinya karena sering kali abu rokoknya mengotori karpet kesayanganku. Jika alasannya seperti yang dia ucapkan, itu sungguh upaya yang luar biasa untuk tidak menjadi perokok berat seperti dulu.

"Baguslah," kataku mengapresiasinya.

Prayaga mengangguk dan tersenyum. Kami terdiam beberapa saat sebelum mengobrol kembali.

"Kapan pernikahanmu?"

"Bulan depan."

"Di pantai?"

"Ya."

"Tentu saja. Itu tempat yang sangat istimewa, bukan?"

Pernyataan Prayaga seakan-akan menyeretku ke dalam kenangan ikatan janji suci kami dulu, yang juga dilakukan di pinggir pantai. Namun, mengingat hal itu membuatku sesak karena akhirnya hubungan kami malah tidak bisa dipertahankan.

Dia menatapku dengan hangat sehingga aku dibuatnya merasa bersalah karena keputusankulah yang menginginkan kami berpisah. Namun, sesuatu dari perasaanku ini justru ingin mengetahui kehidupannya lebih jauh, sepeninggalanku.    

"Kamu sudah menikah lagikah?"

Meski tampak bingung, dia mengangguk. Oh, aku memejamkan mata sejenak dan mengembuskan napas.

"Dan aku tahu siapa dia?"

"Tidak, tidak sama sekali. Dia perempuan pengembara, sama sepertiku."

"Dia pasti sangat jatuh cinta kepadamu."

"Nah, itulah yang dia katakan."

Mengapa dadaku terasa menyempit seolah-olah tidak siap mendengarnya? Meskipun aku menyangkal tentang adanya kecemburuan, bahwa aku sudah melupakannya, tetapi kenyataannya, harus kuakui, perasaan cintaku ini masih tetap ada kepadanya.

"Bagaimana dengan Haris?" katanya balik bertanya dan aku tidak menyangka dia akan bertanya seperti itu.

"Dia laki-laki yang baik."

"Dan dia begitu cepat hadir, bahkan sebelum palu pengadilan kita diketuk."

"Itu bukan salahnya Haris, Prayaga. Kita berpisah bukan karena dia."

"Aku tidak tahu, tetapi kamu akhirnya menikah dengannya, bukan?"

"Kamu tahu, kan, apa yang aku inginkan dalam pernikahan?"

"Anak."

"Tidak. Aku bahkan tidak merisaukannya ketika kita belum siap memilikinya, bahkan mungkin kamu. Aku hanya ingin memiliki keluarga dan bahagia. Dan kamu tidak pernah mencoba melihatnya dari sudut pandangku. Bagaimana kita menjalin hubungan, bagaimana pengorbananku untukmu, kamu tidak pernah melihat itu semuanya."

"Tunggu, Suzan. Ketika keberhasilan kariermu membuatmu merasa telah melakukan semua perjuangan, apakah hal lain dari itu terasa seperti pengorbanan? Kamu bahkan tidak pernah mengerti posisiku."

"Penjelasanku berulang-ulang sepertinya tidak bisa kamu terima. Lagi-lagi kamu menyakiti hatiku, Prayaga. Baiklah, aku tidak bisa lama-lama di sini."

Aku berdiri dan bersiap hendak meninggalkannya, tetapi tangannya terlebih dahulu menahanku. Aku diam dan menatapnya penuh kekecewaan.

"Suzan, tolong maafkan aku. Ayolah, kita bisa mencoba menjalin hubungan yang baik, bukan? Ini sudah berakhir, sudah lama sekali. Kita seharusnya bisa bersikap normal lagi."

Aku duduk kembali dan mencoba menstabilkan emosiku.

"Dua tahun bukan waktu yang lama."

"Aku sangat merindukanmu, Suzan. Aku bahkan memanggil namamu ribuan kali."

"Tidak ada gunanya lagi sekarang. Kamu sudah tahu itu, kan?"

Aku menghela napas. Prayaga kemudian memajukan wajahnya, menatapku dalam-dalam dengan jarak dekat seperti hendak memahami pergolakan batin yang tiba-tiba kualami saat ini bahwa aku tidak pernah bisa keluar dari lingkaran perasaan kami meski kutepis dengan paksa---dan aku sangat membenci situasi ini.

"Suzan, apakah kamu bahagia sekarang?"

Oh, Tuhan, aku tidak ingin terjebak dengan pertanyaannya yang seperti menyudutkan hubunganku dengan Haris---dan aku tidak ingin bereaksi konyol. Aku bahagia memiliki Haris, begitulah jawabanku kepadanya.

"Sayangnya, sorot matamu tidak pandai berbohong."

Aku melengos ke arah jendela. Seandainya pun aku tidak benar-benar bahagia, aku tidak ingin mengubah keadaan berbalik seperti dulu walau kekacauan perasaanku tiba-tiba muncul.

Dalam kebisuan kami beberapa detik, tiba-tiba dari arah samping, di luar jendela, seorang perempuan mengetuk-ngetuk kaca sambil tersenyum ke arah Prayaga. Aku terhenyak. Ketika mengetahui bahwa aku melihat keadaan ini, Prayaga seperti salah tingkah.

Perempuan itu masuk. Mereka saling berpelukan dan Prayaga mencium keningnya. Hatiku mendadak surut melihat kehangatan mereka. Prayaga seakan-akan ingin menghantamku dengan mengatakan bahwa perempuan ini istrinya. Oh, astaga ... dia hamil!---mungkinkah ini alasan Prayaga berhenti merokok?  

"Alena, ini Suzan." Prayaga memperkenalkanku kepadanya.

"Suzan? Bagaimana kabarmu? Aku mendengar banyak tentangmu."

Aku hanya bisa tersenyum begitu Alena menyalamiku. Alena kemudian mengambil posisi duduk di samping Prayaga dan mengatakan bahwa tubuhnya kedinginan.

Sungguh, pemandangan ketika Prayaga membungkuskan jaketnya ke tubuh Alena dengan lembut telah menusuk-nusuk mataku dan meremas-remas jantungku. Aku sudah tidak ingin berada di antara mereka dan sepertinya memang tidak pantas.

"Maaf, aku harus pergi. Senang bertemu denganmu, Alena, dan calon bayimu, semoga selalu sehat."

"Terima kasih, Suzan. Senang bertemu denganmu juga. Mungkin kita bisa bertemu dan bercerita lebih panjang di lain waktu. Mau, kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Pandanganku kemudian beralih ke Prayaga, "Terima kasih untuk hari ini."

Gerimis sudah berhenti, tetapi cahaya matahari masih belum menembus bumi. Aku melangkah menuju mobilku. Entah mengapa, hatiku seperti diaduk-aduk.

"Suzan!" Suara prayaga memanggilku lagi.

Prayaga menghampiriku. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi tidak satu katapun yang terucap selain memelukku erat. Semua usai dan aku berharap benar-benar usai. Setelah berpamitan, aku kemudian meninggalkannya dalam kegetiran dan air mata yang tidak bisa kutahan untuk keluar.  

Ponselku berdering. Nama Haris tertera di sana.

"Aku ingin bertemu---hei, kamu kedengarannya menangis? Ada apa, Suzan?"

"Tidak, Haris, aku baik-baik saja. Maksudku, ya, aku menangis karena---oh, seharusnya dahlia putih ada untuk pernikahan kita nanti. Tapi jika benar-benar itu susah dicari karena mungkin bukan musimnya berkembang, tidak apa-apa jika pernikahan kita menggunakan lavender ungu."

---

-Shyants Eleftheria, life is a journey---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun