Jika saja pertemuanku dengan Prayaga tidak terjadi, barangkali kesalahan keputusanku dulu tidak akan membayang-bayangi rencana pernikahanku dengan Haris.
Pagi ini aku ingin menghangatkan tubuhku di coffee shop, tempat yang menjadi pilihanku ketika menginginkan segelas kopi nikmat. Mobilku melaju lancar karena tidak banyak kendaraan dan orang-orang yang melintas atau lalu-lalang. Suasana sepi, bisa jadi karena Minggu, ditambah pula turun gerimis---mungkin saja orang-orang lebih memilih memanjangkan waktu tidurnya di bawah selimut tebal.
Nada panggilan muncul di ponselku. Aku menerimanya dengan menggunakan earphone---menelepon seperti ini lebih aman menurutku.
Pihak penyelenggara untuk perhelatan pernikahanku menawarkan nuansa ungu lavender sebagai pilihan pengganti dekorasi. Katanya, lavender ungu juga melambangkan pengabdian, kesucian, dan cinta.Â
Namun, meski artinya menyerupai, aku bersikukuh menginginkan tema pernikahan ini sesuai mauku: Putih klasik dahlia karena menurutku bunga ini jauh lebih mengutamakan ketulusan cinta. Walaupun sudah pernah melakukannya, maksudku, ini pernikahanku yang kedua, aku masih menyukai nuansa yang sama.
Ketika sebelumnya kuutarakan hal tersebut kepada Haris, dia tidak keberatan, bahkan membiarkan semua pengaturannya kepadaku. Haris laki-laki yang tidak pernah ambil pusing, sementara aku cenderung detail.Â
Meski itu salah satu perbedaan yang mencolok, kami tidak pernah meributkannya. Lebih tepatnya, dia selalu memahamiku. Karena itulah aku menyukainya.
Tidak butuh waktu lama, sekitar tiga puluh menit sejak dari rumah, tibalah aku di area parkir terbuka coffee shop. Kendaraan yang terparkir belum begitu banyak sehingga aku masih leluasa memilih tempat. Mesin mobil kumatikan, aku keluar, dan bergegas menuju pintu masuk dengan berlari kecil. Tas tangan hitam yang kubawa, kutaruh di atas kepalaku untuk menghindari basah gerimis kendati tidak sepenuhnya menolong.
Tanpa memperhatikan beberapa orang yang sudah berada lebih dulu di dalam ruangan, aku langsung ke bagian pemesanan. Pemilihan coffee latte hangat dalam udara dingin kurasa sungguh tepat. Â
Sambil menunggu pramusaji menyajikan kopi pesananku, aku mengeluarkan sejumlah uang untuk membayarnya di meja kasir. Setelah itu, aku berdiri diam di sana dan menyibukkan diri dengan menggulirkan layar ponsel sekadar melihat-lihat berita apa saja yang menarik di media online. Â
Saat inilah tiba-tiba seseorang menyapaku, "Suzan!"