Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Lainnya - Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Scroll Video Pendek Bisa Melemahkan Otak?

17 Januari 2025   22:18 Diperbarui: 18 Januari 2025   04:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan "Scattered Memories" (Sumber: asycd.medium.com)

Platform yang menyajikan konten video-video pendek memang semakin banyak penggunanya dalam tahun-tahun terakhir ini. Mudah dinikmati dan juga dibagikan. Namun adiksi terhadap konten video-video pendek ini pun semakin jelas terlihat, khususnya pada kaum muda. Hal ini berdampak tidak hanya pada kesehatan fisik namun juga mental. 

Konten video pendek dapat berupa potongan lagu, klip yang menghibur, maupun potongan berita. Dengan perangkat AI terbaru, konten apapun dapat diubah menjadi TikTok ataupun Short YouTube. Oleh karena itu, jumlah video yang dibuat di berbagai platform media sosial sangat berlimpah dan dapat membuat penggunanya berselancar tiada henti. 

User generated content (UGC), jenis konten yang dibuat oleh pengguna - bukan oleh suatu perusahaan atau merek tertentu, diketahui adalah yang paling membuat ketagihan kaum muda. Hal ini terutama karena mereka senang menikmati kehidupan orang-orang asing yang tidak mereka kenal. Banyaknya UGC ini didorong oleh yang disebut voyeurisme sosial.

Media-media sosial mengetahui dengan tepat strategi untuk mempertahankan penggunanya. Walaupun tahu apa yang disajikan mengganggu nilai-nilai hidup kita, namun kita tidak menentang hal tersebut. Kita patuh dan tunduk karena stimulus gratifikasi hiburan secara instan yang diperoleh. 

Sejauh ini, bisa dipastikan Anda yang saat ini membaca ingin segera berhenti membaca. Atau kepala Anda mulai terasa berkabut. Anda ingin membaca sesuatu yang lebih pendek atau bacaan dengan lebih banyak gambar dan lebih sedikit teks. Lebih baik lagi bila tulisan ini dapat berubah menjadi video. 

Tidakkah kita sadari kalau penderitaan ini karena kemampuan kita untuk berkonsentrasi semakin merosot? 

Efek dari kebanyakan berselancar di media sosial pada mata telah banyak dipelajari, namun studi dampaknya pada memori dan fungsi kognitif masih terbatas. Menikmati video-video pendek secara terus menerus diketahui mempengaruhi daya ingat (memori) dan rentang perhatian. 

Candu video pendek

TikTok, sebuah platform yang terkenal dengan video-video pendeknya, diketahui beroperasi dengan prinsip yang dikenal dalam psikologi sebagai 'penguatan acak'. Tidak hanya TikTok yang menyajikan video-video pendek, Instagram dan Facebook pun memiliki platform yang serupa yaitu Reel dan Youtube memiliki Short.

Dilansir dari Forbes, profesor University of Southern California (USC) dan juga seorang penulis, Dr. Julie Albright, mengatakan pengalaman pertamanya dengan TikTok adalah untuk keperluan penelitian. 

Walaupun pertama kalinya ia berselancar di platform tersebut, Albright mengaku telah menghabiskan waktu satu jam tanpa ia sadari. "Saya menjadi candu sejak pertama sekali," katanya. 

"Ketika kamu menscroll, terkadang kamu melihat foto atau sesuatu yang menyenangkan dan menarik perhatianmu. Kamu mendapat sedikit asupan dopamin untuk otak ... di bagian pusat kenikmatan di otak. Akibatnya kamu ingin terus scroll," ujar Albright. 

"Kamu terus menscroll karena terkadang kamu melihat yang disukai dan terkadang tidak. Dan perbedaan ini sangat mirip dengan mesin judi slot," terang Albright yang merupakan pengarang buku Left To Their Own Devices: How Digital Natives Are Reshaping the American Dream. 

Penelitian yang dipublikasi di Journal of Experimental Psychology menemukan aktivitas menscroll yang tidak masuk akal adalah cara manusia untuk lari dari perasaan-perasaan negatif. Gratifikasi instan dan pengalihan sementara dengan menscroll menjadi jalan keluar yang mudah ketika berhadapan dengan stres, kebosanan, atau perasaan tidak menyenangkan. Ini adalah bentuk pelarian dari dunia nyata ke dunia digital yang bila dilakukan terus menerus dapat menjadi kebiasaan yang kompulsif. 

Otak susut dan ingatan yang berserakan

Albright mengatakan prinsip 'penguatan acak' (Random reinforcement) sama seperti prinsip yang mengakibatkan adiksi pada judi. Dalam psikologi, prinsip ini berarti "terkadang kamu menang, terkadang kamu kalah". 

"Seperti inilah platform dirancang ... Mereka persis seperti mesin slot. Kita tahu satu hal kalau mesin-mesin ini membuat candu. Kita tahu ada kecanduan judi, bukan? Namun kita tidak sering membicarakan bagaimana alat yang kita pakai dan platform-platform dan aplikasi-aplikasi memiliki kualitas membuat candu yang sama di dalamnya," kata Albright. 

Prinsip penguatan acak membuat otak menginginkan ganjaran (dalam bentuk video yang kita sukai) yang akan menaikkan dopamin saat itu juga. 

Lonjakan dopamin secara cepat dan terus menerus membuat efek penggunaan media-media sosial ini menyerupai candu pada judi, di mana kecanduan akan membuat otak menjadi susut. Penelitian telah menunjukkan bahwa kecanduan gim daring (game online) membuat atrofi (penyusutan) pada bagian otak yaitu korteks frontal. 

Sebuah penelitian pada tahun 2018 memperlihatkan atrofi (penyusutan) yang jelas pada otak anak-anak berusia 9-10 tahun yang menggunakan ponsel cerdas lebih dari tujuh jam sehari. Data menunjukkan rata-rata anak-anak umur 8-12 tahun menatap layar ponsel cerdas selama 4-6 jam setiap hari dan lebih dari 8 jam sejak pandemi. 

Pernah mendengar istilah "TikTok brain" atau "otak TikTok"? Istilah ini dengan tepat merepresentasikan dampak platform video pendek tersebut terhadap kognisi dan fungsi mental manusia secara keseluruhan. 

Walaupun studi atau penelitian yang luas dan longitudinal akan efek ini masih sedikit, ada banyak bukti dampak merugikan dari menonton video-video pendek secara rutin, terutama dampaknya pada perkembangan otak anak-anak dan remaja yang secara ironis terjadi pada kebanyakan individu yang keranjingan TikTok.  Studi longitudinal adalah metode penelitian yang melibatkan pengamatan pada individu yang sama selama jangka waktu tertentu untuk mengamati perubahan. 

Semua deretan konten di sosial media (Feed) tersebut memang dirancang untuk candu. Algoritma untuk mendeteksi konten yang akan dimunculkan sengaja dikembangkan dan terus menerus diperbarui sehingga sesuai dengan minat pengguna dan mempertahankan mereka selama mungkin di platformnya. 

Dahulu Facebook dan Instagram kebanyakan menampilkan konten dari akun yang sudah kita ikuti (follow). Namun penulis menyadari kalau sekarang ini, terutama Facebook, semakin sering menampilkan halaman yang tidak pernah kita ikuti namun memang sesuai dengan minat kita. Bila kita mengikuti halaman tersebut, maka halaman tersebut menjadi jarang ditampilkan. Sebaliknya halaman lain yang belum kita ikuti yang kemudian akan ditampilkan. 

Walaupun video-video yang ditampilkan di platform Facebook tidak sependek di TikTok, namun algoritma yang terus-menerus menampilkan halaman-halaman baru yang belum kita ikuti, tampaknya terbukti efektif untuk mempertahankan orang-orang untuk lebih lama berada di platform tersebut. Prinsip yang sama seperti yang dilakukan oleh TikTok. 

Lukisan dengan judul 'scattered memories' (ingatan yang berserakan) di bawah ini adalah penggambaran salah satu efek samping dari konsumsi video pendek secara berlebihan.

Lukisan
Lukisan "Scattered Memories" (Sumber: asycd.medium.com)
Perhatian yang pendek dan konsentrasi yang terpecah-pecah

Menonton tanpa henti video-video pendek dengan durasi 15 hingga 30 detik akan terus memperpendek rentang perhatian, namun memperpanjang durasi waktu yang dihabiskan untuk menonton. 

Penonton video-video pendek secara intens dipaksa untuk segera mengalihkan perhatian antara konten yang satu ke konten yang lain. Hal ini memperpendek rentang waktu seseorang untuk memperhatikan sesuatu (fokus) dan mengurangi kemampuan untuk menangkal distraksi. 

Secara tidak disadari, kemampuan konsentrasi seseorang dibentuk menjadi tidak lebih dari 10 detik. Mengerikan sekali bukan? Akibatnya produktivitas dan kemampuan belajar seseorang menjadi menurun. 

Video-video pendek yang begitu cepat berganti juga membuat rentang perhatian tersebar. Otak seyogyanya berjuang untuk fokus pada suatu konsep tunggal namun dipaksa untuk segera beralih ke tema lain dan hal ini menghambat konsolidasi informasi ke dalam memori (ingatan). 

Dengan platform seperti TikTok dan berbagai Reels, ingatan bisa dikatakan sebatas konten terakhir yang dilihat. Hal ini membuat kita tergantung pada platform untuk mengingat hal-hal yang sudah dibagikan dan melemahkan kemampuan mengingat.  

Ada laporan tentang mereka yang sudah kecanduan video-video pendek tidak lagi mampu untuk fokus pada format video yang lebih panjang, apalagi membaca buku atau mengerjakan pekerjaan rumah. 

Dilansir dari socialmediapsychology.eu, 50% pengguna TikTok aktif mengatakan kalau video-video dengan durasi panjang membuat mereka stress. Pengguna juga mengatakan tidak dapat mempertahankan fokus pada video-video dengan durasi 10 menit. Mereka yang kecanduan konten yang ditampilkan dalam video-video pendek akan mulai melihat platform lain sebagai "lamban" dan membosankan. 

TikTok pernah memperkenalkan format video yang lebih panjang yaitu hingga 10 menit pada awal tahun 2022 sebagai bentuk diversifikasi. Namun bagian pemasaran TikTok menyadari video-video dengan format yang sangat pendek yang akan terus menjadi konten yang paling menarik untuk para penonton muda. Pada 2022, durasi optimal video-video TikTok diperkirakan antara 21 hingga 34 detik. 

Data ini pun menjadikan para pembuat konten memilih menyesuaikan waktu konten ke media sehingga lebih banyak ditonton yaitu dengan membuat video-video dengan durasi yang pendek-pendek. 

Terkait dengan menjual sesuatu, pembuat konten menghindari kompleksitas dan mengusahakan segala sesuatu dibuat sesingkat mungkin. Konten juga lebih menitikberatkan pada aspek visual dan presisi verbal. Hal ini tentunya masuk akal di tengah dunia yang dipenuhi oleh banyak informasi dan waktu manusia tetap sama yaitu 24 jam sehari. Masuk akal bila orang-orang membuat konten yang singkat sehingga tidak menghabiskan banyak waktu untuk ditonton. 

Namun tanpa disadari, keinginan untuk mempersingkat segala sesuatu dan meniadakan semua penghalang untuk berpikir dan menganalisa akan membawa dampak buruk dalam jangka panjang. Manusia berpikir dengan aktivitas ini akan membuatnya semakin pintar dan ulet, namun yang sebenarnya adalah aktivitas ini telah memecah konsentrasi kita. Konsentrasi yang terpecah akan menghambat pencapaian tujuan jangka panjang. 

Gangguan memori

Fokus yang terhambat dan rentang fokus yang semakin pendek juga mempengaruhi kemampuan mengingat. Banyaknya video pendek yang dilihat menginterferensi satu sama lain menghasilkan mosaik dari ingatan yang terpecah-pecah. 

Dampak ini tidak muncul dalam jangka pendek, namun baru dirasakan setelah paparan jangka panjang. Seiring berjalannya waktu, akumulasi dari ingatan-ingatan yang terpecah-pecah ini dapat mengakibatkan kemampuan otak mengingat dengan tepat suatu hal menjadi menurun.  

Mengelola overstimulasi di era keterlibatan digital secara konstan menjadi tantangan. 

Kemampuan membaca menjadi lebih lambat

Otak manusia mencerna informasi visual lebih cepat daripada teks. Video-video pendek juga dapat mengakibatkan kemampuan membaca seorang anak tertinggal, apalagi video-video pendek tersebut sering kali tidak ada teksnya. 

TikTok memaksa penggunanya untuk secara cepat memahami apa yang ditonton daripada metode membaca teks. Kebiasaan belajar dengan langkah yang cepat ini akan membuat anak-anak lebih lambat mengembangkan dan mempertahankan keahlian membaca. 

Karena rentang fokusnya yang pendek, orang yang sudah kecanduan video-video pendek juga sulit untuk fokus pada aktivitas-aktivitas dengan kecepatan yang lebih lamban seperti membaca. Orang-orang di zaman sekarang lebih suka membaca cuitan di X atau Thread yang singkat daripada membaca buku dengan 100 halaman tanpa gambar. 

Membaca buku menghabiskan banyak waktu dan usaha sehingga semakin ditinggalkan. Orang-orang juga berpikir mengapa harus membaca seluruh buku bila dapat mengetahui isinya dari cuitan 'smart people' yang hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk membacanya? 

Adalah salah mempercayai kalau konsumsi konten-konten yang singkat akan membuat kita semakin pintar. 

Kemampuan berpikir kritis menurun

Otak yang kesulitan untuk mengingat informasi lampau akan mengurangi kemampuan berpikir secara kritis (critical thingking). Melemahnya kemampuan membaca juga selanjutnya sangat berpengaruh pada kemampuan untuk berpikir. Secara keseluruhan, kemampuan kognitif melemah. 

Kemampuan berpikir secara mendalam dibatasi bila kita terus secara cepat disuguhkan konten yang berubah-ubah. Hal ini karena tidak ada waktu yang digunakan untuk merenung atau berpikir. Supaya suatu ide atau informasi dapat dipertimbangkan oleh akal dan secara potensial menjadi suatu kebiasaan, dibutuhkan ruang waktu untuk merenung dan menimbangnya.

Ruang pertimbangan ini tidak ada ketika seseorang secara cepat beralih dari satu konten ke konten lainnya. Sangat berbeda situasinya ketika kita membaca. Tidak ada kepentingan untuk menscroll secara cepat ke halaman berikutnya. Setiap halaman sama yaitu penuh berisi teks. Makna dari teks itu sendiri saja dapat memuaskan si pembaca. Tidak ada gambar-gambar atau video yang menginterupsi selama kegiatan membaca. Pembaca dapat dengan tenang berhenti dan mempertimbangkan apa yang tertulis. 

Konten yang singkat juga sering kali kehilangan konteks sehingga informasi yang didapatkan menjadi bias. Konten yang singkat juga seringkali berupa cuplikan-cuplikan video asli yang telah diberikan narasi baru yang tidak sesuai dengan aslinya. Terbiasa dengan video-video pendek dapat membuat seseorang yang tidak kritis dan rendah literasi mempercayai semua isi video-video tersebut. 

Membaca buku ataupun mendengarkan berita yang lebih panjang, walaupun lebih menyita waktu, terbukti membuat seseorang lebih bertumbuh secara intelektual. Namun karena otak manusia rentan untuk terlibat dalam aktivitas yang memberikan hasil yang cepat, kita cenderung lebih mudah meninggalkan buku daripada ponsel pintar. 

Perlu juga disadari kalau waktu yang habis digunakan untuk menscroll video-video pendek seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas lain yang dapat mempengaruhi secara positif perkembangan kognitif dan kemampuan belajar seseorang, misalnya berolah raga, kegiatan sosial, membaca buku, menulis, berkebun, dan lain-lain. 

Kesulitan tidur

Kebiasaan menscroll Feed berisi video pendek akan mengganggu siklus tidur. Cahaya biru dari perangkat gawai pintar maupun tablet dapat menekan produksi melatonin yang dibutuhkan untuk menjaga siklus tidur dan bangun. Penggunaan media sosial yang berlebihan menunda onset tidur dan mengganggu kualitas tidur secara keseluruhan. 

Kebiasaan menscroll video-video pendek juga membuat seseorang lebih mudah terjaga dari tidurnya. FOMO (Fear of Missing Out) adalah fenomena yang lazim pada mereka dengan screen time panjang. Orang-orang ini lebih mudah cemas karena merasa ketinggalan berita terbaru sehingga tidurnya pun menjadi terganggu. 

Kembali pada jalur

Lalu bagaimana kita dapat kembali pada jalur yang seharusnya mendukung pertumbuhan kognitif dan kemampuan belajar sedangkan lingkungan menawarkan budaya menscroll? 

Pertama kita harus mengakui bahwa kebiasaan menscroll adalah suatu masalah. Pengakuan akan menumbuhkan kesadaran. 

Cobalah berhitung berapa jam yang dihabiskan untuk scroll media sosial. Ada sejumlah aplikasi yang dapat digunakan untuk mengetahui screen time. Alat-alat ini dapat menguraikan waktu yang kita habiskan di berbagai aplikasi, bahkan aktivitas khusus seperti melihat video. Mengetahui data ini akan membantu melihat pola penggunan smart phone kita, seperti waktu-waktu tertentu dalam sehari di mana kita cenderung untuk menscroll media sosial. 

Yang ekstrim tentunya adalah menghapus semua aplikasi yang berisi video-video pendek. Tidak semua orang dapat melakukan metode ini. Namun bila tidak terkait dengan pekerjaan profesional, kita sebenarnya tidak perlu mengunduh semua jenis sosial media. Pilih beberapa saja media sosial yang Anda sering melihatnya. 

Batasi waktu untuk scroll video-video pendek, misalnya 5 hingga 10 menit dan kembali pada tugas atau pekerjaan lain yang lebih produktif. 

Matikan notifikasi dari media-media sosial sehingga tidak mengganggu perhatian sehari-hari. Kita tidak butuh untuk update segala informasi. 

Sangat baik bila kita bisa memutuskan jam atau tempat di mana kita tidak akan membuka sosial media. Misalnya tidak membuka sosial media apapun selama jam kerja, tidak membuka sosial media di atas jam 10 malam atau sebelum jam 6 pagi, dan tidak membuka sosial media ketika sedang makan. 

Atau Anda bisa membatasi waktu bermedia sosial, misalnya maksimal 30 menit bila menscroll Facebook dan lanjutkan dengan aktivitas lainnya. 

Beberapa orang memutuskan untuk tidak mencas gawainya di ruangan tidur sehingga mengurangi kecenderungan untuk membuka media sosial.

Tetapkan aktivitas-aktivitas yang positif untuk menggantikan kegiatan scroll media sosial atau video pendek. Misalnya, "Aku akan membaca buku setiap hari minimal 30 menit sebelum tidur daripada melihat smartphone," atau, "Saya mau berjalan kaki selama 15 menit setelah makan siang atau makan malam daripada duduk mengecek media sosial," atau, "Saya lebih baik merawat kebun dan tanaman saya di sore hari sebelum makan malam daripada menscroll media sosial," atau "Jam ini lebih baik saya habiskan dengan anak saya atau menikmati waktu bersama binatang peliharaan daripada melihat media sosial." 

Sadari kebiasaan menscroll video-video pendek adalah kebiasaan yang merusak otak dan kesehatan mental. Tetapkan batasan waktu dan tempat untuk bermedia sosial dan berusahalah untuk komit terhadap keputusan Anda. Gunakan media sosial dengan cara-cara yang lebih sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun