Permasalahan dalam Hukum Ekonomi Syariah.
Salah satu masalah Hukum Ekonomi Syariah yang sedang viral di masyarakat saat ini adalah terkait dengan investasi bodong menggunakan skema Ponzi yang dikemas dengan label "syariah", seperti kasus GTI Syariah. Perusahaan ini menjanjikan keuntungan tetap kepada investor dengan klaim sesuai prinsip syariah. Namun, ternyata praktiknya tidak mengikuti prinsip-prinsip syariah seperti larangan riba, gharar (ketidakjelasan), dan penipuan (ghurur).
Kasus ini sangat mengkhawatirkan karena melibatkan banyak korban yang tergiur dengan janji keuntungan besar. Skema Ponzi sendiri adalah penipuan yang menggunakan uang investor baru untuk membayar keuntungan investor sebelumnya, bukan dari hasil keuntungan bisnis yang nyata. Fenomena ini mengundang perhatian publik dan pemerintah untuk memperketat regulasi investasi syariah serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memahami investasi yang benar sesuai syariah.
Kaidah yang kerkait dengan kasus skema Ponzi:
Skema Ponzi, yang kerap kali muncul dalam berbagai kasus penipuan berkedok investasi, bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Hukum Ekonomi Syariah. Berikut adalah beberapa kaidah hukum yang relevan dengan praktik ini:
1. Larangan Riba (Bunga atau Keuntungan Tidak Adil)
Dalam skema Ponzi, keuntungan yang dijanjikan biasanya tetap dan dijamin, tanpa memperhatikan apakah usaha tersebut benar-benar menghasilkan keuntungan. Hal ini masuk dalam kategori riba, yaitu mendapatkan keuntungan tanpa melalui usaha atau risiko nyata, yang dilarang dalam Islam.
2. Larangan Gharar (Ketidakpastian atau Spekulasi)
Skema Ponzi biasanya tidak transparan dalam hal penggunaan dana dan sumber keuntungan. Unsur ketidakpastian atau gharar ini membuat investasi tersebut haram karena para investor tidak memiliki kepastian atau pengetahuan yang jelas mengenai bagaimana uang mereka dikelola.
3. Larangan Maysir (Perjudian)
Dalam skema Ponzi, para investor berspekulasi dengan harapan mendapatkan keuntungan besar dengan cepat. Ketidakpastian tinggi dan kemungkinan kerugian besar tanpa dasar usaha yang nyata membuatnya mirip dengan perjudian, yang juga dilarang dalam Islam.
4. Asas Akad yang Sah
Dalam hukum syariah, akad (perjanjian) harus dilakukan secara transparan, dengan niat yang jelas dan tanpa adanya penipuan. Skema Ponzi sering kali melibatkan akad yang cacat karena terdapat unsur penipuan atau informasi yang disembunyikan, yang menjadikan akad tersebut tidak sah menurut hukum syariah.
5. Kaidah "Laa Dharar wa laa Dhirar" (Tidak Boleh Ada Kerugian atau Membahayakan Orang Lain)
Kaidah ini melarang segala bentuk transaksi yang dapat merugikan pihak lain. Dalam skema Ponzi, investor baru sering kali dirugikan karena uang mereka digunakan untuk membayar keuntungan investor lama tanpa ada usaha nyata yang dilakukan.
6. Kaidah "Al-Kharaj bi al-Dhaman" (Keuntungan Beriringan dengan Tanggung Jawab)
Kaidah ini menyatakan bahwa keuntungan yang sah hanya bisa diperoleh dengan menanggung risiko usaha. Dalam skema Ponzi, para investor dijanjikan keuntungan tanpa ada risiko nyata karena uang yang diputar berasal dari investor baru, bukan dari kegiatan usaha yang sah. Hal ini bertentangan dengan prinsip syariah. Skema Ponzi tidak hanya ilegal dalam hukum negara, tetapi juga secara jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan moralitas dalam hukum Islam, yang menekankan pada transaksi yang adil, transparan, dan bebas dari unsur penipuan.
Norma-norma yang terkait dengan skema Ponzi:
Norma-norma hukum yang terkait dengan skema Ponzi, baik dalam perspektif hukum umum maupun hukum Islam, mencakup berbagai prinsip yang mengatur keadilan, transparansi, dan perlindungan terhadap individu dalam kegiatan ekonomi. Berikut beberapa norma hukum yang relevan:
1. Norma Kejujuran dan Transparansi
Dalam hukum pidana dan perdata, setiap transaksi ekonomi atau investasi harus dilakukan secara jujur dan transparan. Skema Ponzi melanggar norma ini karena menyembunyikan fakta bahwa keuntungan yang dibayarkan kepada investor berasal dari uang investor baru, bukan dari keuntungan bisnis yang sah. Hal ini juga bertentangan dengan hukum Islam, di mana akad yang transparan dan terbuka sangat ditekankan.
2. Norma Perlindungan Konsumen
Banyak negara memiliki undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen, termasuk dalam transaksi investasi. Norma ini melarang praktik yang menyesatkan atau memanipulasi konsumen (investor) demi keuntungan pribadi. Dalam skema Ponzi, investor sering kali tertipu karena tidak diberi informasi yang jelas dan jujur mengenai risiko dan cara kerja investasi, melanggar hak mereka sebagai konsumen yang dilindungi oleh hukum.
3. Norma Keadilan (Justice)
Hukum pidana mengatur bahwa semua pihak harus diperlakukan secara adil dalam proses transaksi ekonomi. Skema Ponzi menciptakan ketidakadilan karena hanya investor awal yang menerima keuntungan, sementara investor terakhir biasanya kehilangan seluruh modalnya. Ini bertentangan dengan norma keadilan yang ada dalam hukum negara maupun hukum Islam, di mana tidak boleh ada yang dirugikan secara sepihak.
4. Norma Larangan Penipuan (Fraud)
Hukum pidana dan perdata melarang penipuan dalam segala bentuk transaksi. Skema Ponzi adalah bentuk penipuan, di mana pelaku memberikan informasi yang salah atau menyesatkan mengenai sumber keuntungan, dan ini melanggar norma-norma hukum penipuan yang berlaku di berbagai yurisdiksi. Dalam Islam, penipuan atau ghurur juga merupakan tindakan yang diharamkan.
5. Â Norma Hukum tentang Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad)
Dalam hukum perdata, pelaku skema Ponzi dapat digugat atas perbuatan melawan hukum karena tindakan mereka merugikan orang lain secara tidak adil. Norma ini mencakup aspek tanggung jawab pelaku untuk mengembalikan kerugian yang diderita oleh investor.
Norma-norma ini, baik dalam hukum positif maupun hukum syariah, melarang skema Ponzi karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan, kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab dalam transaksi ekonomi.
Aturan-aturan yang terkait skema Ponzi:
Aturan-aturan hukum yang terkait dengan skema Ponzi mencakup regulasi yang mengatur tentang penipuan, perjanjian investasi, dan perlindungan konsumen. Di berbagai negara, skema Ponzi digolongkan sebagai tindak pidana ekonomi. Berikut adalah beberapa aturan hukum yang terkait:
1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Indonesia: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang praktik penipuan atau perbuatan yang dapat menyesatkan konsumen. Dalam skema Ponzi, investor (sebagai konsumen) sering kali ditipu dengan janji keuntungan besar yang tidak realistis. Pasal 9 dan Pasal 10 UU ini melarang pelaku usaha untuk memasarkan produk dengan cara menyesatkan.
Aturan ini melindungi hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas mengenai produk atau layanan yang mereka investasikan.
2. Undang-Undang Tentang Penipuan dan Penggelapan
Indonesia: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 378 tentang penipuan. Pasal ini mengatur bahwa seseorang yang melakukan penipuan dapat dihukum penjara hingga empat tahun. Skema Ponzi termasuk dalam kategori penipuan karena pelaku menipu korban dengan janji keuntungan palsu.
Pasal 372 tentang penggelapan juga dapat diterapkan pada kasus ini, karena uang yang dikumpulkan dari investor sering kali digunakan untuk kepentingan pribadi pelaku skema.
3. Undang-Undang Pasar Modal
Indonesia: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. UU ini mengatur tentang tata cara penawaran investasi, transparansi perusahaan, dan larangan terhadap praktik manipulatif. Dalam skema Ponzi, pelaku sering kali melanggar aturan transparansi ini dengan tidak memberikan informasi yang sebenarnya kepada investor. Dalam konteks pasar modal, skema Ponzi dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana bila terbukti melanggar aturan ini.
4. Undang-Undang Perbankan
Indonesia: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Aturan ini mengatur kegiatan usaha perbankan dan keuangan. Banyak pelaku skema Ponzi menawarkan investasi yang menyerupai layanan keuangan tanpa memiliki izin resmi. Ini dapat dikenai sanksi karena dianggap sebagai usaha ilegal di sektor perbankan dan jasa keuangan.
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertanggung jawab dalam mengawasi lembaga keuangan dan investasi agar sesuai dengan regulasi.
5. Undang-Undang Anti-Pencucian Uang
Indonesia: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam skema Ponzi, uang yang diperoleh secara ilegal dari investor sering kali dialirkan melalui berbagai saluran untuk menyamarkan sumber dana. UU ini dapat digunakan untuk melacak dan menghukum pelaku yang melakukan pencucian uang dari hasil penipuan skema Ponzi.
6. Perauran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Indonesia: OJK mengeluarkan berbagai peraturan terkait dengan kegiatan investasi yang legal dan terdaftar. Misalnya, OJK mengatur tentang perizinan lembaga investasi, kewajiban laporan keuangan, dan larangan praktik manipulatif. Skema Ponzi yang tidak terdaftar di OJK adalah ilegal, dan pelakunya dapat dituntut atas penipuan investasi.
Pandangan Positivime dan Sociological jurisprudence dalam kasus skema Ponzi:
Pandangan positivisme hukum dan sociological jurisprudence terhadap skema Ponzi memiliki perbedaan mendasar dalam menganalisis dan menafsirkan bagaimana hukum berfungsi dan bagaimana kasus-kasus seperti ini ditangani. Berikut adalah analisis berdasarkan kedua aliran pemikiran tersebut:
1. Pandangan Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah aliran yang melihat hukum sebagai seperangkat aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah, terpisah dari aspek moral atau sosial. Positivisme fokus pada legalitas dan validitas hukum yang ada tanpa mempertimbangkan elemen sosial atau etis. Hukum dipandang sebagai sesuatu yang objektif dan harus diterapkan sesuai dengan teks aturan yang berlaku.
Analisis Kasus Skema Ponzi:
Legalitas Hukum: Bagi penganut positivisme hukum, skema Ponzi harus dianalisis berdasarkan hukum positif (aturan tertulis) yang berlaku di suatu negara, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia atau undang-undang perlindungan konsumen dan anti-penipuan. Jika tindakan pelaku skema Ponzi melanggar aturan-aturan tersebut, maka tindakan itu ilegal dan dapat dihukum. Di sini, fokusnya adalah pada pelanggaran hukum tertulis, bukan pada dampak sosial atau etika.
Pemisahan Moralitas dan Hukum: Positivisme hukum tidak akan melihat apakah tindakan tersebut bermoral atau tidak, melainkan apakah tindakan tersebut melanggar aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, jika peraturan hukum jelas menyatakan bahwa skema Ponzi termasuk dalam kategori penipuan, maka pelaku dapat dikenai sanksi berdasarkan peraturan tersebut tanpa memperhitungkan aspek-aspek moral atau nilai sosial yang mendasarinya.
Penegakan Hukum: Positivis akan mendukung penegakan hukum yang tegas dan tanpa pengecualian terhadap pelaku skema Ponzi, dengan dasar bahwa hukum telah dilanggar dan sanksi harus dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mereka melihat pentingnya sistem hukum formal yang dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam menangani kasus ini.
Positivisme hukum dalam konteks skema Ponzi akan fokus pada apakah aturan hukum yang ada sudah cukup jelas dan kuat untuk menghukum tindakan tersebut, serta memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan peraturan formal.
2. Pandangan Sosiological Jurisprudence
Sociological jurisprudence (aliran yurisprudensi sosiologis) menekankan bahwa hukum bukan hanya kumpulan aturan tertulis, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari masyarakat dan dipengaruhi oleh serta mempengaruhi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Aliran ini memperhatikan konteks sosial di mana hukum diterapkan dan bagaimana hukum dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.
Analisis Kasus Skema Ponzi:
Dampak Sosial dan Ekonomi: Dalam perspektif yurisprudensi sosiologis, skema Ponzi akan dianalisis tidak hanya berdasarkan pelanggaran aturan hukum, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat. Misalnya, skema Ponzi sering kali merugikan masyarakat yang rentan atau tidak memahami mekanisme investasi. Sociological jurisprudence akan memperhatikan faktor sosial yang membuat skema Ponzi menarik bagi masyarakat, seperti kesenjangan ekonomi, rendahnya literasi keuangan, dan rasa percaya terhadap institusi yang diklaim syariah.
Hukum sebagai Alat Sosial: Aliran ini melihat hukum sebagai alat untuk memperbaiki ketidakadilan sosial. Dalam konteks skema Ponzi, sociological jurisprudence akan menekankan perlunya regulasi yang lebih kuat untuk melindungi masyarakat dari penipuan investasi dan meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Pendekatan ini akan menilai apakah hukum yang ada sudah cukup efektif dalam mencegah skema Ponzi atau justru terdapat kelemahan yang harus diperbaiki.
Peran Masyarakat dalam Penegakan Hukum: Sociological jurisprudence melihat bahwa hukum harus mencerminkan nilai dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks skema Ponzi, hukum tidak boleh hanya fokus pada menghukum pelaku, tetapi juga memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang risiko penipuan investasi dan menciptakan sistem perlindungan yang lebih baik. Ini bisa mencakup peningkatan peran OJK dan lembaga lainnya dalam edukasi dan pengawasan investasi.
Penyesuaian Hukum dengan Perubahan Sosial: Sociological jurisprudence juga melihat perlunya hukum untuk beradaptasi dengan dinamika sosial. Dalam kasus skema Ponzi, perubahan teknologi dan pola investasi masyarakat harus diantisipasi oleh hukum. Contohnya, fenomena investasi berbasis digital yang sering kali dimanfaatkan dalam skema Ponzi membutuhkan regulasi baru yang sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam analisis ini, sosiological jurisprudence tidak hanya fokus pada aspek legal, tetapi juga bagaimana hukum berfungsi secara praktis dalam masyarakat dan bagaimana hukum harus berkembang untuk mencegah fenomena seperti skema Ponzi di masa depan.
Perbandingan Kedua Aliran:u
Kedua aliran ini memberikan perspektif yang berbeda dalam menganalisis skema Ponzi. Positivisme hukum lebih berfokus pada penerapan hukum secara formal dan prosedural, sedangkan sociological jurisprudence lebih melihat hukum sebagai bagian dari sistem sosial yang harus melindungi masyarakat secara menyeluruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H