“Kiamat datang hari ini, Edwin.” bisik Elsa di telinga kananku saat kami tengah berpelukan erat di tengah hujan angin ribut yang melanda Jakarta Sabtu malam pukul delapan tanggal 16 Juli 2016 ini.
“Jangan berlebihan begitu, Sepupu.” kataku sambil melepaskan pelukan kami.
“Oh jadi menurut kamu, aku terlalu berlebihan?” balas Elsa yang kemudian duduk di sofa coklat gelap yang baru sebulan lalu kami beli. “Kurasa kamu yang selalu berlebihan dalam segala hal.”
Aku tersenyum mengangguk, lalu duduk di sebelah Elsa, menguap lebar tanpa kututup mulutku. Elsa menepuk pundak kananku sambil menggelengkan kepala. “Tidak sopan, Edwin.”
“Kebiasaan lamaku ini susah kuhilangkan. Boleh kutanya kenapa kau tadi memelukku erat-erat, Sa? Tidak biasanya kau begitu.”
“Tak terhitung berapa kali kamu kupeluk, Edwin. Ini malam minggu. Anggap saja itu pesan romantisme.”
Mau tak mau tawaku meledak. “Banyak cowok ganteng eksekutif muda di luar sana. Kenapa kau tidak keluar dan menggoda mereka?”
“Hujan angin ribut begini kamu suruh aku keluar?”
Aku mengangguk sambil tersenyum tanpa menoleh kepada Elsa. “Kenapa tidak?”
“Kamu jahat.”
Sepupuku Elsa ternyata masih belum bisa melupakan film AADC 2 yang sudah dia tonton empat kali di bioskop saat tayang beberapa bulan lalu karena itu kujawab singkat. “Aku bukan Rangga.”
Elsa kali ini giliran tertawa ngakak, suara tawanya membahana hingga langit-langit ruang tengah kami ini. Mau tak mau aku hanya menundukkan muka sembari tersenyum kecut menatap lantai rumah kami yang bermotif papan catur.
Terdengar deringan bel rumah kami. Ada tamu.
“Delivery datang!” kata Elsa berdiri penuh semangat sambil tersenyum lebar memamerkan sederetan gigi putihnya yang berkilauan padaku, lalu berjalan cepat menuju ruang tamu yang masih gelap.
Aku juga berdiri, tapi tidak berjalan ke ruang tamu yang kini menyala terang, melainkan menuju lemari besar coklat keemasan di tengah-tengah ruangan, tempat aku dan Elsa menyimpan koleksi karya sastra favorit kami berdua baik itu domestik maupun mancanegara. Kami berdua membagi rak-rak buku berdasarkan abjad dari A sampai Z berdasarkan nama pengarangnya dan entah kenapa pandangan mataku tertumbuk pada rak abjad D.
“Dante!” desisku tanpa sadar, lalu kuambil karya sang pengarang Italia kenamaan itu yaitu The Divine Comedy. Kubawa kembali The Divine Comedy untuk kubaca di sofa coklat baru kami.
Hujan angin ribut sudah berhenti tampaknya di luar, setidaknya begitulah penuturan petugas delivery KFC yang mengantarkan pesanan paket nasi dan ayam goreng, sup serta kentang goreng untukku dan Elsa. Entah kenapa Elsa ingin jajan di luar padahal biasanya dia masak sendiri dan nyaris semua masakan sepupuku itu lezat tanpa tanding tiada banding.
“Edwin!” seru Elsa dari ruang dapur. “Ayo makan malam dulu. Baca Dante nanti saja.”
“Kok kau tahu aku sedang baca karya Dante?” kataku meletakkan The Divine Comedy di sofa, lalu bergegas bangkit menuju dapur.
“Kamu sepupuku, Edwin. Aku sangat tahu segala tingkah laku, gerak-gerik kamu, tak ada yang luput dari pengamatanku.”
Di bawah sinar lampu putih bersinar, kecantikan dan keseksian sepupuku ini tampak sangat jelas. Pendek kata menurutku, Elsa adalah perpaduan Kate Winslet dan Monica Bellucci dari segi kecantikan paras dan kemolekan tubuh yang aku tahu dia bentuk secara alami tanpa operasi plastik. Elsa adalah model catwalk kenamaan, jawara renang, jago senam dan tari serta pakar aerobik dan fitness yang semuanya mendefinisikan satu kata lima huruf – SEKSI – untuknya. Tanktop putih yang dia kenakan jelas mencetak begitu indah tubuh atas, terutama dada montoknya yang berukuran 36B (dan jelas sangat dia banggakan!), sementara celana pendek hitam ketatnya memperlihatkan kenikmatan surgawi tubuh bagian bawahnya dan kombinasi atas bawah ini bisa menurunkan derajat seluruh pria sampai di skrotum ganda, semua pria entah normal atau gila, masih bujang maupun berkeluarga kujamin bakalan bertekuk lutut kepada Elsa. Sepengetahuanku, hanya satu orang pria di muka bumi ini yang kebal terhadap pesona Elsa yaitu aku sendiri. Sepupu Elsa, satu-satunya keluarga Elsa yang tersisa di dunia kampret ini yang menganggap Elsa hanya adik perempuanku yang mengesalkan.
Aku bersiul pendek sambil menatap Elsa. Tak tampak rasa kesal, jengkel, jengah atau marah pada Elsa terhadap siulan pendekku itu. Malah begini dia menanggapi siulan pendekku itu.
“Kamu kesepian, Edwin? Sayang sekali. Teman-temanku sesama model bisa kuminta kemari membantu kamu, mengobati kesepian kamu sekarang. Kamu mau?”
Aku menggeleng sambil berkata lirih kepada Elsa. “Maafkan aku. Tak seharusnya aku bersiul begitu. Aku sangat murahan, Elsa. Kau mau memaafkanku?”
Elsa selesai mengatur hidangan KFC lalu beringsut cepat mendekatiku dan memelukku sangat erat. “Aku selalu sayang kamu, Edwin.”
“Wow.” desisku pelan.
“Kenapa kamu bilang begitu?”
“Entahlah.” kataku melepaskan pelukan Elsa. “Aku selalu takjub jika kau memelukku.”
“Norak kamu, Edwin.” Elsa tersenyum manis sambil menonjok lengan kiriku. “Ayo makan.”
Kami berdua menyantap hidangan KFC untuk makan malam itu begitu lahap. Paling tidak tinggal tulang-tulang ayam saja yang tersisa di piring kami. Setelah minum beberapa gelas air putih yang menyehatkan, kami beristirahat sejenak saling menatap di meja makan.
“Kurang lilin saja di sini, Edwin.”
“Menurutmu lampu kita terlalu terang?”
“Kurang redup.” Elsa tersenyum dengan mata sayu. “Kamu tahu maksudku tentunya.”
“Sebaiknya aku cuci piring. Oke?”
“Terima kasih atas bantuan kamu.”
“Sudah semestinya kita saling membantu bukan? Bukankah rumah ini milik kita berdua?”
Elsa mengangguk sambil menguap lebar tanpa menutup mulutnya. “Aku mau tidur dulu.”
“Habis makan jangan langsung tidur, Sa.” kataku mengingatkan sambil membawa piring-piring dan gelas ke wastafel untuk kucuci. “Bersandar dulu saja di ranjang pakai bantal, baca Dante itu kalau mau.”
Elsa menguap lagi, kali ini menutupi mulutnya yang menganga lebar dengan kedua tangan. “The Divine Comedy karya Dante Alighieri itu … membosankan. Kalau Inferno karya Dan Brown, nah itu baru … mengesankan.”
Aku tertawa saja sambil mencuci gelas. Dan Brown jelas kalah telak kalau kubandingkan dengan Dante Alighieri. Bahkan Dan Brown pasti tak bakal tersinggung jika semua orang mengagungkan Dante lebih dari Dan Brown sendiri. Jelas The Divine Comedy karya Dante merupakan inspirasi terbesar Dan Brown menulis Inferno, novel terbarunya yang mengisahkan petualangan Profesor Robert Langdon di Venesia, Italia dan Istanbul, Turki.
Elsa bangkit dari kursi, lalu berjalan pelan tapi pasti dan memelukku lagi dari belakang. Elsa tertidur pulas memelukku. Aku berusaha keras menjaga keseimbangan sembari mencuci piring dan nampan. “Entah kau ini mengantuk atau mabuk, Sa.”
“Mabuk … kepayang … sama … kamu.” balas Elsa mempererat pelukannya.
“Ampun deh, Sa.” kataku berusaha melangkah menjauhi wastafel. “Ingat kita ini sepupu dekat, sangat dekat hubungan darah kita, nyaris seperti kakak beradik.”
Elsa melepaskan pelukannya dariku, melangkah mundur lalu berbalik dan berjalan cepat menuju pintu kamarnya, lalu seperti biasa kalau dia sedang kesal, dia membanting pintunya begitu keras.
Aku mematikan lampu dapur, lalu berjalan menuju ruang tengah. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Kuperiksa pintu depan sudah terkunci, lalu aku kembali lagi ke ruang tengah, tepatnya ke sofa coklat mengambil buku The Divine Comedy. Lampu tengah kumatikan, lalu aku masuk kamarku sendiri dan kunyalakan lampu. Kututup pintu tanpa kukunci, lalu aku bersandar di dinding tepian ranjang dengan bantal, membaca The Divine Comedy, sebuah mahakarya Dante Alighieri.
Dante Alighieri, seorang sastrawan terkemuka Italia, sastrawan Italia terbesar sepanjang sejarah sejajar dengan William Shakespeare dari Inggris menurutku. Sepanjang ingatanku yang terbatas, Dante ini orang Florence. Yang kuingat dari Florence tentu adalah klub sepakbola Fiorentina beserta deretan nama pemain legendaris mereka seperti Roberto Baggio, Rui Costa, Gabriel Batistuta dan salah satu kiper favoritku dulu saat masih kecil, Francesco Toldo. Yang juga kuingat dari Florence adalah masa keemasan kesenian Eropa, Renaissance juga para penguasa Florence yang sangat terkenal, para bangsawan Medici yang sepak terjangnya sangat mengharumkan nama Florence.
Saat itu ponselku berdering dengan ringtone lagu Eurythmics Sweet Dreams. Lagu era 80-an ini populer kembali gara-gara muncul dalam sebuah adegan spektakuler pada film superhero yang begitu mengesankan bagiku di musim panas ini, X-Men Apocalypse. Sejenak tersenyum mengingat aksi heboh Quicksilver menyelamatkan para murid di Sekolah Mutan Profesor Charles Xavier itu, kuraih ponsel lalu kutekan tombol penerima dan kuaktifkan loudspeaker.
“SUPERBIA! SUPERBIA!” jerit suara melengking dari seberang, entah siapa, lalu saat kupikir ini hanya ulah orang iseng dan hampir kuputus sambungannya, terdengar suara ancaman terhadapku. “Kritikus film, kau memberi rating buruk pada Batman v Superman dan Captain America Civil War, tapi kau malah memberi rating sangat bagus untuk X-Men Apocalypse. Rasakan balasan kami semua! Mulai besok kami semua akan mengejarmu habis-habisan ke mana pun kau pergi dan ingat kami semua memata-mataimu termasuk rumahmu sekarang. Kau dan sepupumu akan kami habisi!”
Siapa itu tadi? Terus terang aku tidak menyangka pekerjaanku sebagai kritikus film akan mengundang bahaya seperti ini. Dalam hati aku geli menyangkut ketidakpuasan si penelpon tadi akan review burukku untuk Batman v Superman. Terserah kepadaku karena sebagai kritikus film aku memang merasa film superhero yang satu itu buruk. Sementara untuk Captain America Civil War, aku merasa memang ada penurunan kualitas dari dua film Captain America sebelumnya jadi kuberi review sedang-sedang saja, B- kurasa tapi penelpon tadi menganggap hal itu buruk. Okelah ini resiko pekerjaan. Lagipula aku punya rahasia besar yang kujadikan senjata utamaku untuk melawan. Kenapa aku sangat menyukai X-Men Apocalypse dan memberikan review sangat bagus untuk film adaptasi komik Marvel produksi Twentieth Century Fox ini? Karena baik aku dan Elsa merasa bahwa film X-Men yang satu ini seperti mengekspos kekuatan super yang kami miliki berdua. Rahasia kami terbongkar sudah, memang aku dan Elsa punya kekuatan super, kami berdua supermutan, mirip Cyclops dan Jean Grey.
Terdengar ketukan di pintu kamarku. “Masuk.” kataku pelan.
Elsa membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali dan menguncinya.
“Tak usah kau kunci, Sa.”
“Harus kukunci, Edwin. Kita benar-benar perlu bicara.”
Elsa yang mengenakan lingerie putih menawan duduk di sampingku tanpa bantal, lalu berkata lembut. “Kudengar ancaman tadi untuk kita. Apa yang akan kita lakukan, Cyclops?”
“Oh, jangan panggil aku begitu. Namaku Edwin Hurt tahu?”
“Kamu bisa memanggilku Jean Grey kalau kamu mau.”
“Aku akan memanggilmu Miss Frost karena itu bagian dari namamu.”
“Jangan samakan aku dengan Emma Frost, Edwin. Aku lebih suka Jean Grey soalnya.”
“Elsa Monica Foster.” kataku menyebut nama lengkap Elsa. “Kau memang mirip Jean Grey tapi harus kuakui dia kalah cantik dan kalah seksi darimu.”
Elsa tertawa riang sambil memukul ranjangku. “Kamu ini membandingkan aku dengan Jean Grey atau pemerannya di film sih?”
“Semuanya, Sa. Bahkan Xenia Onatopp dan Sansa Stark saja tak bisa menang melawanmu.”
“Kamu suka simbolisme rupanya, Edwin. Kenapa tidak menyebut nama asli mereka saja, malah peran mereka di film lain. Dasar kritikus film!”
“Kritikus film dan komikus.” kataku menunjuk langit-langit. Ada kamar khusus di lantai dua rumah kami ini yang kugunakan sebagai studio komik mini tempat aku mengerjakan karya-karya kover komik dari mancanegara yang sebenarnya kujadikan sebagai kerja sampingan tetapi malah honornya berkali-kali lipat lebih besar dari gaji yang kuterima sebagai kritikus film di kantorku sekarang.
Elsa mengangguk-angguk. “Sudah seminggu ini kamu sepi orderan kover komik, Edwin.”
“Ya, seminggu ini sepi karena pihak publisher komik di Amerika sana memang belum memesan kepadaku lagi. Lagipula mereka sudah membayarku lebih dan tambahan lagi bonus menggiurkan. Honor dari komik ini bisa cukup bagi kita berdua hidup selama tiga tahun ke depan, Elsa.”
“Jika kutambah dengan honorku jadi model,” Elsa menambahkan. “Lima tahun ke depan pun cukup, Edwin.”
“Kau tidak mau mencoba jadi model pakaian dalam dan bikini? Honornya jauh lebih besar tampaknya, Sa.”
“Enak saja, Edwin. Sebejat-bejatnya aku takkan terjerumus hal begituan. Aku ini model profesional yang bukan murahan. Tubuhku ini sangat mahal, Edwin.”
“Wow!”
Elsa memelukku dari samping. “Jadi apa yang akan kita lakukan dengan ancaman tadi? Kelihatannya dia tidak puas dengan review kamu untuk Batman v Superman?”
Aku mengangguk. “Memang Batman v Superman ini sangat membuatku kecewa jadi sangat pantas kuberi review buruk.”
“Kamu juga memberi review buruk untuk Captain America Civil War?” tanya Elsa setengah tak percaya. “Menurutku Captain America Civil War itu bagus sekali lho, kalau Batman v Superman memang buruk minta ampun.”
“Sebenarnya review untuk Captain America Civil War adalah B-, masih kurang bagus jika kubandingkan dengan The First Avenger dan The Winter Soldier. Bagaimana kalau X-Men Apocalypse menurutmu, Sa? Kau sudah nonton bukan?”
Elsa masih memeluk Edwin, wajahnya penuh senyum cerah. “Menonton X-Men Apocalypse seperti berkaca pada diri kita sendiri, Edwin. Tye Sheridan dan Sophie Turner sangat pantas sebagai Cyclops dan Jean Grey. Evan Peters dan Kodi Smit McPhee juga sangat bagus sebagai Quicksilver dan Nightcrawler, lalu akting Michael Fassbender sangat jempolan, aku sungguh menangis melihat istri dan anaknya bernasib tragis begitu. Aksinya jempolan, efek visualnya mantap dan musik karya John Ottman sungguh membikin aku merinding, terutama musik saat adegan pembukanya di Mesir kuno itu.”
“Aku memberi nilai A+ untuk X-Men Apocalypse, Elsa. Film superhero paling menghibur tahun 2016 ini menurutku.”
“Bagaimana dengan Deadpool, Edwin?”
“Kuberi nilai A-. Film superhero dewasa terbaik yang pernah dibuat. Kuacungkan jempol untuk sutradara Tim Miller dan tentu saja Ryan Reynolds dan Morena Baccarin.”
“Aku juga suka Deadpool, tapi yang paling kusukai tentu adegan ranjangnya yang sangat erotis itu hahahaha.” Elsa mencubit lengan Edwin. “Lenguhan Morena saat adegan itu begitu sensual, sangat ingin kutiru begitu hahahaha.”
“Kalau yang kusuka dari Deadpool tentu celotehan-celotehan kocak Wade Wilson itu. Semprul banget ini superhero. Aku suka sekali. Kalau Deadpool ini satu tim dengan Spider-Man, bisa jadi film komedi superhero yang mantap!”
“Nah sekarang jawab pertanyaanku yang tadi, Edwin. Apa yang akan kita lakukan dengan ancaman di ponsel kamu tadi?”
Aku menatap Elsa sambil mengelus rambut hitam kecoklatannya yang panjang sepundak itu. “Kita lawan mereka, Elsa. Kita lawan mereka dengan kekuatan super kita. Kita serang jika mereka menyerang. Istilahnya, mereka beraksi, kita bereaksi. Intinya kita ini warga negara yang baik dan tak mau membikin keributan, jadi kalau mereka menyerang, baru kita membalas. Niat kita ini mempertahankan diri dan negara takkan menduga kita melakukan kudeta.”
“Jawaban bagus, Edwin.” Elsa menguap lebar, lalu beberapa saat kemudian tertidur dalam pelukanku.
Rasa kantuk langsung melandaku. Kuatur posisi tidur Elsa sedemikian rupa sehingga dia nyaman tertidur dengan bantal di ranjangku, lalu aku berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian dan membukanya, meraih kantong tidur besar warna biru gelap, menutup lemari pakaian lagi, lalu menggelar kantong tidur tersebut di lantai. Terus aku berbaring di situ dan … gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H