Rain, maafin aku yang gak bisa izinin kamu untuk ketemu aku buat terakhir kali. Aku gak mau lihat air matamu. Cukup selama ini aku buat kamu khawatir dan sedih dengan keadaanku.
Rain, kalau aku bisa buka mataku lagi, kamu akan jadi orang pertama yang aku ingin lihat. Aku mau lihat kamu senyum, Rain. Kita akan ke pantai lagi, kali ini sepuas kamu seberapa lamapun aku gak akan protes. Kita rayain di tempat favoritmu, ya. Aku juga bakalan jujur sama perasaanku ke kamu selama ini,
Rain. Aku gak akan takut lagi untuk mulai semuanya sama kamu. Kalau dokter bedahku lagi galau saat operasi terus saraf ku tersenggol dan aku lupa sama semua tentang kita, aku mau kamu jangan lelah yaa buat aku ingat lagi sama kamu. Kamu, bukan hanya di sarafku tapi disini, di hatiku, Rain.
Tapi.. Kalau operasi ini gagal, aku gak akan menyesal. Tapi kamu jangan sedih yaa.. Aku gak kemana-mana, aku tetap bisa melihatmu dari tempatku berada. Oya, aku pasti udah ketemu mama kamu, aku akan cerita sama mama kalau beliau berhasil membesarkan putrinya yang sekarang punya hati lembut dan tulus. Kamu mau titip salam apa buat mama kamu?
Rain, makasih udah jadi Rain yang bawa pelangi untuk hidupku.
Kali ini aku benar-benar tidak mampu untuk membendung air mataku lagi. Aku menyayanginya, lebih dari sebatas teman, dan sekarang aku tahu kalau dia pun sama. Aku berjalan mendekati pintu ruang operasi. Menyentuh kaca pintu buram itu. Bintang di dalam sana.
Dokter keluar dari ruangan itu. Operasi Bintang selesai.
“Maaf, operasi pengangkatan tumornya sudah selesai. Tapi terjadi pendarahan. Kita hanya bisa menunggu keajaiban. Kami sudah mengupayakan semaksimal mungkin. Tolong dibantu doa yaa.” Dokter meninggalkan kami. Ku lihat ibu memeluk ayah, tangisannya semakin menjadi. Kakak laki-laki Bintang terlihat tegar, istrinya menangis di sebelahnya, merangkul lengan suaminya.
Tak lama kemudian Bintang dipindahkan ke ruang ICU. Kini aku di sebelahnya, menggenggam tangannya dengan erat. Selang oksigen terpasang di hidungnya, beberapa kabel indikator juga melekat ditubuhnya. Perban di kepalanya masih basah.
“Bin, gw udah baca surat lo. Lo bangun yaa, Bin. Jangan lama-lama tutup matanya. Gw janji gak bakalan bikin lo marah dan kesel lagi. Gw disini, Bin. Gw nungguin lo bangun.”
Aku tahu Bintang mendengarku meski matanya tertutup. Bulir air mata menetes di ekor matanya. Ku eratkan genggamanku. Aku lihat salah satu indikator pada layar berkedip, dokter dan suster segera menghampiri. Memintaku keluar. Aku ingat saat mama pernah dipasang kabel indikator, indikator itu adalah indikator nadi dan jumlah oksigen dalam darah. Angka pada layar indikator itu semakin menurun. Keadaan Bintang memburuk. Aku tak mampu berkata apapun saat keluar dari ruang ICU dan melihat keluarganya disana.