Pukul 14.00 WIB, aku menatap layar komputer di ruangan kerjaku. Bukan file berisi pekerjaan tapi foto-foto Bintang. Bintang yang sehat, senyumannya yang manis karena gigi gingsul disebelah kanan nya itu membuatku sulit percaya bahwa saat ini Bintang sedang memperjuangkan hidupnya. Teringat kembali saat bertemu dengannya, aku marah-marah karena ia merebut saklarku sementara baterai laptopku nyaris drop. Melihatku marah, dia malah tersenyum dan akhirnya mengalah. Senyum yang kini aku rindukan.
Aku harus ke rumah sakit. Aku harus bertemu Bintang. Tak peduli dia marah padaku. Aku ingin melihatnya lagi.
Komputer segera aku matikan. Ku ambil tas kemudian keluar kantor. Aku harus kesana. Saat ini dipikiranku hanya ada Bintang.
***
Satu jam perjalanan yang harus ku tempuh untuk sampai di rumah sakit. Setibanya disana aku langsung menuju bagian informasi. Ternyata benar, saat ini operasi Bintang sedang berlangsung.
Aku segera ke ruang operasi. Tampak beberapa orang sedang gelisah di depan ruangan. Yang ku tau itu adalah ibunya Bintang, ayahnya, kakak laki-laki dan istrinya. Bintang pernah menunjukkan foto keluarga mereka padaku.
Ku hampiri ibunya untuk pertama kali aku bertemu beliau langsung. Terlihat jelas kekhawatiran dan kegelisahan di wajahnya yang teduh.
“Assalamu’alaikum, Bu. Saya Rain, temannya Bintang.”
“Wa’alaikumsalam, Nak.” Ibu itu langsung memelukku dan menangis. Aku mencoba menahan tangisku namun gagal.
“Sabar ya, bu, Rain yakin pasti Binbin bisa lewatin ini.”