Tidak ada satu manusia pun yang tahu ke mana nasib akan membawanya, sesaat kita tertinggal di hamparan masa lalu, terus seolah terpental kembali ke masa kini, ajaibnya dalam hitungan detik.
Sesaat aku terperangkap di medan magnet angan-angan, lalu kini terjerembab pada kenyataan yang sama sekali berbeda, membuatku trauma dan sekali lagi enggan meninggalkan kenangan merajut mimpi tanpa benang, karena sesungguhnya aku tahu impian itu tak akan pernah mencapai titik pemenuhan.
Kupandangi lagi kebaya putih di lemariku, kebaya yang seharusnya menjadi kostum di hari pernikahanku nanti, menggantung berdampingan dengan kebaya ungu yang kukenakan di hari wisudaku, setelah lulus menempuh pendidikan di universitas. Kebaya putih itu adalah salah satu benang kenangan yang tak pernah bisa kuurai dari rajutan hidupku, benang kusut yang tak jua beranjak dari masa lalu.
….
Dia laki-laki yang baik, itu kesan pertamaku saat mengenalnya. Kawan baru di universitas yang menjadi tempatku menuntut ilmu, kawan dari pulau seberang yang membuatku terbiasa dengan kehadirannya. Kawan yang lalu mengajakku merajut benang angan-angan menjadi rencana masa depan yang katanya ingin dijalaninya bersamaku.
Dua tahun lebih kami menjalin benang warna-warni menjadi impian dan angan berbentuk abstrak namun terlihat pasti. Namun dua tahun pula kujalani hubungan dengannya tanpa perasaan yang jelas bisa kugambarkan. Bagiku dia lebih dari seorang sahabat, kawan yang menyenangkan, terkadang bagai seorang kakak lelaki yang menyayangiku, terkadang bagai seorang ayah yang melindungiku dari tatapan liar lelaki, namun di satu sisi juga sama saja dengan lelaki lainnya yang suka menelanjangiku dengan tatapan matanya.
Dua tahun hubungan kami, tak pernah sekalipun bibirku diciumnya, selalu puncak rambutku yang menjadi sasarannya, sambil mengacak lembut rambutku dan bisikan selamat malam selalu menutup pertemuan kami. Pesan singkat penuh sayang, dan panggilan-panggilan telepon singkat hanya sekedar menanyakan kabarku hari itu. Jalinan itu memberiku janji masa depan, walau jika ditanya apakah aku cinta, masih kujawab dengan kata “entahlah”.
Orang tua kami membicarakan pernikahan, hal asing yang tidak pernah sekalipun mendarat di pikiranku, ide yang menurutku masih akan terlalu jauh bagiku untuk dilaksanakan, namun sepertinya tidak bagi para generasi tua, usiaku baru 20 tahun saat itu, dan pernikahan adalah hal yang jauh dari bayanganku.
Semua hal mereka persiapkan, orang tua kami merajut mimpi tentang hidup anak-anaknya, melibatkan banyak sanak keluarga, padahal bahkan dalam pikirku, belum tentu kami berjodoh, belum tentu dia memang untukku. Kebersamaan kami selama ini hanya berdasarkan rasa terbiasa, aku terbiasa dengan keberadaannya yang melindungiku, dan kurasa dia memang terbiasa melindungi seseorang. Itu yang membuat kami bertahan selama dua tahun.
Tapi toh tindakan mereka itu memberiku euforia, khayalan yang seolah pasti memberiku garansi, kebersamaanku dengannya akan abadi. Kebersamaanku dengannya akan berakhir pada ikatan suci, walaupun sekali lagi, bahkan aku tidak tahu apa aku mencintainya.
….
“Bontang itu panas, tapi bagus, lain waktu kuajak kau kesana.” Kata Tama memamerkan kota kelahirannya kepadaku yang tengah sibuk menulis proposal KKL.
“Banyak pantai di sana kak?”tanyaku antusias sambil menghentikan pekerjaanku.
“Banyaklah Fi, Kalimantan itu kan pulau, pastinya dikelilingi laut, apalagi Bontang, paling timurnya Kalimantan.”
“Eh Kak, kenapa tidak kamu ambil saja tawaran KKL ke sana, begitu kan kamu bisa pulang menemui Ibu, katanya kamu rindu?”
“Aku mau KKN saja di Malang, biar selesai KKN bisa mengunjungi kamu ke Jakarta, ke tempat KKL-mu nanti.”
“Aku bingung kenapa kamu tidak ambil KKL, itu lebih praktis Kak, kamu juga bisa pakai hasilnya untuk bahan skripsimu nanti.” tanyaku smbil kembali mengerjakan kesibukanku
“KKL itu bikin pusing, segalanya serba sendirian, tidak praktis, lagi pula, KKL itu terkesan terlalu individual, sedangkan KKN lebih kekeluargaan.” jawabnya sambil mengacak rambutku.
….
Rencana pertunangan, pernikahan dan semua hal yang berkenaan dengan dua hal itu menjadi tanggung jawab orang tua kami, sepenuhnya. Aku dan dia hanya harus cepat lulus, begitu pesan Mama. Tidak terlalu sulit bagiku untuk lulus cepat, kreditku toh sudah habis sejak semester lalu, mata kuliah yang tengah kuambil juga hanya mata kuliah tambahan untuk mendukung skripsiku.
Masalah justru datang dari Tama, entah kenapa dia jadi terkesan malas, terkesan enggan menyentuh laptop, terkesan enggan menyentuh buku dan laporan hasil KKN yang hanya tinggal dimasukkan ke dalam layar digital laptopnya. Padahal banyak tugas kuliahnya yang aku kerjakan di sela masa KKL-ku yang lebih panjang daripada KKN-nya.
“Kak, kenapa kamu tidak mengerjakan laporan KKN-mu saja, daripada kamu ke Jakarta, itu hanya akan buang-buang waktu.” kataku melalui ponselku.
“Kenapa, kamu tidak mau kukunjungi?” tanyanya datar dan dingin
“Kenapa harus tidak mau, aku mau saja, tapi bukankah lebih baik kamu selesaikan dulu laporanmu, setelah itu kamu bisa mengunjungiku ke Jakarta. Lagipula Mama dan Ayah sudah menanyakanmu terus, bosan rasanya aku mendengar pertanyaan mereka.”
“Jadi bukan kamu yang rindu aku, tapi mereka.” katanya sedikit merajuk.
“Entahlah Kak, kenapa kamu aneh sekali hari ini?”
“Sudah ya, kututup dulu teleponnya.”
“Iya, hati-hati Kakak di sana, besok aku telepon.”
Tapi sumpah demi Tuhan, itu telepon terakhir untuknya dariku. Aku bersumpah pada tiap butir air mataku, Mamaku dan Ibunya, juga bersumpah pada tiap amarah dari Ayahku, Bapaknya dan Kakeknya, aku tak akan pernah menghubunginya lagi.
Hal itu terjadi setelah telepon terakhirku itu, tak kunjung kudengar lagi kabarnya, dan setiap panggilan yang kulayangkan ke ponselnya, hanya dijawab suara sistem yang menghubungkanku ke kotak pesan di ponselnya. Tanda tanya melingkupiku. Tama, seberapapun cueknya aku, seberapapun tak acuhnya diriku, tidak pernah luput membalas pesan singkat atau mengangkat telepon dariku.
Entah kenapa hatiku mulai curiga, walau hubungan kami lebih seperti saudara, tapi aku juga punya insting seorang perempuan. Kubeli tiket kereta ke Malang, dan hari itu juga aku berangkat ke sana. Selama perjalanan tak bisa kupejamkan mata, seolah ada batang korek api yang mengganjalnya untuk membuatku tetap terjaga. Hatiku pun resah, tiba-tiba ada ruang kosong menganga di sana, ruang yang bahkan tidak kutahu apa isinya.
Sampai di Malang, aku masih tetap mencoba menghubunginya, kukirim belasan pesan singkat, tapi hasilnya tetap nihil. Dengan taksi aku segera menuju rumah kosnya, sesampainya di sana aku disambut kekagetan teman Tama yang seolah melihat hantu di pagi hari.
“Pagi Bang Jo, Tama sudah bangun?”tanyaku dari balik pagar.
“Lho, Fia kok sudah kembali ke Malang?”jawabnya juga dengan pertanyaan sambil membuka pagar dan mempersilahkanku masuk ke halaman dengan wajah serba salah.
“Abang ini kenapa, macam lihat hantu saja?” tanyaku sambil tersenyum manis.
“Kamu ini kok sudah kembali, katanya masih satu bulan lagi?”tanyanya masih tetap dengan perasaan resah.
“Abang ini kenapa, tidak rindu padaku?” godaku.
“Hahahahaha..tentu saja, tapi kenapa begitu cepat kamu kembali ke Malang, bukankah KKL-mu masih satu bulan lagi?”
“Sumbang sekali tawa Abang, ada apa, apa Tama sudah bangun?”
“Anu..Fia..lebih baik kamu Abang antar ke kosmu ya, kamu pasti lelah berkereta semalaman, bagaimana kalau kau sakit nanti?”
“Abang kenapa sih, aku mau bertemu Tama, dia tak balas semua pesanku, juga tak bisa kuhubungi, ada apa ini?”
Kulihat wajah bersalah di wajah Bang Josie, sahabat Tama dari pulau seberang. Entah ada apa yang jelas itu membuatku gusar, aku kurang pandai berkata-kata walaupun kadang banyak bicara. Aku memang terbiasa mengungkapkan isi kepalaku, tapi untuk urusan yang satu ini aku merasa seperti manusia bisu, tapi instingku mencium hal yang tidak beres.
Aku beranjak dari halaman rumah dan memasuki pintu, Bang Jo berusaha menghalauku namun dia juga merasa tak sanggup memaksaku pergi. Dia hanya berusaha menghalangiku untuk masuk menuju kamar Tama.
Aku sampai di depan pintu kamar Tama, ada sepatu stiletto merah tergeletak di sana, bukan sepatuku karena aku tidak pernah masuk ke kamarnya apalagi meninggalkan barang-barangku di sana dan aku tidak pernah mengenakan sepatu hak tinggi semacam itu. Kepalaku tiba-tiba merasa pusing, lelahku semalaman di kereta tiba-tiba saja menyeruak ke permukaan, telingaku dipenuhi bunyi berdenging, walau masih sayup-sayup kudengar suara Bang Josie memanggilku.
Seperti biasa kunci kamar Tama tergantung cantik di luar pintu, itu artinya kamarnya tidak terkunci. Dengan tangan gemetar kuputar kenop pintu kamarnya dan perlahan kumasuki kamar tidur Tama, dan luruhlah air mataku saat kulihat pemandangan di dalam kamar itu. Lelaki baik yang dulu kukenal semasa pengenalan mahasiswa baru, lelaki yang kupercaya membawa kepercayaanku, kini sudah hilang entah ke mana.
Kulihat dia, Tama, bergelung di balik bedcover yang dibelinya bersamaku di Pasar Besar, Malang, bersama wanita lain. Wanita berambut ikal panjang, tertidur di atas dadanya tanpa sehelai benang pun yang menutupinya. Kamar Tama begitu semrawut, seperti telah terjadi perang di sana, lemari pakaiannya terbuka, buku-buku bertebaran tak teratur, cuplikan film porno mengisi layar laptopnya. Air mata yang sudah menganaksungai sejak tadi terus saja mengalir, dengan lembut kupegang pundak Tama untuk membangunkannya, dia segera bangun, ya, hanya dengan sentuhan lembut saja aku bisa membangunkan tidur Tama yang pulas sekalipun.
Begitu melihatku yang berdiri di ambang tempat tidurnya, Tama tersentak dan segera menutupi dirinya dengan bedcover, wanita yang tidur di atas dadanya memangdangku dengan tatapan siapa-kamu. Tama blingsatan, sambil mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer, dia berusaha memegang tanganku, namun aku menolaknya dengan mengambil langkah mundur.
Sudah cukup aku jijik menyentuh pundaknya tadi. Bang Josie hanya bisa memegang pundakku tanda memintaku tidak histeris. Entah kekuatan dari mana aku bisa menahan tidak melakukan tindakan di luar akal manusia sampai detik ini, yang kulakukan hanya menatapnya dengan pandangan dan senyum sinis, atau mungkin juga jijik. Aku bahkan sangat terkejut saat mendengar diriku bersuara pelan, namun terdengar lantang di kamar itu.
“Kak, sepertinya Kakak baik-baik saja, kalau begitu Fia pamit Kak.” kataku seraya keluar dari kamar itu.
Kudengar suara Tama memanggilku namun terhalang penampilannya untuk mengejarku, atau Bang Josie melarangnya agar aku yang tengah bersusah payah menahan luapan amarahku tidak kebobolan dan menjadi histeris. Di tengah pikiranku yang kalap, aku masih bisa memanggil Bang Josie.
“Bang Jo.”
“Iya Fi.” katanya sambil tergopoh menghampiriku.
“Fia boleh minta antar ke bandara saja, Fia mau langsung balik ke Jakarta saja.”
“Surabaya atau Malang?”
“Malang saja Bang, biar dekat.”
Bang Josie hanya mengangguk tanda menyetujui permintaanku. Di dalam mobil di tengah perjalanan ke bandara Abdurrachman Saleh tangisku pecah, aku tergugu dalam diam, kurasakan tangan Bang Josie mengusap lembut pundakku yang naik turun mengatur napas.
Sungguh tidak ada sakit di hatiku, hanya sedikit penyesalan membuang waktu dengan lelaki yang kuanggap dapat memberiku masa depan, yang justru berakhir dengan kekecewaan.
Sampai di bandara, segera kubeli tiket pulang ke Jakarta, Bang Josie menemaniku bahkan walau aku sudah menyuruhnya pulang. Aku menelepon Mama untuk membatalkan semua rencana pertunangan dan pernikahan kami tanpa memberi alasan.
….
Berbulan-bulan aku terpuruk, bukan karena sakit hati, toh dua tahun hubungan kami, aku hanya kecanduan akan keberadaannya, bukan karena cinta hanya karena aku merasa bergantung padanya. Aku terpuruk karena tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang enggan kujawab. Pertanyaan mengenai duduk perkaranya sehingga aku membatalkan rencana petunangan kami tahun depan dan dua tahun sesudahnya, aku juga menolak siapapun dari pihak keluarganya dan terutama Tama sendiri.
Berbulan-bulan aku memutuskan bersembunyi di rumah keluarga sahabatku di wilayah batu, kota wisata sejuk semacam kota Bogor di Malang. Aku bersembunyi di rumah nenek sahabatku yang terletak menjorok di dalam bukit. Aku keluar dari persembunyianku setelah kakak sepupuku menelepon dan memberitahu kalau Tama sudah mengakui perbuatannya dan seluruh keluarganya meminta maaf kepada keluargaku di Jakarta.
Mama memintaku segera pulang, namun aku menolak karena saat itu sidang KKL-ku akan segera dilaksanakan, selain memang aku ingin menghindari tatapan iba dari sanak keluargaku. Masalahku selesai bagiku, tapi tidak untuk keluarga kami. Ibu, begitu aku memanggil ibu Tama, sering meneleponku untuk mmeinta maaf dan Ayah Tama sengaja mendatangiku di kampus, tapi toh apapun kata mereka itu tidak akan mengubah keputusanku. Aku tidak akan bertunangan dengan Tama, apalagi menikahinya. Atau mungkin saja aku tidak akan menikah seumur hidupku.
….
Segala persiapan dan ekspektasi yang berlebihan memang tidak baik, karena kita tidak akan tahu kemana nasib akan menggiring kita. Hari ini kita bahagia, namun di detik berikutnya kita bisa jadi menangis meraung-raung. Saat itu aku sudah tersanjung oleh lelaki yang mengajakku merajut benang mimpi warna-warni untuk dijadikan masa depan kami, tapi hanya dengan sekejap mata rajutan yang kami kerjakan selama dua tahun diurai sang nasib, dan mengonggok lemah di sisi kehidupanku.
Kupandangi lagi kebaya putih yang bersanding manis dengan kebaya ungu kelulusanku. Ya, segala macam persiapan orang tua kami sebelumnya menyisakan onggokan benang kusut yang enggan kuurai. Rasa enggan itu bukan karena aku masih terpukau euforia rencana pernikahan kami tapi karena benang itu menjadi borok yang semakin bernanah, karena aku memberinya makan dengan debu lukaku.
Cincin yang telah dipersiapkan orang tua kami, akhirnya berakhir kembali di toko perhiasan, menunggu pasangan lain untuk membelinya, atau mungkin dilebur kembali menjadi bahan baku perhiasan lainnya. Namun kebaya ini, apa harus kucabut benangnya satu persatu, atau kugunting agar tidak lagi membayangiku.
Tidak, yang harus kulakukan hanyalah menutup pintu lemari kamarku, lemari yang memberiku akses ke mimpi burukku. Yang harus kulakukan hanya memaafkan, memaafkan diriku dan masa lalu yang sempat kami rajut dari benang warna-warni hidup, karena kita tidak akan pernah tahu ke mana nasib akan berpaling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H