“Bontang itu panas, tapi bagus, lain waktu kuajak kau kesana.” Kata Tama memamerkan kota kelahirannya kepadaku yang tengah sibuk menulis proposal KKL.
“Banyak pantai di sana kak?”tanyaku antusias sambil menghentikan pekerjaanku.
“Banyaklah Fi, Kalimantan itu kan pulau, pastinya dikelilingi laut, apalagi Bontang, paling timurnya Kalimantan.”
“Eh Kak, kenapa tidak kamu ambil saja tawaran KKL ke sana, begitu kan kamu bisa pulang menemui Ibu, katanya kamu rindu?”
“Aku mau KKN saja di Malang, biar selesai KKN bisa mengunjungi kamu ke Jakarta, ke tempat KKL-mu nanti.”
“Aku bingung kenapa kamu tidak ambil KKL, itu lebih praktis Kak, kamu juga bisa pakai hasilnya untuk bahan skripsimu nanti.” tanyaku smbil kembali mengerjakan kesibukanku
“KKL itu bikin pusing, segalanya serba sendirian, tidak praktis, lagi pula, KKL itu terkesan terlalu individual, sedangkan KKN lebih kekeluargaan.” jawabnya sambil mengacak rambutku.
….
Rencana pertunangan, pernikahan dan semua hal yang berkenaan dengan dua hal itu menjadi tanggung jawab orang tua kami, sepenuhnya. Aku dan dia hanya harus cepat lulus, begitu pesan Mama. Tidak terlalu sulit bagiku untuk lulus cepat, kreditku toh sudah habis sejak semester lalu, mata kuliah yang tengah kuambil juga hanya mata kuliah tambahan untuk mendukung skripsiku.
Masalah justru datang dari Tama, entah kenapa dia jadi terkesan malas, terkesan enggan menyentuh laptop, terkesan enggan menyentuh buku dan laporan hasil KKN yang hanya tinggal dimasukkan ke dalam layar digital laptopnya. Padahal banyak tugas kuliahnya yang aku kerjakan di sela masa KKL-ku yang lebih panjang daripada KKN-nya.
“Kak, kenapa kamu tidak mengerjakan laporan KKN-mu saja, daripada kamu ke Jakarta, itu hanya akan buang-buang waktu.” kataku melalui ponselku.