Mohon tunggu...
Novita Nurfiana
Novita Nurfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Eccedentesiast, ichthyophobia, gamophobic, Cynophobic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan

15 September 2014   18:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasa kunci kamar Tama tergantung cantik di luar pintu, itu artinya kamarnya tidak terkunci. Dengan tangan gemetar kuputar kenop pintu kamarnya dan perlahan kumasuki kamar tidur Tama, dan luruhlah air mataku saat kulihat pemandangan di dalam kamar itu. Lelaki baik yang dulu kukenal semasa pengenalan mahasiswa baru, lelaki yang kupercaya membawa kepercayaanku, kini sudah hilang entah ke mana.

Kulihat dia, Tama, bergelung di balik bedcover yang dibelinya bersamaku di Pasar Besar, Malang, bersama wanita lain. Wanita berambut ikal panjang, tertidur di atas dadanya tanpa sehelai benang pun yang menutupinya. Kamar Tama begitu semrawut, seperti telah terjadi perang di sana, lemari pakaiannya terbuka, buku-buku bertebaran tak teratur, cuplikan film porno mengisi layar laptopnya. Air mata yang sudah menganaksungai sejak tadi terus saja mengalir, dengan lembut kupegang pundak Tama untuk membangunkannya, dia segera bangun, ya, hanya dengan sentuhan lembut saja aku bisa membangunkan tidur Tama yang pulas sekalipun.

Begitu melihatku yang berdiri di ambang tempat tidurnya, Tama tersentak dan segera menutupi dirinya dengan bedcover, wanita yang tidur di atas dadanya memangdangku dengan tatapan siapa-kamu. Tama blingsatan, sambil mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer, dia berusaha memegang tanganku, namun aku menolaknya dengan mengambil langkah mundur.

Sudah cukup aku jijik menyentuh pundaknya tadi. Bang Josie hanya bisa memegang pundakku tanda memintaku tidak histeris. Entah kekuatan dari mana aku bisa menahan tidak melakukan tindakan di luar akal manusia sampai detik ini, yang kulakukan hanya menatapnya dengan pandangan dan senyum sinis, atau mungkin juga jijik. Aku bahkan sangat terkejut saat mendengar diriku bersuara pelan, namun terdengar lantang di kamar itu.

“Kak, sepertinya Kakak baik-baik saja, kalau begitu Fia pamit Kak.” kataku seraya keluar dari kamar itu.

Kudengar suara Tama memanggilku namun terhalang penampilannya untuk mengejarku, atau Bang Josie melarangnya agar aku yang tengah bersusah payah menahan luapan amarahku tidak kebobolan dan menjadi histeris. Di tengah pikiranku yang kalap, aku masih bisa memanggil Bang Josie.

“Bang Jo.”

“Iya Fi.” katanya sambil tergopoh menghampiriku.

“Fia boleh minta antar ke bandara saja, Fia mau langsung balik ke Jakarta saja.”

“Surabaya atau Malang?”

“Malang saja Bang, biar dekat.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun