“Lho, Fia kok sudah kembali ke Malang?”jawabnya juga dengan pertanyaan sambil membuka pagar dan mempersilahkanku masuk ke halaman dengan wajah serba salah.
“Abang ini kenapa, macam lihat hantu saja?” tanyaku sambil tersenyum manis.
“Kamu ini kok sudah kembali, katanya masih satu bulan lagi?”tanyanya masih tetap dengan perasaan resah.
“Abang ini kenapa, tidak rindu padaku?” godaku.
“Hahahahaha..tentu saja, tapi kenapa begitu cepat kamu kembali ke Malang, bukankah KKL-mu masih satu bulan lagi?”
“Sumbang sekali tawa Abang, ada apa, apa Tama sudah bangun?”
“Anu..Fia..lebih baik kamu Abang antar ke kosmu ya, kamu pasti lelah berkereta semalaman, bagaimana kalau kau sakit nanti?”
“Abang kenapa sih, aku mau bertemu Tama, dia tak balas semua pesanku, juga tak bisa kuhubungi, ada apa ini?”
Kulihat wajah bersalah di wajah Bang Josie, sahabat Tama dari pulau seberang. Entah ada apa yang jelas itu membuatku gusar, aku kurang pandai berkata-kata walaupun kadang banyak bicara. Aku memang terbiasa mengungkapkan isi kepalaku, tapi untuk urusan yang satu ini aku merasa seperti manusia bisu, tapi instingku mencium hal yang tidak beres.
Aku beranjak dari halaman rumah dan memasuki pintu, Bang Jo berusaha menghalauku namun dia juga merasa tak sanggup memaksaku pergi. Dia hanya berusaha menghalangiku untuk masuk menuju kamar Tama.
Aku sampai di depan pintu kamar Tama, ada sepatu stiletto merah tergeletak di sana, bukan sepatuku karena aku tidak pernah masuk ke kamarnya apalagi meninggalkan barang-barangku di sana dan aku tidak pernah mengenakan sepatu hak tinggi semacam itu. Kepalaku tiba-tiba merasa pusing, lelahku semalaman di kereta tiba-tiba saja menyeruak ke permukaan, telingaku dipenuhi bunyi berdenging, walau masih sayup-sayup kudengar suara Bang Josie memanggilku.