Mohon tunggu...
Novita Nurfiana
Novita Nurfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Eccedentesiast, ichthyophobia, gamophobic, Cynophobic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan

15 September 2014   18:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bang Josie hanya mengangguk tanda menyetujui permintaanku. Di dalam mobil di tengah perjalanan ke bandara Abdurrachman Saleh tangisku pecah, aku tergugu dalam diam, kurasakan tangan Bang Josie mengusap lembut pundakku yang naik turun mengatur napas.

Sungguh tidak ada sakit di hatiku, hanya sedikit penyesalan membuang waktu dengan lelaki yang kuanggap dapat memberiku masa depan, yang justru berakhir dengan kekecewaan.

Sampai di bandara, segera kubeli tiket pulang ke Jakarta, Bang Josie menemaniku bahkan walau aku sudah menyuruhnya pulang. Aku menelepon Mama untuk membatalkan semua rencana pertunangan dan pernikahan kami tanpa memberi alasan.

….

Berbulan-bulan aku terpuruk, bukan karena sakit hati, toh dua tahun hubungan kami, aku hanya kecanduan akan keberadaannya, bukan karena cinta hanya karena aku merasa bergantung padanya. Aku terpuruk karena tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang enggan kujawab. Pertanyaan mengenai duduk perkaranya sehingga aku membatalkan rencana petunangan kami tahun depan dan dua tahun sesudahnya, aku juga menolak siapapun dari pihak keluarganya dan terutama Tama sendiri.

Berbulan-bulan aku memutuskan bersembunyi di rumah keluarga sahabatku di wilayah batu, kota wisata sejuk semacam kota Bogor di Malang. Aku bersembunyi di rumah nenek sahabatku yang terletak menjorok di dalam bukit. Aku keluar dari persembunyianku setelah kakak sepupuku menelepon dan memberitahu kalau Tama sudah mengakui perbuatannya dan seluruh keluarganya meminta maaf kepada keluargaku di Jakarta.

Mama memintaku segera pulang, namun aku menolak karena saat itu sidang KKL-ku akan segera dilaksanakan, selain memang aku ingin menghindari tatapan iba dari sanak keluargaku. Masalahku selesai bagiku, tapi tidak untuk keluarga kami. Ibu, begitu aku memanggil ibu Tama, sering meneleponku untuk mmeinta maaf dan Ayah Tama sengaja mendatangiku di kampus, tapi toh apapun kata mereka itu tidak akan mengubah keputusanku. Aku tidak akan bertunangan dengan Tama, apalagi menikahinya. Atau mungkin saja aku tidak akan menikah seumur hidupku.

….

Segala persiapan dan ekspektasi yang berlebihan memang tidak baik, karena kita tidak akan tahu kemana nasib akan menggiring kita. Hari ini kita bahagia, namun di detik berikutnya kita bisa jadi menangis meraung-raung. Saat itu aku sudah tersanjung oleh lelaki yang mengajakku merajut benang mimpi warna-warni untuk dijadikan masa depan kami, tapi hanya dengan sekejap mata rajutan yang kami kerjakan selama dua tahun  diurai sang nasib, dan mengonggok lemah di sisi kehidupanku.

Kupandangi lagi kebaya putih yang bersanding manis dengan kebaya ungu kelulusanku. Ya, segala macam persiapan orang tua kami sebelumnya menyisakan onggokan benang kusut yang enggan kuurai. Rasa enggan itu bukan karena aku masih terpukau euforia rencana pernikahan kami tapi karena benang itu  menjadi borok yang semakin bernanah, karena aku memberinya makan dengan debu lukaku.

Cincin yang telah dipersiapkan orang tua kami, akhirnya berakhir kembali di toko perhiasan, menunggu pasangan lain untuk membelinya, atau mungkin dilebur kembali menjadi bahan baku perhiasan lainnya. Namun kebaya ini, apa harus kucabut benangnya satu persatu, atau kugunting agar tidak lagi membayangiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun