“Kenapa, kamu tidak mau kukunjungi?” tanyanya datar dan dingin
“Kenapa harus tidak mau, aku mau saja, tapi bukankah lebih baik kamu selesaikan dulu laporanmu, setelah itu kamu bisa mengunjungiku ke Jakarta. Lagipula Mama dan Ayah sudah menanyakanmu terus, bosan rasanya aku mendengar pertanyaan mereka.”
“Jadi bukan kamu yang rindu aku, tapi mereka.” katanya sedikit merajuk.
“Entahlah Kak, kenapa kamu aneh sekali hari ini?”
“Sudah ya, kututup dulu teleponnya.”
“Iya, hati-hati Kakak di sana, besok aku telepon.”
Tapi sumpah demi Tuhan, itu telepon terakhir untuknya dariku. Aku bersumpah pada tiap butir air mataku, Mamaku dan Ibunya, juga bersumpah pada tiap amarah dari Ayahku, Bapaknya dan Kakeknya, aku tak akan pernah menghubunginya lagi.
Hal itu terjadi setelah telepon terakhirku itu, tak kunjung kudengar lagi kabarnya, dan setiap panggilan yang kulayangkan ke ponselnya, hanya dijawab suara sistem yang menghubungkanku ke kotak pesan di ponselnya. Tanda tanya melingkupiku. Tama, seberapapun cueknya aku, seberapapun tak acuhnya diriku, tidak pernah luput membalas pesan singkat atau mengangkat telepon dariku.
Entah kenapa hatiku mulai curiga, walau hubungan kami lebih seperti saudara, tapi aku juga punya insting seorang perempuan. Kubeli tiket kereta ke Malang, dan hari itu juga aku berangkat ke sana. Selama perjalanan tak bisa kupejamkan mata, seolah ada batang korek api yang mengganjalnya untuk membuatku tetap terjaga. Hatiku pun resah, tiba-tiba ada ruang kosong menganga di sana, ruang yang bahkan tidak kutahu apa isinya.
Sampai di Malang, aku masih tetap mencoba menghubunginya, kukirim belasan pesan singkat, tapi hasilnya tetap nihil. Dengan taksi aku segera menuju rumah kosnya, sesampainya di sana aku disambut kekagetan teman Tama yang seolah melihat hantu di pagi hari.
“Pagi Bang Jo, Tama sudah bangun?”tanyaku dari balik pagar.