Mohon tunggu...
sasanti ningtyas
sasanti ningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi '22

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi di Tengah Gelombang Post-Truth

22 Juni 2024   15:42 Diperbarui: 22 Juni 2024   15:42 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi telah mengalami evolusi yang signifikan dari masa ke masa, dari bentuk yang sederhana hingga menjadi sistem politik yang kompleks dan dinamis. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perkembangan sosial, politik, dan teknologi. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang dalam membangun sistem demokrasi yang kuat dan berkelanjutan. Dari masa parlementer awal hingga masuknya era reformasi yang melibatkan media sosial, di mana peran media sosial dan fenomena post-truth menjadi perhatian utama. Sebelum membahas mengenai Demokrasi dan Media Sosial di Tengah Gelombang Post Truth simak bagaimana Indonesia membangun sistem demokratisnya dari masa ke masa sampai dengan penggunaan media sosial ataupun media online lainnya dalam melibatkan proses demokrasi bagi masyarakatnya dan sampai dimana era post truth terjadi seiring dengan perjalanan demokrasi yang semakin kompleks.

  • Masa Parlementer (1945-1955) : Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, negara Indonesia mengadopsi sistem parlementer dengan konstitusi sementara pada tahun 1949. Masa terpimpin menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai sehingga dinamakan Demokrasi Parlementer. Di bawah sistem ini, Indonesia memiliki Majelis Konstituante yang dipilih secara demokratis pada tahun 1955. Namun, situasi politik yang tidak satbil dan gesekan yang terjadi antar partai politik mengakibatkan kegagalan Majelis Konstituante untuk menyusun konstitusi yang baru.
  • Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) : Pada tahun 1959, Soekarno mengeluarkan "Surat Perintah Sebelas Maret" yang mengakhiri sistem demokrasi parlementer dan mendirikan "Demokrasi Terpimpin". Di bawah demokrasi terpimpin, kekuasaan pemerintah sangat terpusat di tangan Presiden. Konsep ini menekankan nasionalisme, anti-imperialisme, dan sosialisme. Meskipun ada elemen demokrasi dalam bentuk pemilihan umum, kebebasan politik dibatasi dan pemerintah mengontrol banyak kehidupan politik.
  • Masa Pancasila Era Orde Baru (1966-1998) : Pada tahun 1966, setelah G30S/PKI dan pengunduran diri Soekarno, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Presiden Soeharto memperkenalkan konsep "Pancasila sebagai dasar negara" dan mendirikan Orde Baru. Pancasila diinterpretasikan sebagai ideologi negara yang menggabungkan aspek-aspek demokrasi, nasionalisme, agama, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Di bawah orde baru, ada beberapa bentuk demokrasi terbatas, termasuk pemeilihan umum. Namun, kekuasaan sangat terpusat di tangan pemerintah dan oposisi politik ditindas, kebebasan berpendapat yang sangat rendah. Meskipun terjadi kemajuan ekonomi dan stabilitas politik di bawah rezim Soeharto, kebijakan otoriter dan korupsi merajalelas.
  • Era Reformasi (1998-sekarang) : Protes mahasiswa dan tekanan internasional memaksa Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998, membuka jalan bagi era reformasi di Indonesia. Reformasi ini ditandai dengan perubahan politik yang signifikan, termasuk pemilihan umum bebas pertama pada tahun 1999 dan pengesahan UUD 1945 yang diamandemen. Era ini juga ditandai dengan perkembangan media sosial yang cepat, dengan munculnya platform seperti Facebook, Twitter, dan YouTube yang memberikan suara kepada individu untuk berpartisipasi dalam diskusi politik dan berbagi informasi secara instan.

Di era post-truth, di mana fakta sering kali kalah oleh emosi dan keyakinan pribadi, demokrasi menghadapi tantangan baru yang sangat berati. Konsep post-truth menggambarkan keadaan di mana opini publik lebih dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan daripada fakta objektif. Situasi ini merusak dasar dari proses demokrasi, di mana warga negara seharusnya membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat. Di zaman sekarang, demokrasi menghadapi ujian berat.

Demokrasi selalu mengandalkan diskusi terbuka dan informasi yang akurat. Namun, di era post-truth, informasi yang salah atau menyesatkan dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya. Algoritma media sosial sering memperkuat pandangan yang sudah ada, menciptakan "echo chambers" di mana individu hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri. Ini menghambat terjadinya diskusi yang sehat dan memperburuk polarisasi politik.

4.2 Prinsip Demokrasi

Sebagai landasan yang mengukuhkan demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari keberadaan rakyat dalam pemerintahan menjadi pijakan yang penting. Beberapa prinsip utama yang membentuk landasan demokrasi yang kokoh :

  • Kedaulatan Rakyat : Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan politik. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak untuk mengambil keputusan politik melalui proses pemilihan umum atau partisipasi langsung dalam proses pengambilan keptusan. Hal ini berati bahwa pemerintahan yang sah harus berasal dari kehendak rakyat dan bertanggung jawab kepada mereka. Prinsip ini mendorong adanya tranparasi, akuntabilitas, dan keterlibatan aktif rakyat.
  • Pemerintahan Berdasarkan Hukum : Prinsip ini menegaskan bahwa semua tindakan pemerintah harus sesuai dengan hukum dan menghormati hak asasi manusia. Dalam konteks demokrasi, hukum harus menjadi landasan bagi tindakan pemerintah dan perlindungan ha-hal individu. Ini mengharuskan pemerintah untuk menjalankan kekuasaanya dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh hukum, serta menjamin perlakuan yang adil dan setara bagi semua warga negara.
  • Kehadiran Oposisi yang Kuat : Prinsip kehadiran opisis yang kuat adalah ciri khas dari sistem demokrasi yang sehat. Oposisi politik yang kuat dan berfungsi dengan baik sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan akuntabilitas pemerintah. Dengan adanya oposisi politik yang kuat dan kritis, pemerintah diharapkan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan menanggapi kritik dengan konstruktif. Hal ini juga mendorong terciptanya ruang bagi perdebatan terbuka dan kemjuan ide-ide baru dalam proses politik.
  • Kebebasan Berpendapat : Memungkinkan rakyat untuk menyuarakan pendapat mereka dan terlibat dalam proses politik tanpa takut akan presepsi atau pembatasan dari pihak pemerintah. Selain itu, prinsip ini juga melindungi hak individu untuk membentuk kelompok-kelompok politik, sosial, dan budaya tanpa intervensi yang tidak sah. Kebebasan berpendapat dan berorganisasi memungkinkan pluralitas ide dan prespektif masyarakat, yang merupakan aspek penting dari dinamika demokrasi yang sehat.

4.3 Realita Demokrasi di Era Post Truth

Berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang telah diuraikan, kita dapat menarik kesimpulan tentang realitas demokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks era post-truth. Meskipun prinsip-prinsip tersebut membentuk fondasi demokrasi yang kokoh, implementasinya dalam praktik sering kali menghadapi tantangan dan kendala.

Pertama, terkait dengan prinsip kedaulatan rakyat, Indonesia secara konstitusional diatur sebagai negara demokrasi di mana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Namun, dalam praktiknya, masih ada ketidakseimbangan kekuasaan antara pemerintah yang terpilih dan rakyatnya. Selain itu, penyebaran disinformasi dan propaganda dalam era post-truth dapat memengaruhi pemilihan umum dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik, mengancam prinsip kedaulatan rakyat.

Kedua, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum sering kali menghadapi tantangan di Indonesia. Meskipun konstitusi menjamin hak asasi manusia dan aturan hukum yang adil, masih ada kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, kepatuhan terhadap hukum sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, yang dapat mengancam prinsip pemerintahan berdasarkan hukum.

Ketiga, kehadiran oposisi yang kuat merupakan ciri khas dari demokrasi yang sehat. Namun, di Indonesia, oposisi politik masih menghadapi berbagai kendala, seperti pembatasan kebebasan berpendapat, intimidasi politik, dan praktik korupsi yang melibatkan elit politik. Fenomena post-truth juga dapat digunakan oleh pemerintah atau pihak-pihak tertentu untuk menekan kritik dan menutup ruang bagi oposisi politik.

Keempat, kebebasan berpendapat menjadi kunci penting dalam menjaga demokrasi yang inklusif dan dinamis. Namun, di era post-truth, kebebasan berpendapat sering kali dialihkan oleh penyebaran disinformasi dan propaganda politik. Media sosial, meskipun memberikan platform bagi individu untuk menyuarakan pendapat mereka, juga rentan terhadap manipulasi informasi yang dapat merusak kebebasan berpendapat yang sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun