Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana gelombang post truth terjadi dan memberikan pandangan tentang upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata Yunani "demos" yang berati rakyat, dan "kratos" yang berati kekuasaan. Secara harfiah, demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Namun, definisi demokrasi telah berkembang dan mencakup berbagai konsep, termasuk kebebasan berpendapat, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia. Demokrasi tidak hanya merupakan sebuah sistem pemerintahan, tetapi juga sebuah nilai yang mendasari hak-hak dan kebebasan individu.
Menurut berbagai ahli definisi demokrasi telah menjadi subjek diskusi yang komples dan beragam. Berikut definisi demokrasi menurut ahli :
- Aristoteles demokrasi ialah suatu kebebasan atau prinsip demokrasi ialah kebebasan, karena melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan dalam negaranya.
- Haris Schoe menjelaskan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan rakyat, karenanya kekuasaan pemerintah melekat pada rakyat juga yang merupakan HAM bagi rakyat untuk mempertahankan, mengatur dan melindungi diri dari setiap paksaan dalam satu badan yang diserahkan untuk memerintah.
- Abraham Lincoln mengartikan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dari definisi yang dikemukan oleh para ahli, secara garis besar demokrasi merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang mencakup perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan pemerintahan yang berlandaskan pada partisipasi aktif warga negara.
2.2 Definisi Post-Truth
Post-truth, atau "pasca-kebenaran," merupakan situasi di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada emosi, keyakinan pribadi, dan narasi yang menggerakkan. Dalam konteks politik, fenomena ini seringkali terjadi ketika opini atau narasi politik didasarkan pada perasaan atau kepentingan tertentu, bukan pada fakta atau bukti empiris. Post-truth menciptakan lingkungan di mana disinformasi dan retorika yang menyesatkan dapat menyebar dengan cepat dan efektif, membingungkan masyarakat dan mengancam integritas proses politik.
Dalam era post-truth, kebenaran tidak lagi dianggap sebagai landasan absolut untuk pembuatan keputusan politik. Sebaliknya, opini subjektif dan narasi yang menarik secara emosional seringkali lebih mempengaruhi persepsi masyarakat daripada fakta atau bukti yang objektif. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi politik yang lebih besar dan memperkuat kepercayaan masyarakat pada pemimpin atau gerakan politik yang menawarkan narasi yang sederhana atau memicu emosi, meskipun tidak didasarkan pada fakta.
Dalam menyusun artikel ini digunakan buku dan jurnal sebagai bahan referensi untuk memplejarai demokrasi Indonesia. Setelah penulis melakukan telaah terhadap beberapa jurnal penelitian, ada beberapa yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan.
Penelitian yang pertama berhasil penulis temukan adalah penelitian jurnal yang dilakukan oleh (Santoso, Harjono, & Rustamaji, 2019) yang berjudul "Simulkara Teknologi Digital di Era Post Truth dan Pendangkalan Nilai Demokrasi". Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mentelaah bagaimana realitas telah digantikan oleh dunia maya (hyper-realty). Demokrasi mengalami penurunan menjadi cerita palsu yang dipengaruhi oleh media dan teknologi digital. Ini menyebabkan kebenaran dangkal (post-truth) menjadi mendominasi, sementara nilai-nilai seperti keadaban dan kemanusiaan terabaikan.