Tergopoh-gopoh, muka pucat, badan dekil, tubuh tinggal tulang. Rambutnya pun gimbal tak terawat. Sobur terheran-heran. Sobur pun terdiam seribu bahasa.
Sampailah di pucak Hargo Dumilah. Di sana, Jayengraga bersedekap memandang hamparan lukisan alam Tuhan dengan penuh kesedihan. Sobur terlihat menyusul dari tanjakan terakhir. Dengan napas yang tersengal-sengal, Sobur berusaha mendekati Jayengraga yang terlihat santai berdiri tanpa rasa letih sedikit pun.
      "Hai! mana janjimu tadi, sekarang coba ceritakan!" Terteriak Sobur.
Tanpa menoleh sedikit pun, Jayengraga menjawab penuh kewibawaan.
      "Kamu belum sadar? kamu tahu apa itu ketulusan?"
"Apa maksudmu? Mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh!" Sobur menggugat Jayengraga.
      "Ingatlah sangkan paran. Hati yang perlu ditata. Gusti itu Maha Pemberi, keinginan mereka pasti dikabulkan. Tetaplah waspada akan......"
Sobur terbangun, kaget bukan kepalang. Ternyata lamunan Sobur menghantarkannya tidur berbantal meja warung. Untung saja barang bakaannya tak berpindah tangan.
Dipegangnya gelas, wedang jahe, hangatnya masih terasa. Sobur bersyukur tak terlalu lama terlelap.
Jahe hangat dihabiskan. Lalu, Sobur beranjak dari tempat duduknya bersiap melanjutkan perjalanan. Minuman dan makanan segera dia bayar. Di bawah hujan deras yang telah berganti gerimis. Sobur segera memakai Jas Hujan, bergegas meninggalkan warung kopi beserta sisa pengalaman bodoh yang baru saja dialaminya.
 Walaupun, pikirannya masih menyimpan sejuta tanya, perjalanan tetap harus dilanjutkan. Motor pun digeber pergi.