Tak sedikit dari mereka tergeletak lemas kekurangan makan. Keluh pun terdengar dari mulut mereka. Bahkan, ada pula yang tak kuasa, hingga datang ajal. Sobur hanya menahan tawa.
Jayengraga yang sedari tadi mengamati, menahan sedih atas lelaku mereka.
      "Sungguh diluar kewajaran petapa" Kata Jayengaraga.
Sobur terhentak kaget mendengar pernyataan itu. Apa yang dimaksud diluar kewajaran? Apa yang membuat aneh? Padahal, para sepuh dulu juga melakukannya? Tanyanya dalam hati.
      "Nanti akanku ceritakan" Sembari berjalana, Jayengraga menanggapi tanya Sobur yang tak terucap.
      "Lho? Kamu mendengarnya?" Sobur terkaget.
Sembari bergumam, Sobur mengejar Jayengraga yang telah mendahuli jalan. Gerutu, sebal dan kagum menyelimuti benak Sobur. Ingin sekali gundah tanya itu segera terjawab. Namun, Jayengraga tetap melenggangkan kaki menuju puncak Lawu.
 "Jayengraga memang bodoh!! Sama bodohnya dengan lelaku yang dia wariskan! Gerutunya lagi.
Jayengraga terus dikejar Sobur. Curam perbukitan, lebatnya hutan serta tajamnya bebatuan terus dilaluinya.
Keanehan pun muncul kembali. Di sepanjang perjalanan, nampak gambaran para pendaki yang kelelahan. Mereka seperti kehausan. Ada pula yang bingung mencari jalan pulang. Tubuhnya lemas tak berdaya. Anehnya, ketakberdayaan tubuh itu, masih mereka paksakan membawa beban-beban tak wajar.
Tas gendong mereka terpenuhi rajabrana. Kilauan kalung emas 24 karat, tak hanya satu, lebih dari 10 terkalung di leher. Pergelangan mereka terhiasi gelang-gelang bermutiara. Jari lentik mereka pun tak kalah saing. Kesepuluhnya terpasang cincin bertahtakan mutiara.