Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Cemara Kandang

9 Oktober 2020   21:11 Diperbarui: 9 Oktober 2020   21:13 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Deras hujan menunda langkah Sobur. Ditemani Jahe panas, gorengan dan rasa lelah sisa perjalanan. Sobur singgah di warung kopi pinggir jalan Cemara Kandang. Kecamuk akan kenihilan Tuhan kembali menyeruak disela istirahat.

Aneh, kala itu lamunannya melayang jauh mengimajinasikan rentetan peristiwa pengembaraan Jayengraga di Gunung Lawu. Tokoh masyhur bagi pengagum Centhini. Di tempat inilah, pertautan Jayengraga dengan Hyang Suci. Begitu pula, Sobur yang terbawa atas wasilah Jayengraga.  

Sobur yang begitu acuh, dan masa bodoh atas hiruk-pikuk dunia. Semenjak dia menganggap diri aktivis yang gagal. Begitu kecil hatinya sekarang. Dirinya tertimbun puluhan sampah yang dia suarakan. Mulai penggusuran, pelecehan seksual, korupsi yang mengakar sampai di tempat suci "kampusnya". Semua gagal disuarakan. Semua tertuju pada adanya dalang strategi disana. Sangat kelihatan. Namun, sulit diruntuhkan.

Sampah-sampah itu mengganjal, menyumpat kanal-kanal pikirannya. Hingga pemberontakannya pada Tuhan yang disucikan sedari kecil. Poster tulisan tebal berbunyi "TUHAN TAK MAHA ADIL" berjejer di hati dan pikirannya.

Entah mengapa, Sobur terpaksa merenung gema malapetaka manusia. Hingga, Hyang Suci mengutus alam menimpakan azabNya.

Tak terhitung, berapa jiwa yang dipulangkan Sang Pemilik, berapa janda dan anak yatim piatu terlahir, berapa laki-laki yang menjadi hina, sebab hilang cintanya. Begitu pula dengan jumlah dendam orang soleh, yang meregang nyawa karena kelakuan para hina? Sobur terus mengeja dan mengeja, sebab musabab timbulnya keruwetan dunia.

Rampak irama air hujan menyenandung di atas seng, mengheningkan suara-suara lain dengan gemuruhnya. Orang-orang yang bercengkrama pun harus rela mengeraskan suara agar terdengar lawan bicara. Namun, tidak dengan Sobur. Yang larut irama hujan. Baginya, hujan memperkuat lamunan akan pengembaraan Jayengraga, Sang penjelajah jiwa.

Gambaran menguat, menyusur persinggahan Jayengraga mencari dekap hangat Hyang Kuasa. Gunung Lawu-lah yang silih berganti masuk ruang imajinya.

Benaknya dideru satu tanya, ada hal ikhwal apa Jayengraga rela terpanggang matahari, dan tersayat tajam karang laluan? Ini semua, demi keselamatan umat manusia?

Mungkin sepi yang mendera jiwa, mungkin juga gundah lamunannya. Sobur berganti tanya. Lalu, mana letak jiwa-jiwa suci yang dia cari? Apa hanya omong kosong?

Layaknya film 3D, yang digandrungi remaja saat ini. Dalam lamunannya, bayang Jayengraga muncul. Walaupun Sobur tak pernah tahu sosok itu, Sobur yakin inilah Jayengraga. Sosok bodoh, yang digandrungi para pencari. Umpat dalam batinnya.

Sobur tertelan lebatnya hutan Lawu. Di sana terlihat Jayengraga yang membatu. Menggeleng-gelengkan kepala sembari memandang masam diri Sobur.

            "Bangsat!!! Dia menertawakanku" kata Sobur.

Sosok Jayengraga pun menghilang.

Sebab penasaran yang berkecamuk, Sobur menyisir persingghan-persinggahan Jayengraga di Gunung Lawu. Berusaha mencarinya guna membrondongkan tanya kepadanya. Selama penyisiran, Jeritan demi jeritan tragis terdengar memekakan telinga.

"Bebaskan jiwaku Sobur! Aku lelah!" Dengan kalimat yang sama, jeritan itu terdengar riuh bersahutan.  

"Jeritan itu memanggil namaku? Apa mereka mengenalku?" Tanya Sobur. Jeritan itu ditinggal berlalu.

Sepanjang penyisiran, berbagai gambaran manusia berlalu-lalang. Tak saling sapa, hanya terdiam membisu. Raut muka mereka pun nampak putih pucat. Tak ada semburat merah. "Mayat berjalan-jalan" Kata Sobur.

Sampailah di Hargo Dieng, orang kini akrab menyebutnya pasar Dieng. Pasar gaib yang penuh sesak penjuan-penjual yang tentunya juga gaib.

Hamparan nan luas penuh misteri itu, konon, terdengar sangat ramai suara-suara transaksi layaknya pasar di dunia nyata. Tentu, hanya sebagian orang yang mendengar. Kali ini, suara ratapan tangis dan keluh yang terdengar. Sobur pun berucap

"Kok aneh? Tak seperti cerita mereka?"

Puluhan tanya kembali mengembara dalam jaringan otaknya. Saling bertubrukan, hingga timbul kegelisahan. Kekaguman manusia akan pasar Dieng, terbantahkan. "Mungkin cerita mereka hanya bualan!! biar terlihat hebat!!!" Ribuan umpat Sobur keluar.

Tak ada pembenaran dari cerita yang dibawa burung-burung Manyar.

Keras hati Sobur yang membawanya sampai detik ini. Selama 5 tahun Sobur kuliah, kesucian tempat menimba ilmu itu musnah. Kesucian itu tenggelam akan adanya para pendosa licik diperguruan tinggi. Apalagi kampusnya berada di jantung budaya Jawa, Sangat dekat dengan kisah kesucian gunung Lawu. Sangat kontras adanya. Para pencari kebenaran selalu terbunuh para pendosa.

Hingga detik ini dia dibawa kekalutan hati. Baginya, kebaikan hanya kiasan keburukan. Keburukan itulah hakekat adanya dunia. Sampai pembenaran kesimpulan Sobur, makanya manusia diciptakan dari air mani, yang lelaki biadab tebar di pasar kenikmatan itu. Memang benar manusia itu laknat. Begitulah keyakinan Sobur semenjak dia membantah Tuhan.

Tetiba, Jayengraga muncul di dekat Sobur, sembari menengadahkan tangan. Jayengraga memanjatkan doa ke Sanga Khalik, agar para penghuni pasar Dieng selalu diberkahi Hyang Suci.

Sobur pun mengumpat, melihat prilaku Jayengraga.

            "Bodoh sekali, Jin hina itu dia doakan. Dialah yang menyesatkan kami disini!" Grutu Sobur.

Selesai berdoa, Jayengraga menghampiri Sobur. Yang tengah terkesima tumpukan batu hitam, dekat rerumputan. Lalu, Jayengraga menyentuh pundak kanan Sobur dari arah belakang.

Dalam sekejap, Sobur pun berteleportasi ke Hargo Dalem. Dilihatnya, sebuah pendopo yang bertengger di atas gunung.

Di sana, terlihat manusia-manusia sedang duduk bersila. Memejamkan mata, tanpa bersuara. Tangan mereka ditumpangkan di atas paha, dengan jari tengah dan ibu jari menyatu. Persis sikap sunya mudra para Buddha. Hawa dingin, dan hamparan lautan awan menambah nuansa sunyi bangunan pendopo.

Langit yang nampak segapaian tangan, menggoda Sobur mendongakkan kepala. Cerita muksa-nya Sunan Lawu sedikit meruntuhkan keyakinan Sobur akan kenistaan manusia.

Begitu banyak orang-orang yang mengheningkan karsa Tuhan. Barangkali, mereka berharap wisik Tuhan?

Tak sedikit dari mereka tergeletak lemas kekurangan makan. Keluh pun terdengar dari mulut mereka. Bahkan, ada pula yang tak kuasa, hingga datang ajal. Sobur hanya menahan tawa.

Jayengraga yang sedari tadi mengamati, menahan sedih atas lelaku mereka.

            "Sungguh diluar kewajaran petapa" Kata Jayengaraga.

Sobur terhentak kaget mendengar pernyataan itu. Apa yang dimaksud diluar kewajaran? Apa yang membuat aneh? Padahal, para sepuh dulu juga melakukannya? Tanyanya dalam hati.

            "Nanti akanku ceritakan" Sembari berjalana, Jayengraga menanggapi tanya Sobur yang tak terucap.

            "Lho? Kamu mendengarnya?" Sobur terkaget.

Sembari bergumam, Sobur mengejar Jayengraga yang telah mendahuli jalan. Gerutu, sebal dan kagum menyelimuti benak Sobur. Ingin sekali gundah tanya itu segera terjawab. Namun, Jayengraga tetap melenggangkan kaki menuju puncak Lawu.

 "Jayengraga memang bodoh!! Sama bodohnya dengan lelaku yang dia wariskan! Gerutunya lagi.

Jayengraga terus dikejar Sobur. Curam perbukitan, lebatnya hutan serta tajamnya bebatuan terus dilaluinya.

Keanehan pun muncul kembali. Di sepanjang perjalanan, nampak gambaran para pendaki yang kelelahan. Mereka seperti kehausan. Ada pula yang bingung mencari jalan pulang. Tubuhnya lemas tak berdaya. Anehnya, ketakberdayaan tubuh itu, masih mereka paksakan membawa beban-beban tak wajar.

Tas gendong mereka terpenuhi rajabrana. Kilauan kalung emas 24 karat, tak hanya satu, lebih dari 10 terkalung di leher. Pergelangan mereka terhiasi gelang-gelang bermutiara. Jari lentik mereka pun tak kalah saing. Kesepuluhnya terpasang cincin bertahtakan mutiara.

Tergopoh-gopoh, muka pucat, badan dekil, tubuh tinggal tulang. Rambutnya pun gimbal tak terawat. Sobur terheran-heran. Sobur pun terdiam seribu bahasa.

Sampailah di pucak Hargo Dumilah. Di sana, Jayengraga bersedekap memandang hamparan lukisan alam Tuhan dengan penuh kesedihan. Sobur terlihat menyusul dari tanjakan terakhir. Dengan napas yang tersengal-sengal, Sobur berusaha mendekati Jayengraga yang terlihat santai berdiri tanpa rasa letih sedikit pun.

            "Hai! mana janjimu tadi, sekarang coba ceritakan!" Terteriak Sobur.

Tanpa menoleh sedikit pun, Jayengraga menjawab penuh kewibawaan.

            "Kamu belum sadar? kamu tahu apa itu ketulusan?"

"Apa maksudmu? Mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh!" Sobur menggugat Jayengraga.

            "Ingatlah sangkan paran. Hati yang perlu ditata. Gusti itu Maha Pemberi, keinginan mereka pasti dikabulkan. Tetaplah waspada akan......"

Sobur terbangun, kaget bukan kepalang. Ternyata lamunan Sobur menghantarkannya tidur berbantal meja warung. Untung saja barang bakaannya tak berpindah tangan.

Dipegangnya gelas, wedang jahe, hangatnya masih terasa. Sobur bersyukur tak terlalu lama terlelap.

Jahe hangat dihabiskan. Lalu, Sobur beranjak dari tempat duduknya bersiap melanjutkan perjalanan. Minuman dan makanan segera dia bayar. Di bawah hujan deras yang telah berganti gerimis. Sobur segera memakai Jas Hujan, bergegas meninggalkan warung kopi beserta sisa pengalaman bodoh yang baru saja dialaminya.

 Walaupun, pikirannya masih menyimpan sejuta tanya, perjalanan tetap harus dilanjutkan. Motor pun digeber pergi.

Diatas kuda besinya, fokus Sobur teralih. Dia kembali memikir kejadian di warung kopi. Mungkin itu isyarat? Mungkin pentunjuk bagiku? pikir Sobur.

Hingga, tiba di sebuah tikungan curam. Sobur menabrak sebuah mobil yang datang dari arah depan. Motor yang dikendarainya ringsek menancap di Mobil yang juga ringsek.

Tubuh Sobur melayang, melewati atap kedua kendaraan yang bertabrakan. Lalu, jatuh terpental ke tanah. Tubuh Sobur terguling-guling. Hingga, pohon Pinus menghentikan tubuhnya yang berguling tak terkendali.

Rintik hujan menjadi saksi sore itu. Sebelum meregang nyawa, Sobur hanya berucap sepenggal kalimat. "Inilah jawab Hyang Suci."    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun