Tanpa pikir panjang, Amara menarik Raka dan berlari. Mereka berdua melesat ke arah tangga, turun menuju lorong bawah tanah yang gelap dan berdebu. Suara langkah kaki berat Bu Mirna dan Bu Wulan menggema di belakang mereka, diiringi oleh suara-suara aneh dari Aruna yang semakin mencekam.
"Di sini, Kak! Ikuti aku!" seru Raka, menarik Amara menuju sebuah pintu tua yang tertutup oleh debu tebal.
Amara mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya terbuka dengan bunyi berderit yang memekakkan telinga. Di balik pintu itu, mereka menemukan ruangan besar yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang terukir di lantai. Di tengah-tengah ruangan, terdapat lingkaran besar yang tampak seperti altar ritual.
"Kau yakin ini tempatnya, Raka?" tanya Amara dengan napas tersengal, menatap ke sekitar dengan cemas.
Raka mengangguk, matanya penuh keyakinan. "Ini dia. Di sini, Aruna pertama kali dipanggil. Kita harus menghancurkan lingkaran ini."
Amara tidak punya waktu untuk meragukan kata-katanya. Ia mengambil sebuah batu besar yang tergeletak di lantai dan mulai menghantamkan batu itu ke lingkaran di tengah ruangan. Setiap pukulan terasa seolah mematahkan sesuatu yang tak terlihat, dan semakin ia menghancurkan simbol-simbol itu, suasana ruangan semakin bergetar.
Tiba-tiba, suara jeritan tajam memenuhi ruangan. Aruna muncul di tengah-tengah lingkaran, tubuhnya yang tinggi dan gelap tampak meliuk-liuk dengan marah. "Berhenti!" suara itu menggelegar, menggema di seluruh ruangan.
Namun Amara terus menghancurkan lingkaran itu. Tangan dan kakinya gemetar, tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kengerian ini.
Saat pukulan terakhir menghancurkan lingkaran sepenuhnya, Aruna mengeluarkan jeritan yang begitu menyakitkan, seolah seluruh entitasnya terurai menjadi kabut hitam. Sosoknya memudar, larut dalam bayangan yang perlahan-lahan menghilang. Kegelapan yang selama ini meliputi panti asuhan mulai memudar.
Amara jatuh terduduk, napasnya terengah-engah. Raka, yang berdiri di sampingnya, tampak lelah namun lega. "Kita berhasil, Kak," bisiknya pelan.
Pintu di belakang mereka terbuka, dan Bu Mirna serta Bu Wulan berdiri di sana dengan tatapan marah. Tapi kini, mereka tampak lemah, seolah kekuatan yang melindungi mereka telah lenyap bersama dengan Aruna.