Amara merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Nama itu, Aruna, pernah ia dengar dari bisik-bisik anak-anak yang ketakutan. Namun tak ada yang benar-benar menjelaskan siapa atau apa Aruna itu.
"Aruna? Siapa dia, Raka?" Amara memandang anak itu, berharap ia bisa mendapatkan jawaban yang lebih jelas.
Raka menatap lurus ke mata Amara, dan kali ini suaranya sangat pelan, hampir tak terdengar. "Dia... bukan manusia, Kak. Dia tinggal di sini sejak lama... dan dia tidak suka orang-orang baru."
"Raka, kamu pasti hanya bermimpi buruk," Amara mencoba menenangkan, meski dadanya kini terasa sesak oleh rasa takut yang mulai tumbuh.
"Tidak, Kak," Raka menggeleng cepat, "Dia nyata. Dan dia... akan datang lagi malam ini. Dia bilang dia ingin bertemu dengan Kakak."
Mendengar itu, jantung Amara seolah berhenti. Matanya membelalak, tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, pintu kelas terbuka dan Bu Mirna masuk. Tatapan dingin wanita itu seolah menyapu setiap sudut ruangan, memastikan tak ada yang salah.
"Sudah malam. Anak-anak harus tidur," ucapnya tanpa emosi.
Raka segera berdiri dan berlari keluar tanpa sepatah kata pun lagi. Amara hanya bisa memandangi kepergiannya dengan perasaan yang bercampur aduk antara ketakutan dan penasaran.
***
Malam semakin larut, dan hujan di luar masih deras. Amara duduk di kamar tidurnya, matanya tertuju pada jendela yang memantulkan bayangan samar dirinya. Suara bisikan itu datang lagi. Kali ini lebih jelas. Kata-kata yang tak dimengerti, tetapi terasa begitu menakutkan.
"Kau tidak boleh di sini..."