"Persembahan?" Amara menelan ludah, napasnya memburu. Kini semuanya masuk akal---bayangan-bayangan, suara-suara aneh, anak-anak yang berbicara tentang Aruna. Panti ini bukan sekadar tempat tinggal bagi anak-anak yatim piatu; ia adalah tempat di mana sesuatu yang jauh lebih gelap disembunyikan.
"Aruna menjaga panti ini. Dia memastikan bahwa rahasia ini tetap terkubur," sambung Bu Mirna. "Anak-anak yang datang ke sini membawa energi yang dibutuhkan Aruna untuk tetap hidup. Dan kau, Amara... kau datang tanpa tahu bahwa kau telah melangkah terlalu jauh."
Amara merasakan kengerian mengalir deras dalam darahnya. Ia mundur perlahan, matanya masih tak lepas dari sosok gelap yang kini hampir menyentuhnya. "Lalu apa yang kalian inginkan dariku? Apa aku juga bagian dari persembahan itu?"
Bu Wulan tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar seperti gema yang mengerikan. "Tidak. Kau istimewa. Kau berbeda. Aruna menginginkanmu, Amara."
Raka, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbisik di telinga Amara. "Kita bisa melawannya, Kak. Kita bisa menghentikan ini."
Amara menoleh bingung. "Bagaimana, Raka? Apa yang kau tahu?"
Raka menatap Amara dengan mata yang penuh ketakutan, tetapi juga ada kilatan keberanian di sana. "Aruna terikat pada panti ini, tapi dia bisa dihentikan. Ada ruang di bawah tanah. Dulu, sebelum panti ini berdiri, tempat itu digunakan untuk ritual pemanggilan. Di sanalah semua dimulai."
"Di bawah tanah?" Amara menyipitkan mata, mencoba memproses informasi itu.
"Ya," kata Raka lagi. "Jika kita bisa sampai ke sana dan memutuskan ikatannya, Aruna akan menghilang. Selamanya."
Amara menelan ludah. Bagaimana mungkin seorang anak tahu hal-hal seperti ini? Tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Bu Mirna bergerak cepat ke arah mereka.
"Kalian tidak akan bisa melarikan diri," ucap Bu Mirna dingin, suaranya serak dan penuh ancaman. Aruna kini semakin dekat, bayangannya menyelimuti Amara seperti kabut pekat yang mencekik.