Amara tersentak. Suara itu terdengar jelas, bukan dari dalam pikirannya. Perlahan ia berdiri dan melangkah menuju pintu kamar. Di ujung lorong yang gelap, bayangan panjang bergerak pelan---seperti ada yang berjalan mendekat. Amara menghela napas pendek, jantungnya berdebar cepat.
Saat ia melangkah lebih dekat ke ujung lorong, sebuah suara menggelegar di belakangnya. "Jangan pergi ke sana!"
Amara berbalik. Itu Raka. Anak itu berdiri di pintu kamarnya dengan wajah pucat.
"Raka? Apa yang kamu lakukan di sini?" Amara berbisik panik, tetapi suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar.
"Kak, dia datang. Kakak harus keluar dari sini. Dia... dia ingin Kakak."
"Siapa, Raka? Aruna?" Amara berusaha tetap tenang, tetapi kakinya bergetar.
Raka hanya mengangguk lemah. "Dia tidak suka Kakak ada di sini. Dia ingin Kakak pergi... atau Kakak akan seperti yang lain."
Tiba-tiba, Amara merasakan hawa dingin menyelimutinya. Sesuatu di belakangnya. Bayangan yang semakin mendekat. Amara menoleh dengan gemetar dan melihat sosok gelap berdiri di ujung lorong---tinggi, tanpa wajah, dan seluruh tubuhnya tampak memancar kegelapan pekat.
"Kakak..." suara Raka hampir tak terdengar, "lari."
Tanpa pikir panjang, Amara menarik tangan Raka dan berlari sekuat tenaga. Suara langkah kaki sosok itu menggema di belakang mereka. Terdengar berat, menghantam lantai dengan setiap langkahnya. Setiap detik berlalu seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Nafas Amara tersengal-sengal, ia merasa seperti dikejar oleh sesuatu yang tak terelakkan.
Mereka tiba di ruang tengah. Jantung Amara berdetak kencang, kepalanya pusing. Tapi di sana, di tengah ruangan, Bu Mirna dan Bu Wulan sudah menunggu, berdiri tegak dengan tatapan dingin.