Oleh Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag, Ngaji Filsafat 378
Rute Ideal Perjalanan Jiwa Menuju Ikhlas Lillahi Ta'ala
Sebagaimana diketahui bersama bahwa memiliki perasaan ikhlas terhadap sesuatu yang membuat hati kita sakit itu amat sulit. Berbanding terbalik dengan hanya mengatakannya. Berbeda bila kita mendapat nikmat dan karunia dari Allah, kita sudah pasti dengan senang hati menerima pemberian Allah ini.Â
Namun, di balik semua rasa sakit yang sedang maupun yang pernah kita alami, tanpa sedikitpun keraguan Allah telah menjamin balasan setimpal dengan kadar perasaan kecewa yang kita alami tersebut.
Dalam mencapai perasaan ikhlas yang hakiki, Dr. Fahruddin Faiz membagi level keikhlasan seseorang ke dalam empat tingkatan, di antaranya adalah bersihnya diri dari dosa dan kemaksiatan yang tidak disengaja, bersihnya dari keterikatan duniawi, bersihnya diri dari sikap egoisme, dan bersihnya diri dari apa pun selain Allah saja. Lantas apa saja 4 level keikhlasan yang perlu kita lewati? Berikut adalah masing-masing level keikhlasan seseorang dan penjelasannya:
Level Pertama: Bersihnya diri dari dosa dan kemaksiatan yang tidak disengaja
Sejatinya manusia memang tidak luput dari dosa atau melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja. Misalnya, suatu ketika pada saat kita tengah asyik berselancar di internet, secara tidak sengaja kita disuguhi atau melihat tayangan berupa gambar-gambar maupun video-video tidak senonoh. Maka, dalam konteks ini Allah Ta'ala melalui Rasullah masih memaklumi tindakan dosa yang dikatakan manusiawi tapi tidak dilakukan secara sengaja.
Paling tidak, untuk bisa melewati level pertama menuju keikhlasan yang hakiki, kita perlu berusaha semampu yang kita bisa dalam menjauhi perkara yang membuat Allah Ta'ala murka karena kuasanya manusia itu sejatinya memang terbatas dalam hal upanya untuk sama sekali terhindar dari dosa. Insya Allah, bila kita meniatkannya bersungguh-sungguh, Allah rida dan berkenan sehingga nantinya Dia akan menolong kita untuk mampu naik "kelas" dengan cepat.
Maka dari itu, sudah menjadi tugas kita untuk nawaitui (niatkan) saja dan melakukan ikhtiar semampunya, karena bila kita memang sungguh-sungguh dan Allan rida, Dia akan hadir membantu kita menaikkan level (maqam) kita,
serta memberikan ahwal yang cocok untuk kita.
Level kedua: Bersih dari keterikatan duniawi
Meski di dunia ini manusia diperbolehkan dalam menikmati sesuatu yang hukumnya mubah, tetapi sebaiknya kita mesti terhindar dari perasaan terikat dan ketergantungan kepada sesuatu tersebut.
Jadi, kita sepantasnya melepaskan diri dari ketergantungan kepada apa pun yang mempengaruhi kondisi keimanan dan keistiqmahan kita dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam surah ... ayat ... yang menyatakan bahwa harta dan anak anak kita bisa menjadi fitnah jika hal itu membuat kita melekat dan tergantung dengannya, sehingga kita berjarak dari Allah dan terhijab dari-Nya.
Sebaliknya, ketergantungan satu satunya yang sah dan diperbolehkan adalah ketergantungan kepada Allah saja. Sikap seperti memaksakan diri harus begini, harus begitu apalagi sampai menghalalkan segala cara merupakan cara berpikir melekat dan ketergantungan.
Level ketiga: Bersihnya diri dari ego sendiri
Perasaan-perasaan maupun sikap yang menganggap "Aku yang pintar", "Aku yang mengerti", "Aku yang hebat", "Aku yang bisa ini bisa itu", "Kenginanku ini", "Cita-citaku itu", termasuk cara pandang yang mengetengahkan ego dan cenderung meniadakan kuasa Allah hingga bersikap angkuh terhadap sesama manusia. Maka tak ayal, melepaskan diri dari ketergantungan di luar diri tersebut lebih mudah daripada terbebas dadi dari jerat ketergantungan pada ego kita sendiri. Di sinilah letak ujian kita dalam mencapai keikhlasan hakiki menuju level yang terakhir.
Level keempat: Bersihnya diri dari apa pun selain Allah saja
Seseorang yang sudah mampu berada di maqam keempat ini, jadilah Allah saja yang menjadi fokus perhatiannya. Maka dari itu, tak heran jika Rasulullah menyatakan bahwa perang terbesar dan terberat adalah perang melawan diri (nafsu negatif) kita sendiri.
Jika segala ujian, cobaan dan tantangan level tiga saja sudah mampu kita taklukkan, insya Allah masuk ke level empat ini pun segera akan kita dapatkan.
Ketersembunyian Ikhlas
Salah satu ciri atau karakter ikhlas itu tersembunyi di kedalaman hati seseorang, hanya Allah yang tahu ikhlas atau tidak, maka kita tidak bisa memberi label (judgement) orang tidak ikhlas atau sudah ikhlas.
Sebagaimana perkataan Imam Haris Al-Muhsibi, "Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya, tidak ada malaikat yang mengetahui dan mencatatnya, tidak ada syetan yang mengetahui dan merusaknya, dan tidak ada hawa nafsu yang mengetahui lalu membekokkannya."
Seseorang bisa terlihat sangat ikhlas di permukaan tetapi pada kenyataannya berlawanan dengan yang ada di dalam hatinya. Inilah salah satu bukti bahwa Allah itu sayang sekali kepada manusia sehingga aib-aib kita tidak lantas dibongkar mentah-mentah oleh-Nya. Juga, ikhlas itu tersembunyi, tidak bisa menjadi komoditas kebencian atau kecintaan kita pada seseorang.
Katakan misalnya kita sangat mengidolakan seorang tokoh yang mencalonkan diri sebagai calon presiden, gubernur, dan lain sebagainya. Dengan begitu naifnya kita mengelu-elukannya dengan berkata, "Pilihlah orang ini, dia sangat ikhlas dalam membanti rakyat." Jadi, kita tidak memiliki pengetahuan barang sedikit pun dalam menilai ikhlas atau tidaknya seseorang kecuali Allah.
Ikhlas Terhadap Hal yang Mubah, Makruh, dan Haram
Imam Haris Al-Muhsibi pernah berkata "Perbuatan mubah yang tidak mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, juga perbuatan makruh dan haram, tidak mungkin dilakukan dengan ikhlas; misalnya membangun rumah untuk kenyamanan diri, atau memandang sesuatu yang haram dengan dalih ciptaan Tuhan. Jangan sebut-sebut ikhlas dalam perbuatan itu, karena sedikit pun tidak mendekatkan kepada Allah Subhanna wa Ta'ala."
Melakukan sesuatu yang haram dan mengatakan ikhlas lillahi ta'ala telah berbuat demikian, lalu mencari-cari argumen dengan sudut pandang (sendiri), untuk kemudian menghukuminya sebagai halal yang mana merupakan tindakan yang sangat kurang ajar kepada Allah dan merupakan tanda kebodohan. Dia mencoba-coba membodoh-bodohi Tuhan tetapi justru dirinya sendiri lah yang menampakkan kebodohannya sendiri.
Misalnya, kita sudah dengan jelas tahu bahwa menonton video dewasa itu (kecuali pasangan sah sendiri) adalah perbuatan yang haram, lalu dengan entengnya berkata, "Saya hanya mengagumi ciptaan Tuhan yang indah ini".
Lain halnya dengan sesuatu yang hukumnya mubah lalu menjadikan yang mubah itu diniatkan untuk kebaikan lillahi ta'ala, kita masih bisa mengatakan ikhlas. Contohnya lagi, aktivitas makan dan minum jika itu diniatkan agar tubuh menjadi lebih bugar saat melaksanakan ibadah, maka sudah bisa dikatakan ikhlas lillahi ta'ala.
Buah dari Keikhlasan Menurut Yusuf al-Qadhawi
Buah dari keikhlasan dari pemaparan Fahruddin yang dikutip dari Yusuf al-Qadhawi menjelaskan buah dari keikhlasan (Fi al-Thariq ila Allah Al-Niyyah Wa al-Ikhlas) ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya:
Ketenangan jiwa
Dengan terus melatih diri untuk menjadi orang yang ikhlas, serta hanya rida Allah yang dituju tanpa memperdulikan hambatan dan hasil yang kita lakukan, maka ketenangan jiwa lah yang sudah pasti kita dapat sebagai buah keikhlasan yang hakiki.
Jika fokus dan harapan disandarkan kepada Allah saja, yakinlah bahwa Allah tidak mungkin mengecewakan kita, berbeda dengan yang lain. Jika orientasi kita semata kepadan Allah, tak ada keraguan sedikit pun bahwa jiwa kita pasti tenang serta jauh dari resah dan was-was.
Kekuatan rohani
Seorang hamba yang sudah memiliki jiwa yang tenang karena percaya akan janji-janji Allah kepada hamba yang berlaku ikhlas, buntutnya rohani kita kuat, dan mental kita pun jadi tangguh.
Istiqomah
Jika rohani kita sudah kuat, istiqomah dalam beribadah jadi lebih mudah dijalani. Jadi, memudahkan istiqomah itu cukup dengan ikhlas lillahi ta'ala. Apabila kita mengerjakan ibadah dan kebaikan lainnya hanya untuk mengharap balasan jangka semata untuk urusan duniawi, saat pertolongan Allah tidak juga datang, kita lantas menjadi kecewa dan malas untuk melakukannya lagi. Maka, ikhlas lillahi ta'ala merupakan syarat mutlak agar kita menjadi istiqomah sampai ujung usia kita di duniaÂ
Mengubah yang mubah menjadi ibadah
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa kebaikan apa pun diniatkan lillahi ta'ala, lantas perasaan ikhlas itu bisa membuat yang aktivitas yang mubah menjadi ibadah. Niat tidur pun yang tampak begitu sederhana bila kita mengiringinya dengan tujuan agar ketika bangun tidur tubuh menjadi bugar kembali untuk melakukan ibadah, itu pun cukup untuk mengundang pahala dan kasih sayang Allah. Berbeda jika kita meniatkan selain daripada itu (meski boleh-boleh saja).
Memperoleh pahala meski belum dimulai atau amalan belum sempurna
Inilah yang juga menjadi salah satu keistimewaan Islam. Tidak satu pun amalan maupun tujuan baik yang dilakukan seseorang, kemudian dia menyadari keterbatasannya di tengah jalan sehingga dia mulai putus asa, bahkan keinginannya untuk ikhlas dalam mengerjakannya sudah dicatatkan pahala untuknya meski belum atau sebelum tuntas dilakukan.
Pertolongan dan perlindungan Allah
Pertolongan dan perlindungan Allah sangat dekat bagi hamba-Nya yang sudah menyerahkan hidup dan matinya untuk Allah. Tidak ada rasa takut dan ragu bagi seseorang yang sudah mencapai level keikhlasan tertinggi dalam mengarungi lika-liku kehidupan, termasuk dalam menerima segala takdir yang telah ditetapkan untuknya setelah berikhtiar semaksimal yang dia mampu kerjakan.
Peneguh dan pertolongan saat menghadapi kesulitan
Hati yang ikhlas memperteguh kita saat menemui kesulitan dalam segala bentuknya. Maka, orang yang orientasinya hanya terpaku kepada Allah, kesulitan apa pun tidak membuatnya gelisah. Selaras dengan yang Rasul katakan, "Meskipun aku berdarah-darah, ditolak oleh umatku sendiri, dikejar-kejar seperti orang gila, asal Engkau tidak murka kepadaku, ya Allah."
Jadi, sekali lagi kita dituntut untuk melakukan kebaikan semaksimal mungkin, jika hasilnya tidak sesuai yang diinginkan tidak masalah selagi Allah tetap rida. Lantas, dari hubungan vertikal dengan Allah (ke dalam), buah dari keikhlasan dalam hubungan horizontal keluar pun sangat positif. Maka, mari kita terus berlatih untuk senantiasa menjadi orang ikhlas.
Tanda Diri Kita Sudah Ikhlas
Parameter berikut ini merupakan alat untuk mengukur sejauh mana hati kita sudah benar-benar ikhlas, sehingga kita pun bisa terus melakukan upgrade menuju keikhlasan yang paripurna dari waktu ke waktu.
Menyempurnakan ibadahnya meskipun dalam keadaan sendiri
Seseorang yang fokusnya hanya Allah, barang sekejap ia tak pernah lalai dari ibadah yang dilakukannya meski sedang sendiri. Berbeda dengan orang yang saat mengimami salat, ia sengaja memilih bacaan surah yang panjang hanya untuk mendapat pujian dari orang lain.
Namun saat sedang salat sendirian, ia sengaja mempercepat salatnya dengan bacaan surah yang jauh lebih pendek seperti qulhu (Al-Ikhlas) dan inna a'toina (Al-Kautsar). Inilah ciri-ciri seseorang yang ada riya' di dalam hatinya. Ia bersikap dan berbuat baik hanya jika ada banyak orang tetapi watak aslinya terlihat ketika tidak sedang bersama orang lain. Bukan lillahi ta'ala tapi masih karena orang.
Mau mendengarkan nasihat dan petunjuk
Seseorang itu ketika ingin dekat selalu menjaga hubungan dengan Allah sedekat mungkin, semangat belajar orang yang ikhlas itu tinggi, biasanya dia kerap khawatir dirinya salah jalan dan takut tidak diridai Allah. Faktor inilah yang membuatnya tidak pernah berhenti belajar dan memperbaiki diri beserta amalan-amalannya.Â
Ketika dia tidak berhenti belajar maka dia akan terbuka terus untuk memperbaiki diri supaya tambah dekat dengan Allah, karena khawatir keliru jangan-jangan di mulut saja dia berkata lillahi ta'ala, tapi dalam praktiknya tidak sejalan. Jadi, dia terus berusaha untuk belajar. Tidak sungkan-sungkan belajar dari siapa pun.
Tidak ingin menonjol dan tidak suka dipuji
Zaman sekarang itu begitu kita melakukan apa pun kita seolah diwajibkan memfoto dan membagikannya di median sosial dengan tujuan agar semua orang tahu apa yang kita kerjakan. Bila tidak ada yang memberikan like dan komentar kita lantas merasa sedih dan kecewa.
Peradaban sekarang ini disebut Dr. Faiz dengan FoMO (Fear of Missing Out) karena kita khawatir kehilangan momen. Melakukan kebaikan jika tidak dipos ke media sosial terasa ada yang kurang, bahkan terkadang salat saja diposkan. Padahal, orang yang ikhlas tidak begitu tertarik untuk menonjol serta tidak haus akan pujian. Kalaupun ia terlihat unggul terlihat menonjol di antara yang lain karena prestasi maupun kepribadiannya, ia tidak masalah dengannya tapi itu bukan target.
Selalu muhasabah dan berusaha memperbaiki kelemahan-kelemahannya
Orang sudah sudah mencapai keikhlasan sempurna, perasaan benar sendiri, paling ikhlas, paling nomor satu dari semua orang, dan mencari-cari kekurangan atau kelemahan orang lain tidak sedikit pun terlintas dalam benaknya. Mereka tidak punya waktu serta tidak meneyediakan tempat buntuk mengotori hatinya dengan keburukan.
Malahan, orang seperti ini selalu disibukkan dengan melihat ke dalam hatinya sendiri. Dia tidak ingin jika hal-hal yang menjadi kelemahannya merusak keikhlasan yang telah susah payah dibangunnya, terlebih hubungannya dengan Allah jadi berjarak.
Lebih suka melakukan amal secara rahasia
Berbalikan dengan peradaban yang sering kita saksikan hari ini, tidak adanya "bukti" foto dan video dari hasil suatu kebaikan seseorang dianggap hoax. Akhirnya, mau tak mau jika kita terus dicekoki oleh pemikiran seperti ini, bawah sadar kita pun menyetujui.
Menurut Dr. Faiz, sebagai turunan dari peradaban FoMo, lantas ini bisa juga disebut sebagai peradaban riya', apa pun ingin dipamerkan. Untuk itu, kita harus selalu berhati-hati dan menjaga jiwa kita agar tidak teracuni oleh pemikiran yang bermasalah ini.
Tanda Diri Kita Sudah Ikhlas Menurut Syaikh Zun Nun Al-Misri
Berkenaan dengan dengan tanda orang sudah ikhlas, Syaikh Zun Nun Al-Misri lebih tegas lagi dalam mendefinisikannya:
Jika menganggap pujian dan celaan orang sama saja.
Jika melupakan kebaikannya kepada orang lain.
Jika lupa hak-hak dari amal salehnya.
Petuah Syekh Ibn Atha'illah
Idfan wujudaka fii ardhil khumuuli famaa nabata mimma lam yudfan la yatimmu nataijuhu. Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tak dikenal. Sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak akan berbuah dengan sempurna.
Bila kita terburu-buru ingin tampil atau "kelihatan", Syekh Ibn Atha'illah menyatakan bahwa kita justru tidak akan tumbuh. Jadi, untuk bisa tumbuh kita lebih dulu harus masuk sehingga tidak kelihatan. Ikhlas pun juga demikian.
Maksudnya, agar kita bisa benar-benar dikenal banyak orang dengan kebaikan-kebaikan pada diri kita, kita harus mengedepankan sikap rendah hati (tawadhu') sekaligus senantiasa mengutamakan keikhlasan dalam segala tindak tanduk kita, bukan dengan mengharapkan pujian.
Untuk itu, mari kita latihan ikhlas dulu dan jangan terburu-buru untuk pamer. Jangan terburu ingin tampil dan dikenal tetapi menyempurnakan diri dulu. Mari kita latihan terlebih dulu sampai kepada level ikhlas yang kita tidak punya pamrih duniawi, target yang tidak penting selain Allah.
Jika kita sudah mampu ikhlas, jika sudah saatnya kita kelihatan pasti akan kelihatan juga sebagamana sunnatullah yang berlaku. Maka, camkan strategi Syekh Ibn Atha'illah ini, yaitu khumul, jangan terburu pamer. Fokus saja memperbaiki diri tanpa henti sampai kita benar-benar mencapai level ikhlas nomor 4 di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H