Seseorang bisa terlihat sangat ikhlas di permukaan tetapi pada kenyataannya berlawanan dengan yang ada di dalam hatinya. Inilah salah satu bukti bahwa Allah itu sayang sekali kepada manusia sehingga aib-aib kita tidak lantas dibongkar mentah-mentah oleh-Nya. Juga, ikhlas itu tersembunyi, tidak bisa menjadi komoditas kebencian atau kecintaan kita pada seseorang.
Katakan misalnya kita sangat mengidolakan seorang tokoh yang mencalonkan diri sebagai calon presiden, gubernur, dan lain sebagainya. Dengan begitu naifnya kita mengelu-elukannya dengan berkata, "Pilihlah orang ini, dia sangat ikhlas dalam membanti rakyat." Jadi, kita tidak memiliki pengetahuan barang sedikit pun dalam menilai ikhlas atau tidaknya seseorang kecuali Allah.
Ikhlas Terhadap Hal yang Mubah, Makruh, dan Haram
Imam Haris Al-Muhsibi pernah berkata "Perbuatan mubah yang tidak mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, juga perbuatan makruh dan haram, tidak mungkin dilakukan dengan ikhlas; misalnya membangun rumah untuk kenyamanan diri, atau memandang sesuatu yang haram dengan dalih ciptaan Tuhan. Jangan sebut-sebut ikhlas dalam perbuatan itu, karena sedikit pun tidak mendekatkan kepada Allah Subhanna wa Ta'ala."
Melakukan sesuatu yang haram dan mengatakan ikhlas lillahi ta'ala telah berbuat demikian, lalu mencari-cari argumen dengan sudut pandang (sendiri), untuk kemudian menghukuminya sebagai halal yang mana merupakan tindakan yang sangat kurang ajar kepada Allah dan merupakan tanda kebodohan. Dia mencoba-coba membodoh-bodohi Tuhan tetapi justru dirinya sendiri lah yang menampakkan kebodohannya sendiri.
Misalnya, kita sudah dengan jelas tahu bahwa menonton video dewasa itu (kecuali pasangan sah sendiri) adalah perbuatan yang haram, lalu dengan entengnya berkata, "Saya hanya mengagumi ciptaan Tuhan yang indah ini".
Lain halnya dengan sesuatu yang hukumnya mubah lalu menjadikan yang mubah itu diniatkan untuk kebaikan lillahi ta'ala, kita masih bisa mengatakan ikhlas. Contohnya lagi, aktivitas makan dan minum jika itu diniatkan agar tubuh menjadi lebih bugar saat melaksanakan ibadah, maka sudah bisa dikatakan ikhlas lillahi ta'ala.
Buah dari Keikhlasan Menurut Yusuf al-Qadhawi
Buah dari keikhlasan dari pemaparan Fahruddin yang dikutip dari Yusuf al-Qadhawi menjelaskan buah dari keikhlasan (Fi al-Thariq ila Allah Al-Niyyah Wa al-Ikhlas) ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya:
Ketenangan jiwa
Dengan terus melatih diri untuk menjadi orang yang ikhlas, serta hanya rida Allah yang dituju tanpa memperdulikan hambatan dan hasil yang kita lakukan, maka ketenangan jiwa lah yang sudah pasti kita dapat sebagai buah keikhlasan yang hakiki.