Di pantai ini tiga tahun lalu,
  Kutanyakan segelintir parodi di antara baris ombak:
    Mengapa tak lagi mentari menyambut sinarnya?
    Adakah awan naik pelataran singgasana-Mu sekian waktu
    Untuk menyambangi kekelaman di dalamnya?
    Mungkinkah gelap terpancar di haribaan Yang Mulia
    Sebagai lantunan isi hati Sang Pencipta?
    Semua tak lagi sama sejak azab-Mu memburaikan tirai
    Kemungkaran pada lubuk para penghuni pulau ini.
    Sekarang tiada lagi menjadi pekat yang sempit bagi kemurtadan
    Hidup umat-Mu di nusa kreasi fantasi-Mu.
    Malu dan gengsi sirna ditelan ambisi pemimpin kami
    Yang senantiasa bergumam teriakan ejekan ke arah kiblat-Mu
    Sembari memuncakkan pantat mereka ke muka yang indah
    Tanpa setitik takut dilanda murka suci-Mu.
    Kami semua terjebak dalam pasir pantai bermuaranya sekian
    Anak sungai dosa, diisap lumpur delta kerusakan akhlak.
    Sedangkan mereka tak peduli akan hidup-mati kami
    Selama mulut mereka masih bisa mengunyah kepiting, kerang, udang, dan ikan,
    Yang menjadi bagian merata seluruh penduduk tanah
    Yang selama hidupnya menjadi terbiasa dengan sarkasme rasa lapar,
    Serta dikondisikan untuk mengintimi nestapa kemiskinan.
    Semua kami mengumandangkan jerit satire yang sama:
      Bilakah matahari itu bangkit giat dari pembaringan kemalasannya,
      Menjajaki lagi langit keadilan yang menanti penuh cemas?
      Maukah Engkau menyapubereskan segala kotoran, sampah, dan tahi
      Yang melekat mutlak pada wajah kami yang terbenam panasnya pasir nista
      Yang jenuh oleh mineral lautan nafsu dan ambisi?
Di gunung ini tiga bulan lalu,
  Pohon pinus utama bertanya sekuat-kuatnya padaku:
     Haruskah aku meminta-minta pada Hakim Adil
     Untuk membatalkan gugatan kami terhadap para laknat negerimu
     Yang memperkosa anak tanah kami?
     Tak sanggupkah kautumbuhkan kembali mereka
     Yang terbengkalai oleh nafsu para kaummu?
  Pantang kesanggupanku menjawab sergahnya yang pilu.
  Aku mengerti penuh dengan lambung pengertianku
  Tentang balada pembalasan dendam yang diancamkannya padaku.
  Sungguh, luar biasa kepahitan tanah gunung ini menanggung
  Kebiadaban para jagoan negeriku di wilayahnya sendiri.
  Aku tertunduk pilu, segan menatap lawan bicaraku
  Yang telah menyampaikan gugatannya kepada Tahta Tertinggi.
  Harus kuakui jujur apa saja kelaknatan bangsa kaumku
  Sehingga kami bertanggungjawab atas kebinasaan burung, pohon, binatang gunung,
  Para penghuni hutan kami tercinta
  Yang kami cintai dengan cara luar biasa aneh itu.
  Meski haruskah semua itu aku yang menjawabnya
  Di hadapan Pengadilan Semesta yang mendakwa seluruh penduduk
  Seolah aku seorang dirilah yang bersalah?
Di pantai ini tiga minggu lalu,
  Malaikat penyidik dari Rumah Suci menyapaku manis:
    Sayangku, janganlah berduka atas kemalangan ini!
    Keputusan telah dimaklumkan, hendaklah tabah.
    Engkau tidak mengetahui betapa dalamnya luka hatimu sendiri.
    Dan tak pernah kauinsafi sendiri permenungan tiga tahunmu
    Seolah selurun insanmu mengabaikan dosa mereka di mukamu.
    Cobalah berhenti mengutuki nasib malang ini!
    Berilah kesempatan nurani umatmu di pantai ini menyelamatkan
    Muka mereka yang tercoreng tanpa batas oleh durjana.
    Tengoklah, pemimpinmu tiada habisnya menyesali perbuatannya.
    Dengarlah kata-kata mereka yang tertulis dalam agenda benak
    Mereka yang menyadari semua yang tak mereka sadari:
      Kata si umat:
        Kalau tahu begini, mengapa pula aku harus menyadari segalanya?
        Sekali telanjur, biarlah terus kuperkaya diriku oleh ambisiku!
        Toh hasilnya sama saja, bencana di pulau ini tetap terjadi.
        Kalau tahu begitu, lebih baik kurampok dulu nusa ini saat itu,
        Daripada sekarang, sudah melarat tertimpa azab-Nya juga.
      Kata si pemimpin:
        Seandainya saja aku tahu,
        Takkan kuhemat-hemat tenagaku untuk menjarahi pulau ini
        Dari pantai satu hingga pantai lain.
        Brengsek! Menyesal sekali diriku tak bisa lebih giat lagi waktu itu
        Merampoki rakyat yang lengah.
        Kini, malapetaka telah menggersangkan seisi pulau,
        Bencana sudah meluluhlantahkan harta penduduk.
        Apa lagi yang bisa kujarahi, coba? Laut?! Pasir?!! Awan?!!!
    Itu semua, Sayangku, jerit pertobatan versi bangsamu.
    Kau tentu tak seperti itu 'kan, Sayang?
  Tanya si malaikat dengan bibir sedikit mencibir dan mata agak menyipit melirik
  Dengan sebelah alisnya condong naik.
Di gunung ini tiga hari lalu,
  Engkau meniriskan jawab-Mu lewat embun pagi:
    Untuk apa kautadahkan tanganmu ke hadapan-Ku siang-malam?
    Jeritan macam apa yang kaudoakan itu?
    Kau tak tahu bagaimana serupanya engkau dengan semua pendosa itu?
    Karena kaulah yang mencuri matahari dari tempatnya diletakkan,
    Sementara umat yang lain dan pemimpin cuma merampoki tetek-bengek,
    Namun sekarang kauanggap dirimu suci tak bersalah?!
    Mereka menggagahi tanah-Ku dan hutan-Ku dan makhluk-Ku,
    Tetapi engkau mengutil hujan yang menjadi sumber hidup,
    Dan sekarang kaucoba mencuci tangan tanda tak tahu apa-apa?!
    Penyidikku berusaha mereka tipu dengan pertobatan palsu,
    Meski tak berhasil mengelabui mata tajamnya,
    Sedangkan engkau memanipulasi kebenaran-Ku untuk memperkayamu
    Dan mengenyangkan rasa amanmu sendiri,
    Betapapun, sekarang kau mau berusaha mengalihkan perhatian amarahku
    Kepada mereka saja supaya kau sendiri bisa bebas?!
    Seharusnya engkau malu dengan keimamanmu itu!
    Telah kupercayakan surya kebenaran-Ku untuk kaupancarkan
    Guna menghangatkan jiwa mati dan menyilaukan lembah hati.
    Hujan kemurahan-Ku sudah Kuamanatkan padamu
    Supaya tanah pikiran yang gersang dapat kausirami
    Dan agar kuncup batin yang putus asa kembali mekar disegarkan air yang menyejukkan.
    Tetapi mana hasilnya? Apa saja kerjamu sebagai duta
    Yang Kuangkat sendiri bagi kehormatan-Ku?
    Jawablah aku! Bersikaplah sebagai laki-laki sejati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H