Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Pantai dan Gunung

28 Agustus 2018   17:32 Diperbarui: 28 Agustus 2018   17:51 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: rajaampatbiodiversity.com)

Di pantai ini tiga tahun lalu,

    Kutanyakan segelintir parodi di antara baris ombak:

        Mengapa tak lagi mentari menyambut sinarnya?

        Adakah awan naik pelataran singgasana-Mu sekian waktu

        Untuk menyambangi kekelaman di dalamnya?

        Mungkinkah gelap terpancar di haribaan Yang Mulia

        Sebagai lantunan isi hati Sang Pencipta?

        Semua tak lagi sama sejak azab-Mu memburaikan tirai

        Kemungkaran pada lubuk para penghuni pulau ini.

        Sekarang tiada lagi menjadi pekat yang sempit bagi kemurtadan

        Hidup umat-Mu di nusa kreasi fantasi-Mu.

        Malu dan gengsi sirna ditelan ambisi pemimpin kami

        Yang senantiasa bergumam teriakan ejekan ke arah kiblat-Mu

        Sembari memuncakkan pantat mereka ke muka yang indah

        Tanpa setitik takut dilanda murka suci-Mu.

        Kami semua terjebak dalam pasir pantai bermuaranya sekian

        Anak sungai dosa, diisap lumpur delta kerusakan akhlak.

        Sedangkan mereka tak peduli akan hidup-mati kami

        Selama mulut mereka masih bisa mengunyah kepiting, kerang, udang, dan ikan,

        Yang menjadi bagian merata seluruh penduduk tanah

        Yang selama hidupnya menjadi terbiasa dengan sarkasme rasa lapar,

        Serta dikondisikan untuk mengintimi nestapa kemiskinan.

        Semua kami mengumandangkan jerit satire yang sama:

            Bilakah matahari itu bangkit giat dari pembaringan kemalasannya,

            Menjajaki lagi langit keadilan yang menanti penuh cemas?

            Maukah Engkau menyapubereskan segala kotoran, sampah, dan tahi

            Yang melekat mutlak pada wajah kami yang terbenam panasnya pasir nista

            Yang jenuh oleh mineral lautan nafsu dan ambisi?

Di gunung ini tiga bulan lalu,

    Pohon pinus utama bertanya sekuat-kuatnya padaku:

         Haruskah aku meminta-minta pada Hakim Adil

         Untuk membatalkan gugatan kami terhadap para laknat negerimu

         Yang memperkosa anak tanah kami?

         Tak sanggupkah kautumbuhkan kembali mereka

         Yang terbengkalai oleh nafsu para kaummu?

    Pantang kesanggupanku menjawab sergahnya yang pilu.

    Aku mengerti penuh dengan lambung pengertianku

    Tentang balada pembalasan dendam yang diancamkannya padaku.

    Sungguh, luar biasa kepahitan tanah gunung ini menanggung

    Kebiadaban para jagoan negeriku di wilayahnya sendiri.

    Aku tertunduk pilu, segan menatap lawan bicaraku

    Yang telah menyampaikan gugatannya kepada Tahta Tertinggi.

    Harus kuakui jujur apa saja kelaknatan bangsa kaumku

    Sehingga kami bertanggungjawab atas kebinasaan burung, pohon, binatang gunung,

    Para penghuni hutan kami tercinta

    Yang kami cintai dengan cara luar biasa aneh itu.

    Meski haruskah semua itu aku yang menjawabnya

    Di hadapan Pengadilan Semesta yang mendakwa seluruh penduduk

    Seolah aku seorang dirilah yang bersalah?

Di pantai ini tiga minggu lalu,

    Malaikat penyidik dari Rumah Suci menyapaku manis:

        Sayangku, janganlah berduka atas kemalangan ini!

        Keputusan telah dimaklumkan, hendaklah tabah.

        Engkau tidak mengetahui betapa dalamnya luka hatimu sendiri.

        Dan tak pernah kauinsafi sendiri permenungan tiga tahunmu

        Seolah selurun insanmu mengabaikan dosa mereka di mukamu.

        Cobalah berhenti mengutuki nasib malang ini!

        Berilah kesempatan nurani umatmu di pantai ini menyelamatkan

        Muka mereka yang tercoreng tanpa batas oleh durjana.

        Tengoklah, pemimpinmu tiada habisnya menyesali perbuatannya.

        Dengarlah kata-kata mereka yang tertulis dalam agenda benak

        Mereka yang menyadari semua yang tak mereka sadari:

            Kata si umat:

                Kalau tahu begini, mengapa pula aku harus menyadari segalanya?

                Sekali telanjur, biarlah terus kuperkaya diriku oleh ambisiku!

                Toh hasilnya sama saja, bencana di pulau ini tetap terjadi.

                Kalau tahu begitu, lebih baik kurampok dulu nusa ini saat itu,

                Daripada sekarang, sudah melarat tertimpa azab-Nya juga.

            Kata si pemimpin:

                Seandainya saja aku tahu,

                Takkan kuhemat-hemat tenagaku untuk menjarahi pulau ini

                Dari pantai satu hingga pantai lain.

                Brengsek! Menyesal sekali diriku tak bisa lebih giat lagi waktu itu

                Merampoki rakyat yang lengah.

                Kini, malapetaka telah menggersangkan seisi pulau,

                Bencana sudah meluluhlantahkan harta penduduk.

                Apa lagi yang bisa kujarahi, coba? Laut?! Pasir?!! Awan?!!!

        Itu semua, Sayangku, jerit pertobatan versi bangsamu.

        Kau tentu tak seperti itu 'kan, Sayang?

    Tanya si malaikat dengan bibir sedikit mencibir dan mata agak menyipit melirik

    Dengan sebelah alisnya condong naik.

Di gunung ini tiga hari lalu,

    Engkau meniriskan jawab-Mu lewat embun pagi:

        Untuk apa kautadahkan tanganmu ke hadapan-Ku siang-malam?

        Jeritan macam apa yang kaudoakan itu?

        Kau tak tahu bagaimana serupanya engkau dengan semua pendosa itu?

        Karena kaulah yang mencuri matahari dari tempatnya diletakkan,

        Sementara umat yang lain dan pemimpin cuma merampoki tetek-bengek,

        Namun sekarang kauanggap dirimu suci tak bersalah?!

        Mereka menggagahi tanah-Ku dan hutan-Ku dan makhluk-Ku,

        Tetapi engkau mengutil hujan yang menjadi sumber hidup,

        Dan sekarang kaucoba mencuci tangan tanda tak tahu apa-apa?!

        Penyidikku berusaha mereka tipu dengan pertobatan palsu,

        Meski tak berhasil mengelabui mata tajamnya,

        Sedangkan engkau memanipulasi kebenaran-Ku untuk memperkayamu

        Dan mengenyangkan rasa amanmu sendiri,

        Betapapun, sekarang kau mau berusaha mengalihkan perhatian amarahku

        Kepada mereka saja supaya kau sendiri bisa bebas?!

        Seharusnya engkau malu dengan keimamanmu itu!

        Telah kupercayakan surya kebenaran-Ku untuk kaupancarkan

        Guna menghangatkan jiwa mati dan menyilaukan lembah hati.

        Hujan kemurahan-Ku sudah Kuamanatkan padamu

        Supaya tanah pikiran yang gersang dapat kausirami

        Dan agar kuncup batin yang putus asa kembali mekar disegarkan air yang menyejukkan.

        Tetapi mana hasilnya? Apa saja kerjamu sebagai duta

        Yang Kuangkat sendiri bagi kehormatan-Ku?

        Jawablah aku! Bersikaplah sebagai laki-laki sejati!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun