Pertama kali aku melihatmu adalah malam itu, ketika semua pesta pora telah selesai dan tubuh lelahmu perlahan masuk ke kamar ini.Â
Kamu adalah seorang perempuan yang masih muda dan berparas ayu, berambut hitam dengan dua lesung pipi di masing-masing pipimu. Langkahmu yang tertatih-tatih membawamu ke hadapanku, lalu memandangiku, dan diam membisu. Aku khawatir sebab wajahmu dipenuhi pilu. Matamu terlihat sendu.Â
Lalu tiba-tiba, isak kecilmu terdengar bagai elegi yang mengiris hati bagi siapa saja yang mendengar tangismu, yang kamu simpan rapat-rapat seorang diri sebab dunia tidak mengizinkan air mata luruh dari kelopakmu.
Di tempatku, aku tergugu, tak bisa menggapai wajahmu yang dipenuhi oleh duka itu.
Kamu cepat-cepat menghapus aliran air di wajahmu ketika suara langkah kaki dari luar kamar tempatmu berada terdengar mendekat. Tanganmu cekatan membuka ikatan rambut dan mulai pura-pura menghapus riasan yang sebenarnya sudah luntur sebab air mata sejak lima menit lalu.Â
Seorang laki-laki, berbadan tambun berkumis lebat berdiri di depan pintu. Dia tersenyum kepadamu, tetapi kamu hanya terdiam. Tatapan matamu nanar menatap balik sosoknya. Laki-laki itu, tuan dari rumah besar ini, berjalan perlahan menghampiri tubuh kurusmu yang mulai menegang sebab rasa takut. Dari tempatku, aku dapat menangkap gerakan bahumu yang tampak gemetar meski kamu pura-pura tegar.Â
Laki-laki itu tersenyum lagi.
Jari jemarinya membelai wajahmu dan dia menyeringai lagi. Tangannya turun ke bahumu, mengusap-usap kedua belah bahumu yang terbuka sebab gaun putih yang kamu kenakan tidak memiliki lengan.Â
Lampu dimatikan.Â
Selanjutnya yang kulihat adalah gelap.Â
 Keesokannya, ketika mantari meyingsing tanda dimulainya hari, kamu bangkit dari tempat tidur dengan penampilan yang sama kacaunya dengan hatimu. Matamu yang sembab masih mengandung pilu. Laki-laki semalam, tuan rumah itu, masih terlihat tertidur di samping tempatmu duduk ketika kamu mulai terisak lagi.Â
 "Kenapa menangis?" Suara beratnya yang sarat akan emosi memaksamu untuk menghentikan isak. Kamu terburu-buru menghapus air mata yang belum sempat terjatuh dan masih menggenang di kelopakmu yang jelita.Â
 "Nyesel nikah sama saya?" Dia kembali bertanya.
 Kamu tidak menjawab.Â
 "Jawab! Nyesel nikah sama saya?" Satu telapak tangan besarnya meraih pipimu, menangkupnya kuat-kuat dan menekannya hingga aku dapat melihat raut kesakitan di balik matamu.Â
 Kamu menggeleng hebat.Â
 "Sebaiknya kamu gak nyesel. Kamu dibayar mahal pakai lunasnya hutang-hutang orang tua kamu!" Laki-laki itu, suamimu, melepas cengkeraman tangannya pada kedua belah pipimu dengan kasar, lalu tubuh tambunnya dibawa menjauh dari sosokmu yang meringkuk di atas tempat tidur.Â
 Ketika suara langkah kaki laki-laki itu tidak terdengar, air matamu mulai mengalir lagi. Kamu menggunakan telapak tangan kananmu untuk mendekap mulutmu sendiri, agar isak dari tangismu tidak terdengar dan laki-laki itu tidak kembali lagi ke kamar itu.Â
 Pagi itu, pertama kali aku melihatmu menangis lama sekali.Â
***
Pernah suatu ketika suara benturan benda tumpul menggema dari balik pintu, dari arah ruang tamu.Â
Samar-samar, aku mendengar suara laki-laki itu, suamimu yang berteriak hingga suaranya menembus kamarmu, menembus pendengaranku.Â
"Jadi perempuan tidak becus! Kerja kamu itu enak loh, saya sudah kasih uang dan kamu gak usah kerja, cukup di rumah aja, jadi pelayan saya!" Suaranya menggema hingga mengisi tiap ruang yang ada di rumah itu.Â
Suara pukulan terhadap sesuatu terdengar lagi.Â
Lalu, suara tangismu.
Lalu, permohonan ampun dan rintihan kesakitan dari bibirmu yang gemetar.Â
"Paham kamu?" Laki-laki itu bertanya padamu.Â
Anggukanmu menghentikan segala penderitaan yang menyiksamu malam itu. Kamu muncul di depan pintu kamarmu dengan langkah terseok-seok dan ujung mata yang tampak membiru.Â
Tubuh ringkihmu yang terluka terduduk di hadapanku.Â
Pandanganmu menatap lurus refleksi dirimu yang memantul dari cermin di hadapanmu.Â
"Aku tidak butuh uang..." Lirihmu.Â
"Aku tidak sudi," kamu berbisik lagi.Â
"... menukar hidupku dengan jaminan pelunasan hutang dan nafkah seumur hidup..." Suaramu hilang termakan tangis.Â
"Tetapi mental dan fisikku dihancurkan seperti ini..."Â
Laki-laki yang menjadi penyebab lebam-lebam biru di sekujur tubuhmu tidak terlihat pulang malam itu.Â
***
Kamu menemukan hobi baru.Â
Semenjak hari di mana aku melihatmu melintasi kamar sambil menenteng buku bersampul mawar, tangismu jarang lagi terdengar.
Ketika laki-laki tuan rumah itu --suamimu-- pergi pada pagi hari untuk melakukan pekerjaan yang entah apa, kamu akan duduk di hadapan meja rias sambil menulis sesuatu pada halaman putih kosong di dalam buku bersampul mawar itu. Atau kamu akan tidur-tiduran di atas kasur sambil membaca ulang tulisan tanganmu, kemudian secercah senyum terbit dari bibir tipismu yang kemerahan. Wajah ceriamu cukup melegakan hati, meski malamnya atau besoknya lagi, masih tetap ada bekas-bekas luka baru di ujung bibirmu, atau pelipismu, atau lebam biru di betismu.Â
Suamimu tidak tahu hingga beberapa waktu, sebab kamu dengan pikiran cerdikmu berhasil berbulan-bulan menyembunyikan barang itu. Hari-hari siang ketika suamimu berangkat kerja, kamu terlihat kembali rajin menulis sesuatu. Jari-jarimu, yang cantik dan ramping lihai menari bersama pena untuk menuliskan kata demi kata pada lembaran-lembaran putih buku bersampul mawar itu. Kamu memiliki tempat menyalurkan suara hati, setidaknya, meski mentalmu dihancurkan sedemikian rupa, dan fisikmu disiksa dengan pukulan-pukulan di tiap-tiap malam ketika laki-laki itu emosi dan butuh samsak untuk membuang amarahnya.Â
Diam-diam, pada halaman terakhir buku bersampul mawar itu, kamu merencanakan sesuatu: cara untuk kabur dari rumah terkutuk itu. Kamu susun dengan baik setiap detail dan celah yang memungkinkanmu kabur dari rumah. Aku, di tempatku, terdiam dan ikut senang melihatmu yang pelan-pelan bahagia sambil menyusun jalan keluar.Â
Aku tahu bahwa kamu memiliki keinginan untuk kabur sejauh mungkin,
Dari neraka itu.Â
***
Rencana pelarian diri yang kamu susun dengan sedemikian rapi itu nyatanya menemui jalan buntu.Â
Laki-laki itu, yang tidak kamu sadari, lebih licik dan pintar diam-diam memperhatikanmu yang tidak lagi takut dan gemetar ketika berhadapan dengan amarahnya yang menggebu-gebu. Diam-diam memperhatikanmu yang tak lagi bergantung pada sejumlah uang yang dia berikan kepadamu tiap minggu, diam-diam memperhatikan gerak-gerik mencurigakanmu. Hanya menunggu waktu, laki-laki itu menemukan buku bersampul mawar terselip di balik baju-bajumu, halaman terakhirnya menampilkan rencana detail pelarian diri yang telah kamu susun setengah mati.Â
Dia memang berpura-pura tidak tahu dan membiarkanmu melancarkan aksi di hari itu. Tidak lama setelah kamu kabur dari rumahnya, dia menyeretmu kembali sambil mencengkram pergelangan tanganmu. Amarahnya memuncak dan dia tidak segan-segan menempeleng di tengah jalan. Saat kalian berdua sudah sampai di rumah ini, laki-laki itu mengunci semua pintu sementara kamu berusaha berlarian mencari jalan keluar. Tongkat kayu yang digenggam di tangan kanan laki-laki itu memukul balik nyalimu. Kamu gemetar, meringkuk di sisi kakiku yang terdiam membisu.Â
"Kamu pikir saya gak tau rencana kabur kamu?" Dia berjalan perlahan, mendekat ke sisimu.Â
Kamu diam.Â
"Apa ini? Hah?" Laki-laki itu melempar sesuatu ke hadapanmu yang masih menolak untuk bicara.
Itu buku bersampul mawar.Â
Kelopak matamu bergetar oleh rasa gugup dan kepanikan sementara mata laki-laki itu menggelap melihat ekspresi panik yang dia tangkap dari paras jelitamu.Â
Dia mendekat lagi, tangannya meraih buku itu, membukanya, dan mulai mencari sesuatu di dalam buku bersampul mawarmu. Wajahmu sudah sepucat susu. Ketika laki-laki itu sudah menemukan apa yang ia cari, dengan seringai mengerikan yang terbit di bibirnya, laki-laki itu menunjukkan halaman terakhir buku.
Menunjukkan sebuah rencana pelarian diri, yang diam-diam telah kamu susun sedemikian rapi.
"Apa maksudnya semua ini? Kamu diam-diam mengkhianati saya?" bukumu dilempar dan menghantam dinding kamar.
"Jangan harap. Saya bayar mahal ke orang tua kamu buat dapetin kamu, itu berarti kamu harus sama saya selamanya!" Tangan laki-laki itu pindah ke kepalamu, menjambak rambut panjangmu yang carut marut.
Entah keberanian dari mana, kamu balik menatapnya. Matamu dipenuhi kobaran api dari keberanian dan rasa benci yang bertumbuk dan berbulan-bulan telah membusuk di dasar hatimu.
"Sudah berani ya kamu, rupanya." Suamimu menyeringai, diikuti tamparan keras yang mendarat di pipi kananmu.Â
Kamu jatuh tersungkur tetapi mencoba berdiri lagi.Â
Laki-laki itu, dengan gelap mata membantingmu hingga mendarat di kaki-kaki tempat tidurmu.
Aku ingin berteriak. Namun, aku bisu dan tak dapat bergerak.
Laki-laki itu kesetanan. Kamu juga kesetanan.Â
Berikutnya, sebuah benda keras melayang dan terhempas ke arahku.
Aku pecah berkeping-keping.
Yang kudengar terakhir kali adalah tangismu yang melengking dan suara benda tumpul menghantam kepalamu. Lalu setelah itu diam.
Kamu hancur berkeping-keping.
Kita sama-sama hancur berkeping-keping.
***
BIONARASI
Halo, Saya Salma Rihhadatul Aisy, mahasiswa sastra sekaligus penulis pemula. Cerpen saya sudah diterbitkan beberapa kali di antologi cerpen dan beberapa platform menulis. Sekarang, saya berdomisili di Tangerang. Temui saya pada akun instagram @meisalma_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H