Keesokannya, ketika mantari meyingsing tanda dimulainya hari, kamu bangkit dari tempat tidur dengan penampilan yang sama kacaunya dengan hatimu. Matamu yang sembab masih mengandung pilu. Laki-laki semalam, tuan rumah itu, masih terlihat tertidur di samping tempatmu duduk ketika kamu mulai terisak lagi.Â
 "Kenapa menangis?" Suara beratnya yang sarat akan emosi memaksamu untuk menghentikan isak. Kamu terburu-buru menghapus air mata yang belum sempat terjatuh dan masih menggenang di kelopakmu yang jelita.Â
 "Nyesel nikah sama saya?" Dia kembali bertanya.
 Kamu tidak menjawab.Â
 "Jawab! Nyesel nikah sama saya?" Satu telapak tangan besarnya meraih pipimu, menangkupnya kuat-kuat dan menekannya hingga aku dapat melihat raut kesakitan di balik matamu.Â
 Kamu menggeleng hebat.Â
 "Sebaiknya kamu gak nyesel. Kamu dibayar mahal pakai lunasnya hutang-hutang orang tua kamu!" Laki-laki itu, suamimu, melepas cengkeraman tangannya pada kedua belah pipimu dengan kasar, lalu tubuh tambunnya dibawa menjauh dari sosokmu yang meringkuk di atas tempat tidur.Â
 Ketika suara langkah kaki laki-laki itu tidak terdengar, air matamu mulai mengalir lagi. Kamu menggunakan telapak tangan kananmu untuk mendekap mulutmu sendiri, agar isak dari tangismu tidak terdengar dan laki-laki itu tidak kembali lagi ke kamar itu.Â
 Pagi itu, pertama kali aku melihatmu menangis lama sekali.Â
***
Pernah suatu ketika suara benturan benda tumpul menggema dari balik pintu, dari arah ruang tamu.Â