***
Rencana pelarian diri yang kamu susun dengan sedemikian rapi itu nyatanya menemui jalan buntu.Â
Laki-laki itu, yang tidak kamu sadari, lebih licik dan pintar diam-diam memperhatikanmu yang tidak lagi takut dan gemetar ketika berhadapan dengan amarahnya yang menggebu-gebu. Diam-diam memperhatikanmu yang tak lagi bergantung pada sejumlah uang yang dia berikan kepadamu tiap minggu, diam-diam memperhatikan gerak-gerik mencurigakanmu. Hanya menunggu waktu, laki-laki itu menemukan buku bersampul mawar terselip di balik baju-bajumu, halaman terakhirnya menampilkan rencana detail pelarian diri yang telah kamu susun setengah mati.Â
Dia memang berpura-pura tidak tahu dan membiarkanmu melancarkan aksi di hari itu. Tidak lama setelah kamu kabur dari rumahnya, dia menyeretmu kembali sambil mencengkram pergelangan tanganmu. Amarahnya memuncak dan dia tidak segan-segan menempeleng di tengah jalan. Saat kalian berdua sudah sampai di rumah ini, laki-laki itu mengunci semua pintu sementara kamu berusaha berlarian mencari jalan keluar. Tongkat kayu yang digenggam di tangan kanan laki-laki itu memukul balik nyalimu. Kamu gemetar, meringkuk di sisi kakiku yang terdiam membisu.Â
"Kamu pikir saya gak tau rencana kabur kamu?" Dia berjalan perlahan, mendekat ke sisimu.Â
Kamu diam.Â
"Apa ini? Hah?" Laki-laki itu melempar sesuatu ke hadapanmu yang masih menolak untuk bicara.
Itu buku bersampul mawar.Â
Kelopak matamu bergetar oleh rasa gugup dan kepanikan sementara mata laki-laki itu menggelap melihat ekspresi panik yang dia tangkap dari paras jelitamu.Â
Dia mendekat lagi, tangannya meraih buku itu, membukanya, dan mulai mencari sesuatu di dalam buku bersampul mawarmu. Wajahmu sudah sepucat susu. Ketika laki-laki itu sudah menemukan apa yang ia cari, dengan seringai mengerikan yang terbit di bibirnya, laki-laki itu menunjukkan halaman terakhir buku.
Menunjukkan sebuah rencana pelarian diri, yang diam-diam telah kamu susun sedemikian rapi.