"... menukar hidupku dengan jaminan pelunasan hutang dan nafkah seumur hidup..." Suaramu hilang termakan tangis.Â
"Tetapi mental dan fisikku dihancurkan seperti ini..."Â
Laki-laki yang menjadi penyebab lebam-lebam biru di sekujur tubuhmu tidak terlihat pulang malam itu.Â
***
Kamu menemukan hobi baru.Â
Semenjak hari di mana aku melihatmu melintasi kamar sambil menenteng buku bersampul mawar, tangismu jarang lagi terdengar.
Ketika laki-laki tuan rumah itu --suamimu-- pergi pada pagi hari untuk melakukan pekerjaan yang entah apa, kamu akan duduk di hadapan meja rias sambil menulis sesuatu pada halaman putih kosong di dalam buku bersampul mawar itu. Atau kamu akan tidur-tiduran di atas kasur sambil membaca ulang tulisan tanganmu, kemudian secercah senyum terbit dari bibir tipismu yang kemerahan. Wajah ceriamu cukup melegakan hati, meski malamnya atau besoknya lagi, masih tetap ada bekas-bekas luka baru di ujung bibirmu, atau pelipismu, atau lebam biru di betismu.Â
Suamimu tidak tahu hingga beberapa waktu, sebab kamu dengan pikiran cerdikmu berhasil berbulan-bulan menyembunyikan barang itu. Hari-hari siang ketika suamimu berangkat kerja, kamu terlihat kembali rajin menulis sesuatu. Jari-jarimu, yang cantik dan ramping lihai menari bersama pena untuk menuliskan kata demi kata pada lembaran-lembaran putih buku bersampul mawar itu. Kamu memiliki tempat menyalurkan suara hati, setidaknya, meski mentalmu dihancurkan sedemikian rupa, dan fisikmu disiksa dengan pukulan-pukulan di tiap-tiap malam ketika laki-laki itu emosi dan butuh samsak untuk membuang amarahnya.Â
Diam-diam, pada halaman terakhir buku bersampul mawar itu, kamu merencanakan sesuatu: cara untuk kabur dari rumah terkutuk itu. Kamu susun dengan baik setiap detail dan celah yang memungkinkanmu kabur dari rumah. Aku, di tempatku, terdiam dan ikut senang melihatmu yang pelan-pelan bahagia sambil menyusun jalan keluar.Â
Aku tahu bahwa kamu memiliki keinginan untuk kabur sejauh mungkin,
Dari neraka itu.Â