Intrik Politik

Mendengar jawaban itu, yang bertanya membalas dengan anggukan.

Selanjutnya, dengan berbekal pengetahuan, kompetensi, profesi, dan keahlian di bidang psikiatri forensik, dia mulai melacak keganjilan-keganjilan di seputar tempat kejadian perkara. Berjam-jam dia selidiki dengan amat teliti dan sangat saksama serta berulang-ulang apa saja yang ada di TKP tersebut. Mulai dari kursi pelaku, kusi korban, meja praktiknya, lantai putih, dan sekitar ruang pratiknya. Namun, tenaga dan pikirannya sebagai seorang profesional di bidang psikiatri forensik belum juga mampu menguak rahasia pembunuhan Budinya itu. Tidak ada satu petunjuk pun yang memuaskan untuk mengungkap kasus pembunuhan itu. Semua yang telah diselidikinya di TKP tampak normal. Biasa-biasa saja. Datar. Nihil.

"Aneh! Benar-benar aneh!," kata Dokter Rudi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bagaimana kalau kita lanjutkan ke kantor, Dok? Kami punya bukti-bukti lain. Foto-foto korban dan TKP, baju korban, dan peralatan tulis lainnya yang berhasil kami kumpulkan."

"Baiklah."

Dokter Rudi masuk ke dalam mobil diikuti penyidik berambut klasik.

"Ya Allah, misteri apa yang masih Kaurahasiakan?" keluhnya sambil menghempaskan bahunya di jok mobil. Kedua tangannya memegang jidat hingga rambut belakang. Lalu, pandangannya menerawang kosong ke interior atas mobil.

Mereka lalu berangkat ke Polresta Kediri Kota untuk berkoordinasi dengan penyidik lainnya yang mengamankan barang-barang bukti kasus penembakan Budi itu. Dokter ingin mewawancarai penyidik, menyaksikan bukti-bukti foto korban, foto pelaku, dan barang bukti lainnya.

"Ya Allah, kasihan sekali!" kata Dokter Rudi demi melihat foto muka almarhum. Jidatnya berlubang. Mata kanannya hancur. Demikian pula mata kirinya.

"Biadab sekali!" katanya sambil meremas foto itu.

"Maaf, Dok. Tampaknya dokter harus istirahat dulu ya?" pinta penyiudik yang gondrong. "Biar saya dan teman-teman yang akan menuntaskan kasus ini.