Intrik Politik

Teriakan itu keluar dari mulut berkumis tebal dan melintang ke atas di kedua ujungnya. Orang itu tidak lain adalah Sarjito. Dia merasa senang bagai terbang di awang-awang melihat Pak Tejo yang sengsara seperti dirinya saat ini. Dendamnya belasan tahun lalu sudah terbalas. Telah terlampias. Dia puas tanpa batas ....

***

"Ini berita baru! Ini baru berita! Ini benar-benar baru berita yang baru! Caleg gila pembunuh dokter ahli jiwa gadungan dipenjara lima tahun! Caleg jadi yang merupakan dalangnya dihukum mati!" Begitu teriak loper koran yang suaranya bagai kaset yang diputar. Korannya hanya terpajang kurang dari satu jam di Alun-alun Kota Kediri. Setelah itu, tidak ada satu eksemplar pun karena sudah ludes terjual.

Setahun kemudian, di tempat penjualan yang sama, loper itu berteriak-teriak lagi laksana kaset yang diputar, "Ini berita baru! Ini baru berita! Ini benar-benar baru berita yang baru! Caleg pembunuh dokter ahli jiwa gadungan telah tobat dan sekarang jadi dai di penjara. Caleg jadi Sarjito sang dalang pembunuhan mati gantung diri di penjara."

"Rasakan balasan atas kejahatan busukmu, Sarjito!" umpat Kang Jakfar geram sambil melihat HL dan foto HL koran hari itu.

"Dasar penipu rakyat!" cerca Kang Parman yang dulu sempat jadi tim sukses Sarjito tak kalah geramnya dibanding Kang Jakfar.

Sementara itu, di ruang tamu kediaman Pak Tejo ada yang berkata, "Alhamdulilah, cah nggantheng, bapakmu wis mancik sirathal mustaqim maneh."

Ternyata, itu suara lembut Jeng Imah. Dia mengucapkannya sambil memeluk erat dan membelai rambut anak semata wayangnya dengan sapuan nan lembut.

"Inggih, bu. Alhamdulilah," balas anaknya masih dalam pelukan ibundanya, "Ayo kita kabarkan ini ke Kiai Ridwan, bu," lanjutnya.

Ibunya hanya tersenyum sebagai tanda setuju. Ketika baru melangkah ke pintu rumah, keduanya tersentak suara dering telepon. Karwo bergegas menuju ke arah suara dering itu dan segera mengangkat gagangnya. Belum sempat berbicara, sudah ada suara kalem penuh wibawa di seberang sana, "Sudah, ndak usah ke sini, Nak Karwo. Saya sudah tahu. Lebih baik kamu dan ibu segera sujud syukur dan perbanyak zikir kepada Allah. Wassalaamu 'alaikum."

Karwo hanya terbengong dan belum sempat menjawab sepatah kata pun, tapi suara di telepon sudah ditutup.