Misi Buah Mangga Selesai
Jam masih menunjukan pukul 5.30 pagi, hari ini Ken Angrok tampak sudah rapih bersiap berangkat ke sekolah. Sebetulnya dia sudah siap untuk berangkat dari tadi namun Ibu atau Bapaknya belum bangun. Biasanya pada jam-jam seginilah Ibunya baru bangun. Jadi dia hanya duduk menunggu sambil sedikit gelisah di depan kamar Bapak dan Ibunya, dia hanya memiliki waktu menunggu 15 menit lagi. Kemarin sore, dia sudah berjanji akan sampai di rumah Boyo tepat pukul 6 pagi. Dalam perhitungannya, paling cepat membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di rumah Boyo dengan memacu sepedanya sekuat tenaga. Pandangannya berkali-kali tertuju pada Jam Dinding. Dia tidak berani mengetuk pintu untuk membangunkan orang tuanya.
Terdengar pintu kamar dibuka, Ken Angrok langsung berdiri dan mendekati Ibunya yang keluar kamar. Genuk Buntu agak kaget ketika tiba-tiba Ken Angrok menyodorkan tangan untuk bersalaman pamitan berangkat sekolah. Ken Angrok selalu merasa tidak tenang jika pergi keluar rumah tanpa berpamitan dulu dengan mencium tangan salah satu orang tuannya. "Lho..., kamu kok pagi-pagi sekali sudah mau berangkat Ken?," tanya Genuk Buntu heran.
Sambil tergesa-gesa keluar rumah Ken Angrok menjawab, "Iya Bu, aku ada janji berangkat bareng Boyo..."
"Lha ini sangumu piye?" Teriak Genuk Buntu mengejar Ken Angrok keluar rumah.
Ken Angrok sudah memutar sepedanya di teras, "Nggak usah sangu hari ini Bu..." kata Ken Angrok langsung mengayuh sepedanya keluar pagar.
"Haduh..., bocah ini gimana to? Nganeh-anehi wae, mau nakal apa lagi dia hari ini? Wis mbuhlah (ga taulah), biar diurusi Bapaknya aja nanti," kata Genuk Buntu sambil masuk lagi ke rumah.
***
Boyo duduk di teras menunggu Ken Angrok sambil mengawasi rumah Sumi. Dia juga ingin memastikan Sumi belum berangkat ke sekolah. Boyo tersentak ketika mendengar bunyi rem sepeda dan melihat Ken Angrok yang langsung menerobos pagar rumahnya yang terbuka. "Piye Yok? Sudah berangkat dia?" teriak Ken Angrok masih di atas sepeda.
"Belum..., cepet simpen sepadamu dulu di samping".
Ken Angrok menuntun sepedanya ke samping rumah Boyo dan menyimpannya di sana, lalu dia kembali ke teras. Tanpa banyak bicara, keduanya langsung terlihat berjalan keluar pagar menuju gapura gang di depan. "Kamu yakin Yok? Sumi bakal bareng Esha berangkatnya?" tanya Ken Angrok sambil jalan.
"Biasanya begitu, jarang sekali mereka ndak bareng berangkatnya." jawab Boyo sambil agak mempercepat langkahnya.
Sampai di Gapura gang yang cukup lebar itu, mereka berhenti dan mengawasi ke jalan yang barusan mereka lewati. Mereka sengaja berdiri di balik Gapura sebelah kanan agar tidak terlihat jika ada orang yang menuju keluar gang. Beberapa kali Boyo mengintip ke dalam gang. Lalu tiba-tiba, "Itu mereka Ken!" kata Boyo berbisik.
Ken Angrok ikut mengintip dari balik Gapura, dia melihat beberapa anak perempuan dengan seragam merah putih seperti dirinya berjalan beriringan menuju ke arahnya. "Iya Yok, ayo kita jalan agak memutar, biar tidak ketahuan dan tersusul oleh mereka. Ken Angrok berencana agar pertemuan dengan Sumi pagi ini seolah tidak disengaja. Kesempatan ini akan digunakan untuk merayu Sumi agar mau bicara dengan Bimo mengenai tempat pengantaran mangga. Jika Sumi tetap tidak mau, alternatifnya adalah melibatkan Esha, teman dan sabahat dekat Sumi. Esha punya karakter 'grapyak' (mudah bergaul) dengan siapa saja, baik laki maupun perempuan. Ken Angrok berharap Esha mau menggantikan Sumi bicara dengan Bimo. Jika ternyata keduanya tidak mau, maka hari ini, misi harus ditunda dulu atau dibatalkan.
Boyo dan Ken Angrok berjalan pelahan sekali, suara anak-anak perempuan mulai terdengar dari belakang mereka. Sesekali Boyo melirik kebelakang untuk memastikan Sumi dan Esha benar-benar sudah di belakang mereka. Beberapa anak-anak lain melangkah lebih cepat dan mendahului mereka. Hampir seluruh anak-anak di Campara sekolah di SD Negeri Campara. SD Negeri di sini memang baru ada satu. Boyo mulai mendengar suara Esha yang memang keras, lalu dia menyenggol tangan Ken Angrok. Ken Angrok menengok kebelakang dan pura-pura kaget, "Eh..., kamu to Sumi."
"Lho..?, kon ngopo mangkat songko kene Ken? (kamu mengapa berangkat dari sini Ken?)" yang menjawab kencang malah Esha. Sumi malah benar-benar kaget dan wajahnya bersemu merah.
Ken Angrok dan Boyo berhenti dan membiarkan Sumi dan Esha mendahului. Kemudian mereka mengikuti dari belakang. "Aku tadi disuruh ke rumah Boyo sama Ibu, nganter titipan arisan buat Ibunya Boyo," kata Ken Angrok mencari alasan sekenanya.
"Halah..., kenapa ga di sekolah aja? Paling kamu pengin bareng sama Sumikan? hayooo..." goda Esha pada Ken Angrok. Sumi nampak malu dan mencubit Esha, "Ah kamu ini..." kata Sumi.
"Tenan (bener) kok Sha," kata Boyo mencoba meyakinkan, "Arisannyakan pas jam sekolah to, jadi ya harus dikasih pagi-pagi..." kata Boyo memperkuat kebohongan Ken Angrok.
"Tapi mumpung ketemu Sumi, Suwun ya Sumi, sudah bantu mintain mangga ke Bimo," kata Ken Angrok.
Sumi tidak menjawab, hanya manggut saja dan menunduk. Ada perasaan kaget dan senang dia bisa bertemu Ken Angrok pagi ini.
Boyo mulai membuka permasalahan pada Sumi, "Sum..., kemarin itu Gajah ngawur ngomongnya sama Bimo."
"Ngawur piye to?" kata Sumi.
"Gajah itu minta mangganya 100 butir!"
Mendadak Sumi dan Esha menghentikan langkah dan berbalik kebelakang, "Opo!? Seratus butir?" tanya Sumi ingin memperjelas.
"Iya Sum..., Gajah minta seratus butir di antar hari ini ke rumahmu" kata Boyo.
"Gimana to Gajah itu? Kok ngawur gitu?," kata Sumi agak panik. Mau disimpan di mana mangga sebanyak itu pikirnya. Lalu apa kata Ibu nanti?
"Tenang Sum...," kata Boyo sambil menyuruh mereka tetap berjalan lagi.
Boyo melanjutkan, "Gimana kalo kamu nanti nemui Bimo..."
"Gak! Gak mau aku!" kata Sumi ketus.
"Ada opo to sebenarnya ini?" kata Esha.
"Gini lho Sha," giliran Ken Angrok yang bicara, "Maksudku itu, kalo Sumi mau ngomong sama Bimo, dia bisa nyuruh Bimo nganter mangganya itu ke Lumbung Padi Pak Liknya Kidang itu. Kidang udah siap menerima di sana..."
"Moh!, aku pokoke Moh omong-omongan sama Bimo. Suruh Gajah aja lagi! dia yang bikin masalah." kata Sumi menahan marah pada Gajah.
"Kamu itu yo kenapa to Sum? Ngomong sama Bimo aja gak mau." kata Esha pada Sumi.
"Ga taulah, pokoknya aku gak mau titik!"
"Gimana kalo kamu yang ngomong Sha?" kata Ken Angrok.
"Lho kok aku, akukan ga tau apa-apa. Kenapa ko ga nyuruh Gajah lagi aja?" jawab Esha.
"Kalo Gajah yang ngomong, nanti Bimo pasti ngga percaya. Dia akan menyangka kalo mangga itu sebetulnya buat Gajah sendiri." kata Ken menjelaskan, lalu lanjutnya, "Kalo kamu yang bilang, Bimo akan lebih percaya karena dia tahu kamu dekat sama Sumi. Bahkan tetangga lagi."
"Trus aku harus ngomong apa aja sama Bimo itu?"
"Cuma ngomong gini lho, kamu dipesenin sama Sumi kalo Mangganya di antar aja ke Lumbung Padinya Pak Wagio, Pak Liknya Kidang. Kalo di antar ke rumah nggak enak sama tetangga. Mangga segitu banyak kok ndak di bagi ke tetangga. dah gitu aja." kata Ken mencoba memperjelas peran Esha. Sumi sudah tidak bisa diharapkan untuk bicara sama Bimo, pikir Ken Angrok.
"Oh cuma gitu, tapi aku dibagi yo mangganya, 20 butir!" kata Esha menyanggupi dengan syarat.
"Iya! Gampang wis itu, nanti tak bagi 30 juga gapapa," kata Ken.
"Bener ya? Yo wis, di mana aku nanti ngomong sama Bimo?" tanya Esha.
"Nanti aja pas jam istirahat, kamu ke depan sebentar ke kelasku" kata boyo pada Esha.
"Ya sudah, aku duluan ya, takutnya nanti didepan sekolah ketemu Bimo," kata Ken Angrok mempercepat jalannya meninggalkan Sumi, Esha dan Boyo.
...
Bel tanda jam istirahat sudah terdengar, Anak-anak berseragam merah putih seperti berhamburan keluar kelas, mereka seperti burung-burung kecil yang terbebas dari sangkarnya. Kali ini Ken Angrok hanya keluar kelas dan duduk-duduk dipinggiran koridor. Matanya terus mengawasi kelas Boyo dan Bimo yang memang tidak terlalu jauh. Dia sudah menyuruh Kidang untuk bermain tidak jauh-jauh dari kelas Boyo. Ken Angrok melihat Gajah datang mendekatinya.
"Ken, sebentar lagi Esha sudah mau ke kelas Bimo." kata Gajah sambil duduk di belah Ken Angrok.
"Kamu ngomong apa sama Sumi Ken? Dia tadi jadi marah-marah sama aku," kata Gajah menyelidik.
"Ya aku cuma bilang, kamu itu ngawur, minta mangganya sampe 100 butir." jawab Ken Angrok.
"Halah..., kamu itu lho, eh itu lihat Esha ke kelas Bimo," kata gajah menunjuk Esha yang sedang jalan ke arah kelas Bimo.
Esha memang anak pemberani. Kepercayaan Dirinya sangat tinggi sehingga setiap ada acara sekolah, dia pasti akan terpilih untuk tampil di panggung. Wajahnya tidak secantik Sumi tapi pribadinya jauh lebih menarik. Ken Angrok melihat Esha seperti tidak peduli dengan tatapan anak-anak lain, dia terus menerobos dan langsung menuju ke kelas Bimo.
Esha bertemu Bimo di lapangan depan kelas. Di samping Bimo tampak Boyo. "Bimo! Bim!" panggil Esha.
"Eh Esha, kenapa Sha? aku baru aja mau ke belakang. Ini Boyo susah banget suruh nemenin," kata Bimo.
"Aku cuma mau nyampein pesen Sumi sama kamu".
"Sumi?" Bimo senang mendengar nama itu, "Apa Sha kata Sumi?"
"Sumi bilang nanti jangan dianter kerumah, apa si Bim yang mau kamu anter ke rumah Sumi?" Esha mulai bersandiwara sambil melirik Boyo.
"Oh iya, itu ada pesenan Sumi, terus di antar kemana?"
"Katanya suruh anter ke Lumbungnya Pak Wagiyo, Sumi minta tolong aku yang terima di sana nanti abis Ashar."
"Oh..., nanti kamu yang terima bukan Sumi sendiri?" Bimo aga kecewa mendengar ini. Boyo juga kaget, apa yang dilang Esha diluar rencana. Seharusnya yang dibilang Esha itu titipkan saja ke Kidang karena Kidang yang jaga lumbung itu.
"Kebetulan tadi Sumi mendadak diajak suruh ikut Buliknya ke Tumapel pulang sekolah. Mau jemput sodaranya yang lain katanya." jawab Esha pada Bimo.
"Oooh..., ya sudah nanti abis Ashar aku anter ke sana sama Boyo." kata Bimo sambil memandang Esha dan Boyo.
"Lho? Kok sama aku? Gak mau ah, aku harus tidur siang, ngantuk" kata Boyo pura-pura menolak.
"Ya sudah sak karepmu (terserah kamu) Bim, mau sama siapa aja, pokoknya abis Ashar aku tunggu di lumbung." kata Esha langsung balik badan dan pergi.
"Tulungi (tolongin) aku Yok, nanti tak kasi uang lagi wis," kata Bimo membujuk Boyo.
Kidang yang bermain di dekat-dekat situ memperhatikan Esha yang berjalan ke arah gedung belakang. Ketika Esha menghilang di balik gedung, tanpa menarik perhatian, kidang cepat-cepat menyusul Esha. Dia harus tahu hasil pembicaraan tadi untuk dilaporkan pada Ken Angrok.
"Sepertinya tidak ada masalah Ken," kata Gajah yang dari tadi mengawasi pembicaraan itu dari depan kelas Ken Angrok.
"Kita tunggu dulu aja laporan Kidang sebentar lagi," jawab Ken Angrok.
Kidang akhirnya muncul juga, dia terlihat berjalan di koridor menuju Ken Angrok dan Gajah. "Bimo sudah setuju untuk mengantar ke lumbung," kata Kidang begitu sampai di tempat Ken Angrok dan Gajah. Dia langsung ikut duduk di sebelah Ken Angrok, lalu dia melanjutkan "Tapi..., Esha yang menerima seluruh mangga itu."
"Hah?!" Ken dan Gajah serempak terkejut.
"Iya..., begitu tadi kata Esha. Habis Ashar dia akan ke lumbung dan minta aku yang jemput." kata Kidang.
Ken Angrok berpikir sejenak, lalu lanjutnya, "Ya sudah ndak papa, nanti kita berempat sama-sama jemput dia. Boyo pasti akan disuruh temani Bimo."
"Kita kumpul di mana Ken? jam berapa?" kata Gajah.
"Ya langsung aja di rumah Esha, jam tiga. Kidang, kamu nanti kasih tahu Singo. Sebelum dia ke rumah Esha bergabung dengan kita, jangan lupa, Singo harus bilang Pak Kardi tukang becak itu, jangan ambil penumpang sampai Boyo dateng".
"Oh iya, Gajah, kamu nanti pake sepedaku mengawasi Bimo dan Boyo dari jauh. Jangan sampai ketahuan. Kalo mereka sudah pasti berangkat dan membawa mangganya di becak Pak Kardi, kamu buru-buru ngebut ke rumah Esha. Kita berangkat ke lumbung bareng-bareng. Dari rumah Esha ke lumbung jalan kaki paling butuh 15 menit. Pak Kardi yang membawa becak berisi mangga, Bimo, dan Boyo dari kebun Pak Kades pasti butuh waktu lebih dari setengah jam" kata Ken Angrok memperjelas tugas Gajah.
Mereka kemudian berdiri dan Gajah segera pergi menuju kelasnya di belakang. Sambil berjalan masuk kelas, Ken Angrok bertanya pada Kidang, "Eh..., di lumbung ada tempat sembunyi ngga? Aku, Singo, dan Gajah harus sembunyi dulu kalo Bimo dan Boyo dateng."
"Heemmm, kayanya sih bisa di belakang Lumbung. Tapi nanti kita lihat aja Ken, mana kira-kira tempat yang bagus buat sembunyi kalian bertiga."
***
Menjelang sore di rumah Esha telah berkumpul Ken Angrok, Singo, Kidang, dan Sumi. Rumah Sumi dekat dengan rumah Esha, ketika Sumi tahu Ken Angrok akan berkumpul di rumah Esha, Sumi memutuskan ikut ngobrol sebelum mereka pergi ke lumbung. Canda suara anak-anak itu cukup ramai, mereka belum mengenal masalah kehidupan yang pelik. Bagi mereka dunia ini benar-benar tempat bermain.
"Sum, kamu mbok ikut aja ke lumbung, biar nanti ketemu Bimo. Siapa tahu nanti Bimo menyatakan, hahaha..." goda Esha pada Sumi yang lebih banyak mendengar dan mencuri-curi pandang ke Ken Angrok.
"Ah..., kamu itu lho Sha!" jawab sumi sambil mau mencubit lengan Esha.
Mereka bercanda khas anak-anak SD, yang mulai punya ketertarikan pada lawan jenis tetapi belum memahami arti cinta yang sebenarnya. Mereka akan suka saling menggoda dengan memasang-masangkan antara si A dan B. Canda mereka berhenti seketika saat Gajah datang terburu-buru dengan sepeda Ken Angrok, "Mereka sudah berangkat! Ayo cepet ke Lumbung!" kata Gajah sambil menaruh sepeda.
Serentak mereka berdiri dan terburu-buru bersiap untuk menuju lumbung. Mereka berlima bergegas berjalan keluar pagar dan menuju lumbung. Sumi berbelok pulang masuk ke rumahnya ketika mereka melewati rumah Sumi. Lima anak yang lain berjalan sedikit berlari menuju lumbung.
Sampai di Lumbung, Kidang membuka gembok pagar dan pintu utama lumbung. Ken Angrok, Singo, dan Gajah bersembunyi di bilik kecil dibagian belakang, dekat dengan pintu yang menuju belakang lumbung. Bangunan sederhana itu hanya terbuat dari papan dengan atap dari dari bahan seng. Jarak antar papan yang dipasang mendatar menjadi dinding itu tidak begitu rapat. Dari sela-sela inilah, Ken Angrok, Gajah, dan Singo bisa mengawasi seluruh bagian lumbung yang luas seperti sebuah aula.
Kidang dan Esha tampak duduk di tanah tepat di depan pintu masuk utama lumbung mengawasi jalanan menunggu Boyo dan Bimo datang. Mereka seperti mengobrol santai. "Mereka seperti lagi pacaran hihihi...," bisik singo bercanda.
"Iya, mulai besok kita pasangkan dia di sekolah, hihihi..." sahut Gajah.
Kidang menengok ke dalam lumbung ke arah bilik, lalu dia berdiri dan berjalan mendekat. Dari luar bilik dia bertanya pada Gajah, "Jah, bener tadi kamu lihat mereka sudah berangkat? Kok suwiiii men gurung teko? (kok lamaaa sekali belum sampai)."
Ken Angrok dan Singo juga melihat gajah yang duduk di tengah di antara mereka. Mereka juga merasakan seharusnya Boyo dan Bimo sudah sampai. "Bener! Sumpah Rek! aku lihat mereka sudah bergerak berangkat!" kata Gajah menatap Ken Angrok dan Singo bergantian karena merasa dicurigai. Gajah yakin kali ini dia tidak membuat improvisasi mengambil keputusan sendiri.
"Ya sudah, kita tunggu sebentar lagi..." kata Ken Angrok menenangkan teman-temannya.
"Eh, Kidang, kamu suka ya sama Esha... hihihi..." celetuk Singo ke Kidang. Kidang tidak menjawab, dia terus berbalik kembali mendekati Esha.
Waktu terus berjalan namun yang mereka tunggu belum juga tiba. "Kayanya ada yang ga beres ini," bisik Ken Angrok seperti bicara sendiri. "Waduh..., tadi sepeda di tinggal semua di rumah Esha ya?" kata Ken Angrok melihat gajah.
"Iya, kan sesuai rencana begitu Ken," jawab Gajah.
"Singo, ini sepertinya ada yang ga beres. Kamu ambil sepeda di rumah Esha, terus coba kamu lihat-lihat sampai di mana mereka," kata Ken Angrok.
"Siap! Aku juga dah bosen kelamaan di ruang pengap ini," kata Singo langsung berdiri dan berjalan keluar dari bilik.
"Ati-ati Singo! Jangan sampai mereka tahu ya!" teriak Ken Angrok.
"Siaaap!"
Mendengar teriakan Singo, Kidang dan Esha bersamaan menoleh ke dalam. Mereka melihat Singo sudah keluar dari bilik dan berjalan mendekat. Kidang dan Esha pun lalu berdiri menunggu Singo. Singo memberi tahu rencananya pada Esha dan Kidang. Mereka berdua manggut-manggut tanda setuju. Singo lalu berjalan keluar pagar. Kidang dan Esha lalu duduk kembali di tanah mengawasi jalan raya sambil melihat Singo yang berjalan cepat dan menjauh.
***
Anak-anak yang menunggu itu sudah semakin gelisah. Baik Singo atau Boyo dan Bimo dengan mangganya belum juga muncul. "Ah itu mungkin!" kata Gajah yang melihat Kidang dan Esha tiba-tiba berdiri melihat ke arah pagar. Ken Angrok lalu ikut mengintip dari celah-celah papan. "Siapa yang datang ya?" bisik Ken Angrok.
Mereka berdua terkejut ketika di depan pintu terlihat Singo dan Boyo berboncengan dan langsung masuk ke dalam lumbung. Esha dan Kidang tampak mengikuti dari belakang dengan wajah yang juga heran dan terkejut. Gajah dan Ken Angrok juga bergegas keluar bilik. Mereka semua bertemu di tengan lumbung tempat Singo menghentikan sepedanya. Terlihat Boyo turun dari boncengan sambil menenteng dua tas kresek yang terlihat berat.
"Piye? Ada apa kok jadi gini?" Teriak Ken Angrok ingin tahu ada kejadian apa. Singo tampak terengah-engah dan langsung tiduran di lantai. Boyo juga langsung duduk meluruskan kakinya dan menaruh dua tas kresek itu di sampingnya. Keempat anak yang tadi menunggu memberi kesempatan Boyo dan Gajah mengambil napas. Mereka semua penasaran dan menanti cerita Boyo dan Singo.
"Kacau Ken! Kacau..." kata boyo setelah agak tenang.
"Kacau piye to?," tanya Ken Angrok melihat Boyo dan Singo bergantian.
Boyo mulai menyilangkan kakinya dan mulai berverita, "Tadi itu awalnya sudah sesuai rencana."
"Terus?" celetuk Gajah tidak sabar.
"Aku sama Bimo," lanjut Boyo, "berangkat naik becak Pak Kardi sesuai rencana. Seratus mangga itu juga sudah di becak. Tapi...," Boyo menarik nafas dalam-dalam.
"Tapi gimana?" kata Gajah sudah sangat penasaran.
"Di jalan kita ketemu Pak Kades, Bapaknya Bimo. Pak Kades baru pulang dari Kelurahan naik motor, kita papasan di jalan dekat masjid itu. Karena Pak Kades melihat Bimo lalu nyuruh berhenti Pak Kardi. Pak Kades nanya ke Bimo, mangga-mangga ini mau di bawa kemana?" Boyo menarik nafas dalam-dalam lagi.
"Terus Bimo jawab apa?" kata Esha yang serius mendengarkan Boyo.
"Bimo bilang mau buat temannya, Sumi. Pak Kades langsung melotot melihat mangga dan Bimo. Mangga segini banyaknya mau kamu kasih semua ke Sumi? Aku kan ga tau apa-apa ya cuma diem. Bimo melihat bapaknya melotot gitu sepertinya ketakutan. Diem juga ga bisa bilang apa-apa."
"Terus.., terus..." kata Gajah.
"Pak Kades tiba-tiba mencari sesuatu di tasnya, lalu dia mengeluarkan 2 tas kresek. Terus dia memenuhi tas kresek itu dengan mangga yang kita bawa. Terus dia nyuruh aku bawa tas kresek yang penuh mangga untuk dikasih Sumi satu dan satunya buat aku. Lalu dia nyuruh Pak Kardi dan Bimo balik ke rumah Pak Kades. Ya sudah, aku ditinggal sendirian. Terpaksa jalan kaki, untuk ndak lama ketemu Singo."
"Haduuh...," kata keempat anak yang tadi menunggu hampir bersamaan dan langsung terduduk lemas. Mereka semua terdiam sejenak terbawa pikiran masing-masing dengan kejadian barusan.
Kidang menghampiri tas kresek yang di bawa Boyo, dia keluarkan mangga-mangga itu semuanya. Lalu menghitung jumlahnya. Anak-anak yang lain hanya melihat apa yang dilakukan Kidang. "Cuma ada 13 butir," kata Kidang pelan sambil memandang temen-temennya. Singo yang dari tadi tiduran mengatur nafas, bangkit mendekat dan memunguti mangga itu lalu dibagikan. Esha diberikan bagian yang paling banyak, 3 butir, yang lain kebagian dua.
Gajah memandangi 2 butir mangga di depannya lalu berkata pelan, "Kalo akhirnya cuma dapat 2 gini, mending beli di pasar aja kemarin. Daripada banyak drama-drama menengangkan!"
"Hahaha... hahaha..." serempak mereka semua tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Gajah.
Mereka semua kembali bercanda sambil berjalan pulang membawa bagiannya masing-masing. Sepertinya tidak terjadi apa-apa. Begitulah anak-anak, mendapat pelajaran dari pengalaman sambil bermain.
Selengkapnya baca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H