Mohon tunggu...
Sahirah Irawan
Sahirah Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sahirah interested in business, politics, law, human rights, education and arts.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi Preman Jalanan

15 Juli 2024   21:42 Diperbarui: 15 Juli 2024   22:00 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sorot mata tajam menusuk indahnya rumput-rumput di jalanan

Bunga-bunga tumbuh liar dibelai angin Ibu Kota

Otot-otot tangannya mekar seperti bunga jalanan yang kecil berwarna-warni

Ototnya dibalut kulit tipis sawo matang atau bahkan coklat tua

Langkahnya gagah dan sembarang dihiasi pakaian apa adanya

Sedikit lukisan di lengannya yang kekar

Lukisan itu memberi makna kehidupan baginya

Gelang hitam di pergelangan tangan setia menemaninya di sepanjang musim kehidupan

Anak muda

Katanya lirih dengan suaranya yang bergema dan sedikit parau

Sini duduk bicara bersama

Tentang apapun, mungkin warna awan yang penuh polusi hari ini

Atau pohon beringin pinggir jalan yang sudah tua dan mau roboh

Atau tentang klakson kendaraan yang berperang tiada henti

Atau lampu jalanan yang sudah buluk dipeluk debu

Atau tentang para penguasa pengumpul uang negara

Aku ini preman jalanan Nak

Penguasa pahitnya hidup di kolong Ibu Kota

Senyum ku manis tapi tak dihargai

Jangan jadi seperti Aku yang tak dihargai

Orang-orang yang lalu lalang depan Kami pun kadang menganggap Kami sampah masyarakat

Kadang Aku preman jalanan bertanya kepada penguasa di sini

Ibu Pertiwi

Wahai Ibu Pertiwi, mengapa Kami dipandang seperti sampah?

Bukan kah Kami ini rakyat mu juga?

Rakyat tapi tak didengar suaranya, tak dihargai

Padahal Kami yang menghibur telinga kusut para pekerja budak Cina

Kami nyanyikan lagu-lagu kehidupan saat pikiran mereka berantakan

Balasannya hanya onggokan uang 500 perak, paling besar 2000 rupiah

Tiada kata terima kasih

Yang Kami butuh hanya apresiasi

Kami tau deru suara Kami tak sedap di gendang telinga

Nyaring sekali, mungkin lebih merdu knalpot motor racing

Supir angkot dengan rambut yang berantakan itu muak mendengar nyanyian Kami

Tapi dia sabar, dia paham Kami harus makan

Ibu Pertiwi, di sini tempat padi meruah beranak pinak subur nian harumnya seperti pandan

Apa pasal untuk sesuap nasi saja Kami harus menjadi badut jalanan

Apa sebab di sini masih besar orang sakit bengkak gara-gara kesusahan makan

Lantas dimana para penguasa itu?

Hei keluar lah dan urusi Kami

Bangun dari tidur di kursi mu yang megah, tanggung jawab mu banyak nian Tuan

Ibu Pertiwi

Siapa yang harus menanggung Kami di sini?

Apakah Anggota Dewan terhormat yang suka pesta?

Ibu Pertiwi

Kami ini anak mu juga

Aku juga ingin menikmati nasi wangi pandan yang hangat di atas daun pisang segar, lengkap dengan ikan lalapan hasil perut bumi serta keringat lelah para Petani

Aku juga ingin menghirup nikmatnya teh yang diseduh dari kebun kita

Itu hak Kami juga bukan Bu?

Pasti

Kami preman jalanan, tak dilihat

Dicap kriminal dan disiksa bila kena tangkap dalam buih

Tak berharga di mata hukum

Kasihan, tak dilindungi

Sebab nyatanya sampai detik ini hukum masih bisa dibeli

Bu, Kami anak mu juga

Walaupun hanya preman jalanan

Kami tetap cinta bumi pertiwi

Walaupun preman jalanan

-SI/21/02/2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun