Sorot mata tajam menusuk indahnya rumput-rumput di jalanan
Bunga-bunga tumbuh liar dibelai angin Ibu Kota
Otot-otot tangannya mekar seperti bunga jalanan yang kecil berwarna-warni
Ototnya dibalut kulit tipis sawo matang atau bahkan coklat tua
Langkahnya gagah dan sembarang dihiasi pakaian apa adanya
Sedikit lukisan di lengannya yang kekar
Lukisan itu memberi makna kehidupan baginya
Gelang hitam di pergelangan tangan setia menemaninya di sepanjang musim kehidupan
Anak muda
Katanya lirih dengan suaranya yang bergema dan sedikit parau
Sini duduk bicara bersama
Tentang apapun, mungkin warna awan yang penuh polusi hari ini
Atau pohon beringin pinggir jalan yang sudah tua dan mau roboh
Atau tentang klakson kendaraan yang berperang tiada henti
Atau lampu jalanan yang sudah buluk dipeluk debu
Atau tentang para penguasa pengumpul uang negara
Aku ini preman jalanan Nak
Penguasa pahitnya hidup di kolong Ibu Kota
Senyum ku manis tapi tak dihargai
Jangan jadi seperti Aku yang tak dihargai
Orang-orang yang lalu lalang depan Kami pun kadang menganggap Kami sampah masyarakat
Kadang Aku preman jalanan bertanya kepada penguasa di sini
Ibu Pertiwi
Wahai Ibu Pertiwi, mengapa Kami dipandang seperti sampah?
Bukan kah Kami ini rakyat mu juga?
Rakyat tapi tak didengar suaranya, tak dihargai
Padahal Kami yang menghibur telinga kusut para pekerja budak Cina
Kami nyanyikan lagu-lagu kehidupan saat pikiran mereka berantakan
Balasannya hanya onggokan uang 500 perak, paling besar 2000 rupiah
Tiada kata terima kasih
Yang Kami butuh hanya apresiasi
Kami tau deru suara Kami tak sedap di gendang telinga
Nyaring sekali, mungkin lebih merdu knalpot motor racing
Supir angkot dengan rambut yang berantakan itu muak mendengar nyanyian Kami
Tapi dia sabar, dia paham Kami harus makan
Ibu Pertiwi, di sini tempat padi meruah beranak pinak subur nian harumnya seperti pandan
Apa pasal untuk sesuap nasi saja Kami harus menjadi badut jalanan
Apa sebab di sini masih besar orang sakit bengkak gara-gara kesusahan makan
Lantas dimana para penguasa itu?
Hei keluar lah dan urusi Kami
Bangun dari tidur di kursi mu yang megah, tanggung jawab mu banyak nian Tuan
Ibu Pertiwi
Siapa yang harus menanggung Kami di sini?
Apakah Anggota Dewan terhormat yang suka pesta?
Ibu Pertiwi
Kami ini anak mu juga
Aku juga ingin menikmati nasi wangi pandan yang hangat di atas daun pisang segar, lengkap dengan ikan lalapan hasil perut bumi serta keringat lelah para Petani
Aku juga ingin menghirup nikmatnya teh yang diseduh dari kebun kita
Itu hak Kami juga bukan Bu?
Pasti
Kami preman jalanan, tak dilihat
Dicap kriminal dan disiksa bila kena tangkap dalam buih
Tak berharga di mata hukum
Kasihan, tak dilindungi
Sebab nyatanya sampai detik ini hukum masih bisa dibeli
Bu, Kami anak mu juga
Walaupun hanya preman jalanan
Kami tetap cinta bumi pertiwi
Walaupun preman jalanan
-SI/21/02/2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H