Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Memang Tak Berbintang

1 Januari 2019   11:20 Diperbarui: 1 Januari 2019   14:46 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdua bingung tak bisa menjawab. "Sudah nggak usah pikir yang lain, pikir saja buat anak ini." Mama itu menguatkan hati mereka.  

Dengan mobil pick up mereka melaju menuju rumah sakit.  Hujan tak juga iba dengan yang dialami keluarga Jumali.  Di dalam mobil mereka gelisah, jarak satu setengah kilometer serasa sepuluh kilometer.  Karsiem berbisik pada anaknya,"Nggak apa-apa kan. Tenang sebentar lagi sampai."

Melewati pintu gerbang rumah sakit, mobil pick up itu langsung mengarah teras IGD.  Ada dua mobil terparkir di situ.  Agaknya tengah menurunkan pasien.

Tanpa ba-bi-bu Karsiem lari ke dalam menemui petugas. Jumali menyusul tergopoh-gopoh.  Dibiarkan supir toko makanan itu di dalam mobil.  Bahkan lupa berucap terimakasih.  Tapi dari jauh lelaki itu lantas mengangkat telapak kanannya.  Tanda terimakasih.  Supir  pun mengangguk.  Mobil berjalan kembali ke tempat awal.

***

Leman si anak itu harus diinfus. Karsiem tak tega melihatnya saat jarum infus menusuk kulit.  Terlebih saat ada darah tampak masuk selang infus.  Perempuan itu berkaca-kaca.  Sedang Jumali dengan baju basah berusaha tegar.
Dengan telepon genggam jadul miliknya, ia menghubungi saudaranya.

"Pur saya di rumah sakit.  Di IGD.  Leman  muntah-muntah setelah kehujanan tadi."

Jumali meminta saudaranya masuk rumahnya lewat jendela belakang yang tak bergerendel.  "Ambilkan baju, celana, sarung ya.  Jangan lupa celana dalamnya.  Juga buat Emaknya si Leman.  Semua basah, Pur."

Bibir tebal Jumali tekatup.  Tiada kata yang terucap.  Hanya matanya menatap sedih anak lelakinya.  Juga wajah bulat telur isterinya, yang mulai tertunduk lelah.  Matanya sayu.  Sekali waktu terpejam sembari duduk mengelus kaki anaknya yang terbaring dengan perangkat infus di tangan kanan.

Seperti ada penyesalan yang dalam di batin perempuan muda itu. Keinginan menyenangkan anak, berubah seperti sengaja menyengsarakan.  Tapi apa hendak di kata. Dia hanya bisa melihat terangnya lampu ruang IGD malam itu.  Terang yang tak sebanding temaram lampu rumahnya. Bukan pula lampu warna-warni pemanis alun-alun kota. Yang dibenaknya bisa memberi rasa berbunga-bunga hati anaknya.

Jumali dengan pakaian yang masih basah itu mencoba menyingkir. Mencari suasana baru ke teras IGD, yang kursi bagi penunggu tak semua terisi.  Tapi dia tak hendak menduduki.  Langkahnya justru ke tepi teras sebelah timur.  Lantas berhenti.  Dilihat lagi guyuran deras air hujan malam itu. Wajahnya mendongak ke langit.  Langit yang memang tak berbintang. Lelaki ini tertegun cukup lama.  Seperti menikmati berkah hujan. Dan dalam diamnya, ia tengah pasrah pada kenyataan  yang menimpanya malam ini.

Pbg, 01 Januari 2019
S_pras

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun