Jika tak ada sesuatu yang membuat mereka urung, dua orang ini hendak pergi ke kota malam ini. Â Dan si kecil yang baru dua tahun itu pasti akan diajaknya. Â Jadilah mereka bertiga di atas satu motor nantinya.
Ini memang malam yang ditunggu. Â Malam tahun baru. Â Yang tahun lalu mereka tak pergi kemana-mana. Â Mereka memilih mendekam di rumah, menikmati balitanya yang baru saja bisa berjalan. Satu kegembiraan jika seorang anak bisa melangkahkan kaki sendiri. Â Tidak dititah lagi. Â Tidak rambatan juga. Â Dan ini melengkapi pasokan kebahagiaan menatap anak pertamanya menggerakkan kaki selangkah demi selangkah penuh kemerdekaan.
Segalanya mulai berubah bagi keduanya. Jumali dan Karsiem itu. Â Lelaki bertubuh gempal yang tak tinggi itu sudah mendapatkan pekerjaan yang penghasilannya pasti. Â Seperti yang begitu diharapkan Karsiem, istrinya.
Tiap hari ia berpakaian rapi, bersepatu, bermotor berangkat kerja.  Di sebuah sekolah swasta yang tak jauh dari kantor kecamatan. Ia menjadi seorang pesuruh.  Itu berkat tawaran dari Pak Kades, yang kenal baik dengan Kepala sekolah.  Pak Kades yang dulu pernah  memberi sepeda onthel tua merek Dames kepada Jumali.
Awalnya Jumali ragu. "Apa bisa?"
Pak Kades menyarankan,"Dicoba saja dulu, Jum. Â Saya nggak mungkin sembarang milih orang. Â Saya tahu ini pas buat kamu."
Karsiem menguatkan pernyataan Pak Kades. Â Perempuan ini berujar, pesuruh itu orang penting, orang yang sangat dibutuhkan. "Sudah, terima saja, Kang."
Dan ini menginjak tahun kedua Jumali menjadi pesuruh sekolah. Â Selayaknya pegawai, ia berangkat pagi. Â Lebih pagi dari lainnya. Â Memastikan lingkungan sekolah bersih, ruangan tak terkunci dan urusan lain yang sudah dia hafal betul.
Merasa anak semata wayangnya agak besar, mereka ingin mengajaknya melihat kerlap kerlip lampu kota. Sekali ini pada malam pergantian tahun.  "Semoga nggak hujan ya, Kang." Jumali memberi anggukkan, mengangkat  tangan kanan dan menunjukkan jempol. Karsiem mendekat sembari mengarahkan telunjuk pada perut suaminya. Jumali dibikin geli.
***
Malam memang tak berbintang. Â Tapi angin agak kencang berhembus. Â Pepohonan bersamaan terdorong. Ranting dan daun-daun serempak mengikuti arah angin. Karsiem yakin malam ini tak akan hujan. Dan ia menyegerakan diri dengan mengangkat tas berisi perbekalan, menaruhnya di atas motor yang terdiam di emper rumah.
" Percayalah, Kang, nggak hujan."
Karsiem membopong anak lelakinya, yang belum tahu maksud orang tuanya pergi malam ini. Â Yang harus manut saja. Â Dan Jumali pun memandang ke langit. Berputar ke arah semua penjuru mata angin. Seperti menyimpan keraguan pada ucapan Karsiem. Â "Kalau nanti hujan bagaimana?"
"Gampang. Â Kalau Kang Jumali takut kepeleset, aku yang ganti di depan!"
Untuk urusan naik motor, Karsiem lebih lincah. Â Ketika awal jadi pesuruh sekolah, perempuan ini yang beri saran: sebaiknya kita punya motor. Â Suaminya cuma menjawab," Mana duitnya?"
Saran Karsiem ada benarnya. Jarak yang ditempuh sekitar lima kilometer. Â Katanya, kalau pakai motor biar datang tepat waktu. Tidak capai. Â Pulangnya cepat. Â
"Ya, tapi duit darimana?"
Menjual beberapa kambing perilaharaan akhirnya disepakati. Â Karsiem sendiri repot jika harus mencari rumput. Â Sebagaimana biasa Jumali lakoni. Dan mereka pun membeli motor matik bekas.
Dibanding suaminya, Karsiem lebih semangat belajar bermotor. Â Hanya seminggu berlatih, dia cukup berani sendiri ke jalan raya. Dan akhirnya mahir. Tak kalah bersaing dengan anak sekolah yang masih belia itu. Â Ia memang pandai merayu-rayu siapapun perempuan tetangganya yang bisa bermotor. "Ajari saya ya, biar urusan kemana-mana cepat."
Sampai akhirnya, Karsiem sendiri yang mengajari Jumali mengendarai motor. Â Suatu pengalaman baru yang luar biasa. Â Puluhan mata menyorot padanya. Â Ini sungguh menegangkan Jumali. Gurauan orang-orang padanya memperkeruh pikirannya. Â Terlebih, buah dada Karsiem yang menekan keras punggungnya kerap membuyarkan konsentrasinya ke arah depan.
Seiring waktu, Jumali pun punya nyali sendiri bermotor. Â Kendati tak seluwes Karsiem, lelaki ini sudah berani pulang pergi ke tempat kerja. Â Saat itulah, sepeda onthelnya sering rehat dan hanya berdiri kaku di dekat dapur.
"Ya sudah, kita berangkat sekarang saja," ucap Jumali.
Bertiga di atas motor matik mereka menapaki jalan raya. Â Si kecil berada di tengah dalam dekapan Karsiem, ibunya. Â Jumali dengan helm terpasang kuat memainkan laju motor pada tiap tanjakan dan turunan. Â Sesekali ia mendongak menatap langit. Â Langit yang tak berbintang itu.
Karsiem girang tak berbilang. Â Ia ucap rambut tipis si kecil. Â Yang waktu hendak berangkat enggan dikenakan topi. Sesekali ia peluk anak itu. Jaket yang melekat terasa lebih memberi asupan kehangatan. Dan lebih berlipat rasa hangat bagi mereka, saat Karsiem berdendang lagu Syantiknya Siti Badriah: Hai sayangku hari ini aku syantik...ingin dimanja kamu.... kamu... kamu... kamu....
"Kenapa bukan Siti Nurhaliza saja sih?" protes Jumali sembari wajahnya melengos ke kiri. Â Seakan mengingatkan istrinya bahwa ia penggemar penyanyi negeri jiran Malaysia itu.
***
Memasuki kota hujan turun lebat. Tiba-tiba saja begitu. Tanpa rintik gerimis. Â Jumali dibuat terkejut dan sontak menarik gas. Â Motor melaju lebih kencang. Â Tubuh Karsiem sedikit terhentak ke belakang. Â Begitu juga si anak yang tubuh mungilnya dalam pegangan ibunya.
"Aduh! Nggak usah ngebut.... Â Nggak usah ngebut!" Istri Jumali berteriak mengingatkan.
Lelaki itu mengendorkan tarikan gas. Â "Cari tempat berteduh, Kang!" Jumali tak menjawab. Â Ia menepi dan mencari perlindungan dari guyuran hujan malam itu. Â
Di depan toko makanan ringan, yang bagian depan ada kanopi panjang, mereka berteduh. Â Jaket Jumali kuyup dilahap air hujan. Karsiem pun basah, tapi tak terlalu basah. Â Ia dan anaknya terlindung badan Jumali saat menerabas air hujan.
 "Benar kan hujan?"
Karsiem terdiam mendengar ucapan suaminya.  Dibawanya anak yang dalam bopongan itu agak masuk toko seperti hendak membeli.  Berharap,  tampias air hujan tidak mengenainya.  Walau hantaman angin tetap saja tak terhindar.  Malam pun terasa makin dingin dan hujan menghujam  ke bumi dengan tajam.
"Karsi, jas hujannya di mana" tanya Jumali. "Tadi kamu ambil di meja apa nggak?"
Karsiem tersentak. Â Diingat-ingat kembali sewaktu hendak berangkat. Â "Kang, masih di meja. Â Ketinggalan!"
" Aduh!" Â
Wajah Jumali yang hitam seketika itu makin gelap. Â Tampak menyimpan kegondokan. Â Tapi mereka berada di tempat orang. Orang yang sama sekali tak saling kenal. Â Ia tahan mulutnya untuk tidak mengomel sekalipun. Â Ia tak mau menjadi tontonan orang-orang yang tengah di toko itu. Â Setidaknya menjaga rasa si empunya toko. Â Toh ia beruntung bisa rehat berteduh di situ.
Agaknya, hujan tak juga berniat surut. Â Derasnya memendekkan jarak pandang. Â Apalagi ini malam.
Tiba-tiba, dalam dekapan Karsiem, mulut anaknya mengeluarkan cairan. Â Leman, anak itu, muntah. Perempuan satu anak itu gelagapan. Â Jumali mendekat. Â Ujung kain pembopong diarahkan ke mulut, sekedar menyeka muntahan. Â Sayangnya, kemudian anak itu muntah lagi. Pasangan muda itu terlihat mulai panik.
"Ambil minyak kayu putih, Kang! Cepat!
Dari dalam tas didapati sebotol minyak kayu putih. Â Dioleskan pada perut anak itu. Â Beberapa orang menyaksikan. Â Ada yang mendekat. Â Ada yang hanya menatap dari kejauhan.
Anak itu tampak lemas. Â Wajahnya pucat. Â Karsiem makin gelagapan. Â Jumali tak tahu harus berbuat apa.
Dan perempuan pemilik toko menghampiri mereka. Â "Kasihan sekali. Â Jangan di sini ya, masuk saja duduk di sana."
"Lebih baik bawa ke rumah sakit. Â Takut kena apa-apa anak ini," ujar Mama itu. Â Katanya, anaknya dulu pernah begitu. Â Tapi terlambat ditangani. Akhirnya tak tertolong.
Jumali dan Karsiem nyaris lunglai mendengarnya.
"Pakai mobil saya ke rumah sakit. Â Nanti diantar supir, ya."
Berdua bingung tak bisa menjawab. "Sudah nggak usah pikir yang lain, pikir saja buat anak ini." Mama itu menguatkan hati mereka. Â
Dengan mobil pick up mereka melaju menuju rumah sakit. Â Hujan tak juga iba dengan yang dialami keluarga Jumali. Â Di dalam mobil mereka gelisah, jarak satu setengah kilometer serasa sepuluh kilometer. Â Karsiem berbisik pada anaknya,"Nggak apa-apa kan. Tenang sebentar lagi sampai."
Melewati pintu gerbang rumah sakit, mobil pick up itu langsung mengarah teras IGD. Â Ada dua mobil terparkir di situ. Â Agaknya tengah menurunkan pasien.
Tanpa ba-bi-bu Karsiem lari ke dalam menemui petugas. Jumali menyusul tergopoh-gopoh.  Dibiarkan supir toko makanan itu di dalam mobil.  Bahkan lupa berucap terimakasih.  Tapi dari jauh lelaki itu lantas mengangkat telapak kanannya.  Tanda terimakasih.  Supir  pun mengangguk.  Mobil berjalan kembali ke tempat awal.
***
Leman si anak itu harus diinfus. Karsiem tak tega melihatnya saat jarum infus menusuk kulit. Â Terlebih saat ada darah tampak masuk selang infus. Â Perempuan itu berkaca-kaca. Â Sedang Jumali dengan baju basah berusaha tegar.
Dengan telepon genggam jadul miliknya, ia menghubungi saudaranya.
"Pur saya di rumah sakit.  Di IGD.  Leman  muntah-muntah setelah kehujanan tadi."
Jumali meminta saudaranya masuk rumahnya lewat jendela belakang yang tak bergerendel. Â "Ambilkan baju, celana, sarung ya. Â Jangan lupa celana dalamnya. Â Juga buat Emaknya si Leman. Â Semua basah, Pur."
Bibir tebal Jumali tekatup. Â Tiada kata yang terucap. Â Hanya matanya menatap sedih anak lelakinya. Â Juga wajah bulat telur isterinya, yang mulai tertunduk lelah. Â Matanya sayu. Â Sekali waktu terpejam sembari duduk mengelus kaki anaknya yang terbaring dengan perangkat infus di tangan kanan.
Seperti ada penyesalan yang dalam di batin perempuan muda itu. Keinginan menyenangkan anak, berubah seperti sengaja menyengsarakan. Â Tapi apa hendak di kata. Dia hanya bisa melihat terangnya lampu ruang IGD malam itu. Â Terang yang tak sebanding temaram lampu rumahnya. Bukan pula lampu warna-warni pemanis alun-alun kota. Yang dibenaknya bisa memberi rasa berbunga-bunga hati anaknya.
Jumali dengan pakaian yang masih basah itu mencoba menyingkir. Mencari suasana baru ke teras IGD, yang kursi bagi penunggu tak semua terisi.  Tapi dia tak hendak menduduki.  Langkahnya justru ke tepi teras sebelah timur.  Lantas berhenti.  Dilihat lagi guyuran deras air hujan malam itu. Wajahnya mendongak ke langit.  Langit yang memang tak berbintang. Lelaki ini tertegun cukup lama.  Seperti menikmati berkah hujan. Dan dalam diamnya, ia tengah pasrah pada kenyataan  yang menimpanya malam ini.
Pbg, 01 Januari 2019
S_pras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H