Karsiem membopong anak lelakinya, yang belum tahu maksud orang tuanya pergi malam ini. Â Yang harus manut saja. Â Dan Jumali pun memandang ke langit. Berputar ke arah semua penjuru mata angin. Seperti menyimpan keraguan pada ucapan Karsiem. Â "Kalau nanti hujan bagaimana?"
"Gampang. Â Kalau Kang Jumali takut kepeleset, aku yang ganti di depan!"
Untuk urusan naik motor, Karsiem lebih lincah. Â Ketika awal jadi pesuruh sekolah, perempuan ini yang beri saran: sebaiknya kita punya motor. Â Suaminya cuma menjawab," Mana duitnya?"
Saran Karsiem ada benarnya. Jarak yang ditempuh sekitar lima kilometer. Â Katanya, kalau pakai motor biar datang tepat waktu. Tidak capai. Â Pulangnya cepat. Â
"Ya, tapi duit darimana?"
Menjual beberapa kambing perilaharaan akhirnya disepakati. Â Karsiem sendiri repot jika harus mencari rumput. Â Sebagaimana biasa Jumali lakoni. Dan mereka pun membeli motor matik bekas.
Dibanding suaminya, Karsiem lebih semangat belajar bermotor. Â Hanya seminggu berlatih, dia cukup berani sendiri ke jalan raya. Dan akhirnya mahir. Tak kalah bersaing dengan anak sekolah yang masih belia itu. Â Ia memang pandai merayu-rayu siapapun perempuan tetangganya yang bisa bermotor. "Ajari saya ya, biar urusan kemana-mana cepat."
Sampai akhirnya, Karsiem sendiri yang mengajari Jumali mengendarai motor. Â Suatu pengalaman baru yang luar biasa. Â Puluhan mata menyorot padanya. Â Ini sungguh menegangkan Jumali. Gurauan orang-orang padanya memperkeruh pikirannya. Â Terlebih, buah dada Karsiem yang menekan keras punggungnya kerap membuyarkan konsentrasinya ke arah depan.
Seiring waktu, Jumali pun punya nyali sendiri bermotor. Â Kendati tak seluwes Karsiem, lelaki ini sudah berani pulang pergi ke tempat kerja. Â Saat itulah, sepeda onthelnya sering rehat dan hanya berdiri kaku di dekat dapur.
"Ya sudah, kita berangkat sekarang saja," ucap Jumali.
Bertiga di atas motor matik mereka menapaki jalan raya. Â Si kecil berada di tengah dalam dekapan Karsiem, ibunya. Â Jumali dengan helm terpasang kuat memainkan laju motor pada tiap tanjakan dan turunan. Â Sesekali ia mendongak menatap langit. Â Langit yang tak berbintang itu.