Dan sudah menjadi jamak adanya di pusat-pusat kota, detik-detik pergantian tahun dirayakan secara gempita. Maka, tatkala mendengar di alun-alun kabupaten akan dipertontonkan kembang api menyambut tahun baru, perempuan desa itu mendekati suami pada siang, hari terakhir bulan Desember itu.
“Kang, sekali ini kita jangan di rumah. Katanya akan ada kembang api di alun-alun pas malam tahun baru.”
“Ah, enak tiduran di rumah,” tukas lelaki suami perempuan itu.
“Sekali-sekali, Kang. Orang-orang pada bercerita mau ke sana. Nonton.”
Jumali menatap datar wajah istrinya. “Naik apa ke sana malam-malam?”
Karsiem, perempuan itu, langsung menyambar pertanyaan tadi. “Ya, naik sepedalah!”
“Edan!”
“Memang!”
“Kamu sih enak, mbonceng. Aku di depan, mandi keringat, ngonthel sebelas kilo!”
“Kapan lagi, Kang. Mumpung. Mumpung belum punya anak. Kita bisa cerita ke anak kita kelak, kita pernah malam tahun baruan di alun-alun. Lihat kembang api.”
Jumali melihat semangat istrinya. Geloranya memancar ke seisi rumah reotnya, seakan menutupi lubang-lubang tikus pada dinding anyaman bambu rumah mereka. Dan menggeser genting lapuk yang kerap tampias terkena jatuhan hujan.
“Tapi Janji ya, gantian nggenjot.”
Lelaki tiga puluh satu tahun itu lantas menyiapkan sepedanya. Tekanan ban disesuaikan dengan beban yang akan ditimpakan pada sepeda. Ia pencet kedua ban satu demi satu, dengan ibu jari dan telunjuk yang ditempelkan pada sisi luar ban. Persis capit urang. Ia tekan keras sampai tiga kali. Ned…ned…ned, rasanya seperti mendengar suara itu, saat lelaki itu menekan karet ban.
Cukup untuk dua orang: satu kuintal lebih, pikirnya. Ini belum seberapa dibandingan dengan dua karung gabah atau rumput yang biasa ia letakkan di atas batangan dan boncengan sepeda merk Dames. Sepeda pemberian dari mantan Kades, yang merasa percuma menyimpan sepeda tak terpakai. Mending untuk yang membutuhkan, katanya kepada Jumali, lima tahun yang lalu.
Karsiem tak kalah sigap. Sebungkus plastik berisi kacang goreng ia taruh di atas meja. Dua botol air minum kemasan ia isi ulang dengan air masakannya. Semua untuk bekal malam nanti.
“Bawa tikar apa nggak, Kang?” tanya Karsiem
“Nggak usah. Kita gelar sarung saja. Biar ringkas, mudah dibawa. Enteng.”
Karsiem tersenyum simpul. Ia kagum dengan jawaban suaminya yang singkat, jelas dan argumentatif.
Pukul 09.00 malam masih belia. Lalu lintas mulai padat. Suami istri itu melintasi jalan raya meninggalkan huniannya, beradu dengan deru motor-motor berkenalpot bobokan. Suaranya menggelegar, memacu adrenalin si pengendara. Karsiem jadi kaget, jengkel dengan suara motor yang gasnya dimain-mainkan itu.
“Sompret. Bajindul!” teriak perempuan itu misuh-misuh.
Lantas, ia mengarahkan senter yang ada di tangan kanannya ke arah mata penunggang motor tanpa helm itu. Anak muda itu gelagapan. Silau. Motornya nyaris terarah ke parit pinggir jalan. Jumali cekakakan. Kali ini ia yang kagum pada keberanian istrinya.
“Itu, kenapa aku mengawinimu, Kar. Aku butuh perempuan pendamping yang punya nyali menghadapi pelecehan dari orang lain. Bukan perempuan yang cuma minta uang, ha ha ha!”
“Halah, aku mana mungkin minta uang, Kang. Wong uangnya juga nggak ada!”
“Justru karena nggak ada itu, aku tiap hari berupaya biar ada duit. Itu bukti, kamu nggak salah pilih lelaki, yang tiap harinya mau berkeringat cari duit. Daripada dapat Darminto, tampangnya keren tapi masih disubsidi Bapaknya!”
“Sudah, jalan saja. Genjot yang kencang. Jangan ngungkit-ungkit masa lalu!”
Mereka berdua semangat. Tertawa sepanjang jalan menuju alun-alun kota kabupaten.
Satu kilometer sebelum sampai, Jumali meredakan kayuhannya. Mengarahkan stang ke tepi jalan, sembari menekan lembut tuas rem kiri. Sepeda pun berhenti dengan damai.
“Sekarang, gantian. Kamu yang nggenjot. Biar orang tahu, kamu perempuan pembahagia suami!”
Karsiem mencubit pantat suaminya. Lelaki itu kaget. Kakinya berjinjit menahan japitan dua ujung jari yang mencucuk daging bagian bawah pantatnya. Beberapa orang pejalan kaki menatap adegan itu. Mengingatkan film Ramadan dan Ramona yang diperankan Lidya Kandau dan Jamal Mirdad. Sebuah komedi romantis.
***
Ratusan orang lalu lalang. Jumali mencoba menghitung sekenanya. Berdesakan, bersenggolan, berpapasan, bahkan ada pula yang bertegur sapa karena kenal. Semrawut, pikir Karsiem yang baru kali ini bermalam tahun baru di alun-alun. Jumali meralat hitungannya. Bukan ratusan atau beratus-ratus. Tapi ribuan. Atau lebih pantas disebut beribu-ribu orang memadati alun-alun.
Keduanya terkagum-kagum dengan kepadatan ini. “Begitu pentingkah malam tahun baru di alun-alun?” tanyanya dalam hati.
Mereka berdua menggelar sarung di tempat yang agak jauh dari kebanyakan orang. Hingga matanya bisa menangkap lebih luas pemandangan malam itu. Penjual bakso, mi ayam, balon, soto, siomay. Apalagi…, semua mencari peruntungan. Termasuk para tukang parkir liar, para lelaki itu tak kalah trengginas mengumpulkan seribu-demi seribu.
Puncak perayaan semakin dekat. Penonton berdiri melihat angka digital yang bergerak menuju 00.00. Dari tengah panggung alun-alun, seseorang dengan pengeras suara melakukan hitung mundur.
“Sepuluh, Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu………..!”
Jumali dan Karsiem berpandangan, menikmati keriuhan seantero alun-alun. Satu per satu kembang api mengarah ke langit, mengembang melukis malam dengan berbagai gambar yang menakjubkan. Orang itu terkesima. Menggelengkan kepala. Matanya menyorot ke atas menerjang langit, hatinya melebar seluas angkasa raya. Mulutnya terkatup tak mampu bicara. Kekagumannya tak henti. Keduanya saling menunjuk tangannya ke langit. “Itu…………,” kata Karsiem. “Ya, itu………,” kata Jumali. Mereka tak sanggup merampungkan kalimat. Buntu untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya.
“Wow, mbelegedes. Edaaaaan tenan…!” Karsiem histeris.
Sementara di sana, sorak sorai orang menandakan kegembiraan yang amat. Suara terompet dengan aneka bunyi beradu memekakkan telinga. Klakson mobil berbunyi, demikian juga motor. Semua beradu kencang. Botol air minum dihantamkan satu dengan yang lain, penanda kebersamaan.
Oh, malam yang istimewa.
***
Bersegera pulang.
Jumali dan Karsiem lebih dulu keluar alun-alun. Menghindari desak-desakan jika pulang secara bersamaan dengan segenap pengunjung. Lagi pula, ini malam telah larut membuntal hari.
Sepeda digenjot melintasi jalan protokol menuju luar kota. Jalanan masih tampak ramai. Dan keduanya kini makin menjauh keluar batas kota meninggalkan hingar-bingar yang baru dijumpainya.
Malam terasa dingin. Peluh membasahi wajah dan tubuh Jumali yang gempal. Gelap malam memberi keberuntungan, kulit hitamnya tak tertampakkan. Di belakang, perempuan yang membonceng itu sumringah. Keinginannya kesampaian. Makanya, ia terus berdendang, menyanyikan lagu yang dulu dinyanyikan Siti Nurhaliza, artis kesayangan suaminya: Betapa Kucinta Padamu.
Asal tahu saja, Jumali tak pernah lekang memuji istrinya, bahwa perempuan pendamping hidupnya tak beda jauh dengan kecantikan artis negeri jiran itu. “Kamu dan Siti Nurhaliza cuma beda nasib,” katanya pada suatu hari, ketika ia pertama kali diminta menyanyi lagu itu.
Saking gembiranya disandingkan dengan artis tersebut, Karsiem berusaha menghafal banyak lagu dari album Siti Nurhaliza: Cindai, Bukan Cinta Biasa dan Nirmala.
Namun Jumali, yang tengah mengayuh sepeda tidak segembira Karsiem. Tidak pula segembira sewaktu dia berada di alun-alun tadi. Tidak ada kata yang terucap banyak kepada istrinya.
Pikirannya tengah bergulat. Sebuah kejadian kontras baru saja dilaluinya. Ia dan istrinya, dan mungkin banyak yang lain, sejenak bisa melupakan beban hidup. Tapi sejatinya hanya tipuan yang tak disadari. Toh, dirinya harus kembali ke rutinitas kesehariannya, tanpa memikirkan bahwa ia sudah berada di tanggal 1 Januari.
Secepat itu. Kata tahun baru menjadi terasa usang dan hambar.
Di benaknya berkecamuk perhitungan. Berapa uang yang dibutuhkan untuk pertunjukkan kembang api tadi. Satu juta? Ah, mana mungkin. Sepuluh juta? Rasanya masih kurang. Ia hanya memastikan: Berpuluh-puluh juta.
Untuk sekejap itu puluhan juta? Ia menggelengkan kepala.
Sementara di belakangnya, Karsiem tetap berdendang. Kini satu lagu Siti Nurhaliza bergenre melayu lamat-lamat keluar dari bibir tak bergincu Karsiem: Bunga Melor.
Betapa mudahnya uang itu hijrah terbuang dalam kemeriahan sesaat. Sedangkan dirinya, untuk meraih satu juta dalam sebulan begitu terengah-engah. Ia membandingkan saat hendak mendapat Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah yang ratusan ribu itu, ia harus diakui dulu sebagai orang miskin dengan mendapat sebuah kartu. Belum lagi, jatah raskin yang kini semakin tidak jelas: kadang dapat kadang tidak. Kalaupun dapat, beras itu tidak layak konsumsi.
Tapi ia terjaga dari pikiran-pikiran yang melintas tadi. Ia kaget, istrinya menepuk punggungnya sambil berteriak. “Stop Kang. Stop. Minggir!”
“Ada apa?”
“Bokongku nggak enak. Sakit!”
Perempuan itu turun, setelah Jumali meminggir dan berhenti mendadak. Keduanya harus melihat sepeda secara seksama. “Oh, ban belakang kempes. Tobat!”
“Terus bagaimana. Masih jauh, Kang?”
“Masih lima kilo lagi!”
Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi ban kempes di tengah malam. Mereka berdiri seraya istirahat. Motor-motor bergerak cepat dari arah kota. Tak satu pun yang menepi dan menyapanya. Diam-diam Jumali berharap ada mobil yang melintas dan mendekat, kemudian menawarkan diri untuk menumpang dan mengantarnya sampai ke rumah.
Tapi kemudian itu menganulir pikiran itu. “Ah, apa sekarang masih ada yang ingat ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’?” Jumali agaknya tengah bernostalgia sebagai pembawa teks pancasila sewaktu upacara bendera di sekolah dasarnya.
Mereka akhirnya menuntun sepeda itu selangkah demi selangkah di pinggiran jalan. Dingin makin menyeruak. Kantuk dan lelah mendera tak terperi. Hingga istrinya berkata,”Kang, aku sudah nggak kuat lagi. Kakiku……. !” Perempuan itu mengeluh.
“Sebentar, Kar. Kita cari tempat untuk istirahat.”
Sejenak kemudian, sebuah pos ronda mereka jumpai. Kosong dan gelap. Hanya terlihat bagian dalam, jika ada cahaya kendaraan mengarah pada bangunan kecil semi permanen itu.
“Apa boleh buat kita tidur di sini saja Kar. Kamu setuju?”
Perempuan itu mengangguk. Ia masuk pos ronda dan duduk sambil memijat-mijat kakinya. Jumali meletakkan sepeda di belakang. Biar aman, pikirnya. Mereka akhirnya berjajar di dalam, menenggak bekal air minum yang masih tersisa.
Udara dingin dan keletihan yang memuncak, bersenyawa menidurkan dua insan itu. Sebuah sarung terbentang pada kedua tubuh, sekedar menahan agar kulitnya terhindar dari ciuman nyamuk.
Tuhan begitu sayang pada dua sejoli sederhana ini. Diberinya mimpi indah yang teramat indah.
Karsiem tergambar bersama dua anak dan suaminya mendatangi alun-alun itu lagi. Sebagaimana dulu, saat kali pertama menikmati pesta kembang api pada pesta tahun baru. Mereka tidak lagi di pinggiran, tapi di tengah-tengah kerumunan. Membawa terompet. Meniup-niupnya kegirangan. Tampak, suaminya membawa tas, isinya softdrink dan roti. Kamera ponselnya: yang layar sentuh itu, tak jera membidik momen-momen yang merona-rona wajah mereka.
Jumali diberi mimpi tersendiri. Menakjubkan. Digambarkan di sana, ia bisa terbang mengumpulkan kembang api yang mengembang di angkasa. Menyimpannya dalam kantong ajaib yang entah dari mana ia dapat. Ia simpan di tempat tertentu. Kemudian menjual pada banyak tempat. Pelanggannya kebanyakan anak-anak. Hasilnya lumayan. Rupiah demi rupiah dikantonginya. Segenap waktu berikutnya, ia bisa merenovasi gubugnya menjadi bangunan permanen. Tidak lagi reot, tidak buruk pula. (***)
______ Alun-alun Purwokerto, 1 Januari 2016
Sumber gambar: pacapaku.blogspot.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI