Namun Jumali, yang tengah mengayuh sepeda tidak segembira Karsiem. Tidak pula segembira sewaktu dia berada di alun-alun tadi. Tidak ada kata yang terucap banyak kepada istrinya.
Pikirannya tengah bergulat. Sebuah kejadian kontras baru saja dilaluinya. Ia dan istrinya, dan mungkin banyak yang lain, sejenak bisa melupakan beban hidup. Tapi sejatinya hanya tipuan yang tak disadari. Toh, dirinya harus kembali ke rutinitas kesehariannya, tanpa memikirkan bahwa ia sudah berada di tanggal 1 Januari.
Secepat itu. Kata tahun baru menjadi terasa usang dan hambar.
Di benaknya berkecamuk perhitungan. Berapa uang yang dibutuhkan untuk pertunjukkan kembang api tadi. Satu juta? Ah, mana mungkin. Sepuluh juta? Rasanya masih kurang. Ia hanya memastikan: Berpuluh-puluh juta.
Untuk sekejap itu puluhan juta? Ia menggelengkan kepala.
Sementara di belakangnya, Karsiem tetap berdendang. Kini satu lagu Siti Nurhaliza bergenre melayu lamat-lamat keluar dari bibir tak bergincu Karsiem: Bunga Melor.
Betapa mudahnya uang itu hijrah terbuang dalam kemeriahan sesaat. Sedangkan dirinya, untuk meraih satu juta dalam sebulan begitu terengah-engah. Ia membandingkan saat hendak mendapat Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah yang ratusan ribu itu, ia harus diakui dulu sebagai orang miskin dengan mendapat sebuah kartu. Belum lagi, jatah raskin yang kini semakin tidak jelas: kadang dapat kadang tidak. Kalaupun dapat, beras itu tidak layak konsumsi.
Tapi ia terjaga dari pikiran-pikiran yang melintas tadi. Ia kaget, istrinya menepuk punggungnya sambil berteriak. “Stop Kang. Stop. Minggir!”
“Ada apa?”
“Bokongku nggak enak. Sakit!”
Perempuan itu turun, setelah Jumali meminggir dan berhenti mendadak. Keduanya harus melihat sepeda secara seksama. “Oh, ban belakang kempes. Tobat!”